Aku, Marx, dan Engels
Andika Ramadhan Febriansah ;
Mahasiswa Sejarah UNJ;
Anggota Serikat Mahasiswa
Perubahan UNJ
|
INDOPROGRESS, 04
April 2016
AKU adalah seorang
buruh pabrik tekstil di Barmen, Jerman. Aku hidup ketika feodalisme di Eropa mulai
terkikis. Ketika itu, pembangunan mulai terpusat di kota-kota besar.
Industrialisasi berkembang sangat pesat. Kian lama, pabrik-pabrik di Jerman
bertumbuh pesat, tenaga-tenaga kerja pun dibutuhkan. Akibatnya terjadilah
urbanisasi besar-besaran dari desa ke kota, karena para petani dipaksa
meninggalkan lahan pertanian mereka untuk beralih profesi menjadi seperti
aku; buruh. Kemiskinan, penggusuran dan eksploitasi yang marak terjadi karena
cepatnya perubahan yang terjadi.
Di desa, ketika
pertanian masih menjadi mata pencaharian masyarakat, semua orang mampu
memenuhi kebutuhannya sendiri. Mereka masih saling bertegur sapa, tak jarang
pula bertukar hasil panen untuk menjalin kerukunan. Semua orang di desa
bekerja untuk kehidupan, bukan untuk mendapatkan uang. Namun, zaman telah
berubah, kini di pabrik kami semua bekerja bukan untuk kehidupan, melainkan
untuk mendapatkan upah. Kami harus menuruti apa yang dikatakan oleh
orang-orang yang telah mengupahi kami, termasuk merelakan waktu 12-16 jam
sehari untuk bekerja di pabrik.
Aku bekerja di pabrik
milik seorang pengusaha terkemuka bernama Johann Caspar Engels. Dia memiliki
seorang cucu yang usianya masih muda, sekitar 23 tahun. Janggutnya tebal,
tatapannya tajam, gaya hidup dan pakaiannya sangatlah sederhana. Walaupun dia
adalah keturunan para pemilik pabrik tekstil, ia tidak pernah malu untuk
bertegur sapa dengan para pekerja, bahkan sesekali mengajak kami mengobrol
tentang keresahannya melihat kondisi para pekerja di pabrik milik
keluarganya. Dialah Frederick Engels, seorang anak muda cerdas yang begitu
peduli dengan nasib kaum buruh. Bagi Engels, kelas pekerja rela bekerja
belasan jam dalam satu hari di pabrik karena para pemilik pabrik membangun
sistem “depedensi” pada tiap orang. Artinya, setiap buruh yang bekerja di
pabrik dibuat sedemikian ketergantungannya dengan para bos-bos pabrik.
Suatu ketika salah
seorang buruh di pabrik protes. Ia tak terima ketika dirinya dipecat dengan
alasan usianya yang sudah terlalu tua. Alasannya, ia telah menghabiskan masa mudanya
untuk bekerja di pabrik dan anak serta istrinya butuh makan. Para pekerja
yang lain hanya diam. Ada yang pura-pura tak tahu dan ada pula yang berusaha
menenangkan pekerja yang dipecat. Mereka yang peduli akhirnya sama seperti
aku: tak berdaya melihat pemecatan. Jika kami terlibat dalam protes, maka
akan terjadi pemecatan yang lebih besar. Dua hari kemudian, Engels menemui
para buruh. Aku yang ketika itu sedang bekerja, sejenak menghentikan
pekerjaanku untuk mendengarkan Engels. Ia menyatakan keprihatinannya atas
pemecatan buruh yang dilakukan oleh pabrik milik keluarganya kemarin. Menurut
Engels, kaum buruh harus berani melawan “ketergantungan”. Ia pun mengatatakan
kepada kami;
“Siapa yang bisa memberi jaminan pekerjaan pada kalian, siapa
yang bisa menjamin hal itu jika tiba-tiba dengan alasan apapun atau tanpa
alasan sama sekali tuan atau majikan kalian memecat kalian besok? Walaupun
hari ini kalian memiliki mata pencaharian, belum tentu besok kalian tetap
memilikinya.”
Apa yang dikatakan
Engels adalah benar adanya. Dahulu ketika masih bertani kami bisa memproduksi
kebutuhan kami tanpa harus mengikuti aturan orang lain. Kami bisa menanam
apapun untuk asupan makanan tanpa harus khawatir dengan pemecatan. Sawah
milik kami, jadi tak mungkin ada pemecatan. Namun, sekali lagi, zaman telah
berubah. Sawah kami dihabisi untuk membangun pabrik-pabrik, sisanya dibeli
oleh tuan-tuan tanah untuk membangun bisnis pertanian dan menjadikan
orang-orang miskin di desa sebagai buruh tani. Kami semua sangat bergantung kepada
para pemilik pabrik dan sawah. Kami adalah seorang buruh yang tidak merasa
menjadi apa-apa, kami merasa tak menjadi manusia, hanya menjalankan fungsi
seperti hewan; makan, minum, dipaksa bekerja, dan memiliki keturunan yang
nantinya akan menjadi hewan seperti kami.
Perjalanan ke Paris
Pada tahun 1844,
Engels mengajakku menemui temannya di Paris, Prancis, dengan berkereta.
Setibanya di sana, aku dan Engels memasuki sebuah caffe, yang di dalamnya
kulihat seorang anak muda berjanggut tebal seperti Engels, namun dengan
penampilan sangat acak-acakan. Tak lama berselang, kulihat Engels melambaikan
tangan dan menyapa lelaki itu dari kejauhan “Hei comrade..” lelaki
berpenampilan acak-acakan itu pun tersenyum.
Aku sangat terkejut
ketika mengetahui bahwa lelaki itu adalah temannya. Sangat mengherankan
melihat seorang anak dari keluarga yang kaya-raya memilih berteman dengan
lelaki urakan, seperti anak muda ini, yang segera kuketahui bernama Karl
Marx, anak seorang pengacara dari Trier, Prusia. Ia dilahirkan di keluarga
yang memberikan nuansa kehidupan kelas menengah perkotaan. Di depanku Engels
memuji Marx: pada usia 23 tahun ia sudah mampu memperoleh gelar doktor
filsafatnya dari Universitas Jena. Aku hanya bisa takjub!
Lantas Engels
memperkenalkanku kepada Marx; “Marx, lelaki ini adalah seorang pekerja di
pabrik tekstil milik keluargaku, dia adalah seorang buruh yang aktif
mengkritik kinerja sistem pabrik-pabrik di Barmen.”
Setelah saling
mengenal, aku pun banyak cerita kepada Marx tentang kondisi para pekerja di
Jerman. Tentang pekerja yang dipecat sewenang-wenang, pekerja pabrik sepatu
yang hidupnya sangat miskin, hingga seorang buruh tani yang mati kelaparan di
atas ladang gandum milik tuan-tuan tanah. Marx memandangku dengan tatapan
iba, kulihat matanya berkaca-kaca sambil terus memperhatikan apa yang aku
bicarakan. Setelah aku selesai berbicara, aku melihat Marx mengeluarkan buku
catatannya dan mengatakan bahwa zaman feodalisme di Jerman sudah berakhir,
sekarang kita hidup di zaman Kapitalisme. Marx menambahkan “Zaman Kapitalisme melahirkan dua tipe
masyarakat, yaitu proletariat dan kapitalis. Aku akan menjelaskan mulai dari
proletariat..”
Menurut Marx,
proletariat adalah para pekerja yang menjual kerja mereka dan tidak memiliki
alat-alat produksi sendiri, seperti aku dan para pekerja lainnya di pabrik
milik keluarga Engels. Karena mereka tidak memiliki sarana-sarana untuk
memproduksi kebutuhan mereka, maka mereka harus menggunakan upah yang mereka
peroleh untuk membeli apa yang mereka butuhkan. Maka dari itu proletariat
tergantung sepenuhnya pada upahnya untuk bertahan hidup. Hal inilah yang
membuat proletariat tergantung pada orang yang memberi upah. Orang-orang yang
memberi upah itu adalah kaum kapitalis. Jelas, kapitalis adalah orang-orang
yang memiliki alat produksi. Sambil menyeruput segelas kopi, Marx mengatakan “sebelum aku menjelaskan sepenuhnya
tentang kapitalis, kamu harus mengerti terlebih dahulu apa itu kapital.”
Berdasarkan pengamatan
Marx, kapital adalah uang yang diinvestasikan, bukan uang yang digunakan
untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Ada dua tipe sirkulasi
komoditas, sirkulasi pertama adalah ciri kapital, yaitu Uang – Komoditas –
Uang (dengan jumlah yang lebih besar) = (M1-C-M2). Sirkulasi ini memiliki
tujuan “Membeli untuk Menjual” agar menghasilkan lebih banyak uang. Di sini
seorang pemilik pabrik akan menggunakan uang (M1) untuk membeli komoditi (C)
untuk menjualnya kembali demi mendapatkan lebih banyak uang (M2). Sedangkan
sirkulasi bentuk kedua bukanlah ciri kapital, yaitu Komoditas – Uang –
Komoditas (C1-M-C2). Di sini seorang nelayan menjual ikan hasil tangkapannya
(C1) dan kemudian menggunakan uang (M) untuk membeli roti (C2). Artinya,
kapital adalah penumpukan uang yang menghasilkan lebih banyak uang.
Kelas kapitalis dengan
demikian adalah mereka yang hidup dari keuntungan kapital dengan cara
mengeksploitasi kerja-kerja buruh. Sangatlah wajar ketika rekan-rekanku, para
buruh di pabrik tak berani protes dengan upah rendah dan jam kerja yang
sangat eksploitatif. Jika mereka mengeluhkan upah dan jam kerja, maka mereka
akan dipecat. Aku pikir itu benar, para buruh benar-benar tak mampu menjadi
seorang manusia, bahkan untuk mengkritik dan mengeluh mereka tak mampu,
mereka harus menuruti bos-bos pabrik yang telah mengupah mereka. Kaum
kapitalis tak boleh diprotes dan dikritik, mereka tak pernah salah layaknya
Tuhan.
Waktu sudah menunjukan
pukul 23.00 pagi. Obrolan kami begitu menarik, sehingga aku sangat terlarut
dalam dialog bersama Marx dan Engels. Karena besok pagi aku harus bekerja,
maka aku mengajak mereka berdua untuk segera pulang. Engels mengajak Marx
untuk menginap di rumahnya, di Barmen. Kami bertiga pun segera keluar dari
pintu caffe dan melangkahkan kaki menuju stasiun kereta api untuk segera
melanjutkan perjalanan pulang menuju Jerman..
Marx Berkunjung ke Pabrik
Pukul 08.00 pagi aku
dan buruh-buruh di pabrik mulai bekerja, memproduksi barang-barang untuk
mengejar target “satu hari 3000 produksi”. Aku bekerja dalam keadaan penuh
sesak di bawah lampu neon berjarak 30cm bersuhu 40’C. Dengan bagian luar yang
kelihatan sangat mewah, kondisi di dalam pabrik lebih mirip kandang ayam
ketimbang tempat manusia bekerja. Kulihat wajah rekan-rekanku sangat lesu dan
kelelahan. Di depan pintu pabrik, aku melihat Marx dan Engels. Mereka datang
bukan untuk mengawasi dan menyuruh kami bekerja lebih keras, tetapi
berkeliling untuk menyapa seluruh buruh-buruh di pabrik.
Pada saat jam
istirahat, Marx menghampiri para buruh. Ia menyapa kami dengan senyuman
hangat. “Bagaimana, apakah kalian semua merasa bahagia bekerja di pabrik?”
tanyanya kepada kami.
Aku hanya diam,
rekan-rekanku pun tak mampu menjawab. Marx mulai melanjutkan pembicaraan “Aku
paham bahwa ada hubungan yang nyata antara kerja dan sifat dasar manusia.
Tetapi apakah kalian merasa bahwa kerja-kerja kalian telah membuat kalian
menjadi manusia seutuhnya?” Semua buruh langsung menggelengkan kepala,
pertanda bahwa mereka tak merasa menjadi manusia, melainkan terpaksa bekerja
untuk mencari uang agar bisa makan dan melanjutkan kehidupan.
Marx mengajak kami
agar tak sekedar menjalankan fungsi-fungsi hewaniah. Ia mengatakan bahwa
manusia memiliki potensi-potensi dan kekuatan-kekuatan unik yang membedakan
manusia dengan makhluk hidup lainnya. Sebagai contoh, seekor laba-laba mampu
menjadi seorang penenun dan seekor lebah mampu membuat malu seorag arsitek
karena sarang yang dibuatnya. Namun, inilah yang membedakan arsitek dengan
lebah, bahwa seorang arsitek sudah membayangkan seperti apa bentuk bangunan
yang akan mereka buat di dalam imajinasi sebelum mereka membangunnya di dalam
kenyataan. Pertama, yang membedakan manusia dengan hewan adalah bahwa
kerja-kerja manusia mampu mewujudkan suatu realitas konkrit yang sebelumnya
hanya ada di dalam imajinasi. Berdasarkan sudut pandang Marx, karya seni
merupakan imajinasi yang sebelumnya ada di alam pikir seorang seniman. Kedua,
kerja manusia bersifat material. Ia bekerja untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan material kita. Pemenuhan kebutuhan bisa membawa manusia
pada penciptaan kebutuhan baru. Misalnya, produksi mobil-mobil akan membawa
kita pada kebutuhan akan jalan raya. Ketiga, kerja mentransformasikan sifat
dasar manusia.
Aku terpana melihat
penjelasan Marx, sangat detail dan mengagumkan. Dengan usia semuda itu ia
merupakan anak muda yang memiliki pemikiran yang sangat brilian.
Rekan-rekanku pun merasakan hal yang sama. Semenjak berbincang dengan Marx,
mereka semua mampu memahami sistem kerja kapitalisme yang telah
menyelewengkan sifat dasar manusia. 30 menit sebelum waktu istirahat habis,
Marx mulai melanjutkan pembicaraan. Seluruh pekerja langsung memperhatikan
dengan pandangan yang cukup serius.
“Hubungan kerja dan
sifat dasar manusia yang telah diselewengkan oleh kapitalisme aku sebut
sebagai alienasi, dimana manusia tidak lagi melihat kerja mereka sebagai
sebuah ekspresi dari tujuan mereka” begitu penjelasan Marx.
Menurutnya, alienasi
atau keterasingan terdiri dari empat unsur dasar. Pertama, kaum pekerja tidak
lagi memproduksi objek-objek berdasarkan ide-ide mereka. ekerja tak lagi
bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, tetapi mereka bekerja untuk
kapitalis, yang memberi mereka upah untuk menyambung hidup. Aktivitas
produksi bukan lagi menjadi ajang ekspresi ide-ide manusia, tetapi sudah
dikontrol dan menjadi milik para kapitalis. Hal itulah yang akhirnya
menjadikan kerja-kerja di pabrik menjadi sarana-sarana yang amat membosankan
dan mematahkan semangat para pekerja.
Kedua, Marx
berpendapat bahwa para pekerja teralienasi dari produk-produk yang telah
mereka buat, dimana produk-produk kerja bukan menjadi milik mereka, melainkan
menjadi milik para kapitalis. Marx benar, bayangkan saja, jika kami
menginginkan barang-barang yang kami produksi di pabrik, kami harus
membelinya seperti orang lain. Kami menjadi seorang produsen sekaligus
konsumen. Bahkan salah seorang buruh di pabrik roti ada yang mati kelaparan
karena tak mampu membeli roti yang, ironisnya, mereka buat sendiri. Kondisi
yang sama juga dialami oleh para buruh petani yang mati kelaparan karena
mereka tak mampu membeli gandum yang mereka produksi sendiri.
Ketiga, sistem
kapitalisme membuat para pekerja teralienasi dari sesama pekerja. Ketika Marx
berusaha melanjutkan penjelasannya, ada seorang pekerja melambaikan tangannya
ke arah Marx, “Hai tuan, aku sepakat dengan pendapat anda” begitu kata pria
tersebut. Perhatian Marx dan para pekerja tertuju kepada laki-laki itu.
Namanya Terkel, ia berusaha memperjelas apa yang ia bicarakan dengan mengatakan
bahwa para pekerja bisa berdampingan dengan seseorang selama beberapa bulan
tanpa mengetahui namanya. Satu hal yang diketahui oleh para pekerja bahwa
mereka terlalu sibuk untuk sekedar berbicara. Begitulah, bahkan untuk
berbicara, para buruh tidak memiliki waktu. Suara Telker yang sangat lantang
membuat suasana di dalam pabrik begitu hening. Marx pun memberikan senyuman
dan apresiasi terhadap laki-laki ini, lalu mengatakan bahwa apa yang dibilang
Telker harus menjadi renungan bagi seluruh kaum buruh di Jerman, tidak hanya
di pabrik tekstil milik Engels. Marx mengatakan bahwa para buruh dipaksa
untuk berkompetisi, bukan bekerjasama. Maka tak heran jika banyak pekerja
yang berusaha mencari muka di hadapan bos-bos pabrik demi mendapatkan imbalan
dan tidak disingkirkan atau dipecat. Siapa yang bekerja lebih cepat, bersedia
dieksploitasi dengan memproduksi lebih banyak, dan siapa yang berhasil
menyenangkan atasannya, maka dialah yang mendapatkan imbalan.
Yang keempat dan
terakhir, Marx mengatakan bahwa kelas pekerja teralienasi dari potensi
kemanusiaan mereka sendiri. Kerja bukan lagi sebagai wujud ekspresi dan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia, tetapi malah membuat manusia tidak
menjadi dirinya sendiri. Hal itulah yang menurut Marx membuat para pekerja
seperti di pabrik ini akan merasa nyaman ketika tidak bekerja dan merasakan
gelisah dan tidak nyaman ketika sedang bekerja. Oleh karena itu kerja-kerja
buruh tak lagi bersifat sukarela, melainkan terpaksa; dipaksa bekerja.
Waktu sudah menunjukan
pukul 13.00, para pekerja terlihat gelisah dan satu persatu dari mereka mulai
berpamitan kepada Marx untuk memulai kembali aktivitas produksi mereka. Lalu,
sebelum aku kembali bekerja, aku bertanya kepada Marx, “tuan Marx, bagaimana
cara mengubah ini semua? mungkinkah kami para buruh akan terus dieksploitasi
layaknya hewan dan terus bergantung kepada kaum kapitalis sehingga kami tidak
bisa merdeka atas diri kami sendiri?”
Marx langsung
menjawab“Kekejaman sistem kapitalisme akan melahirkan lebih banyak kelas pekerja
yang menderita akibat tereksploitasi, dan orang-orang yang tereksploitasi
seperti kalianlah yang kelak berpotensi sebagai aktor yang akan mengakhiri
kapitalisme melalui revolusi kelas pekerja.” Marx mengucapkan kata-kata itu
dengan penuh harap dan kepercayaan bahwa kelak kaum buruh mampu memutus
sendiri rantai penderitaan mereka.
Tak lama setelah itu,
Engels yang sedari tadi memperhatikan dan larut dalam penjelasan menambahkan
apa yang dikatakan Marx, “Untuk melakukan sebuah revolusi demi terbentuknya tatanan
dunia yang lebih adil, maka kaum buruh se-dunia bersatulah!”
Belum puas dengan
jawaban Marx dan Engels, aku kembali bertanya “Tuan, lalu masyarakat seperti
apa yang akan lahir ketika zaman kapitalisme berhasil diakhiri oleh sebuah
revolusi?”
Marx menjawab dengan
tenang “Masyarakat tanpa kelas”. Katanya, akan hadir suatu zaman yang lebih
baik dibandingkan pada saat ini, dengan berakhirnya kepemilikan pribadi,
eksploitasi, dan kelas-kelas sosial demi terwujudnya kemerdekaan umat
manusia. Semua orang hidup dalam bingkai kesetaraan, tak ada yang saling
mendominasi, tak ada diskriminasi, tak ada lagi perbudakan, tak ada lagi
penghisapan dan penindasan manusia terhadap manusia lainnya. Tahapan zaman
itu bernama komunisme, dimana semua orang memiliki hak yang sama untuk
merealisasikan diri dan berpartispasi aktif dalam segala bentuk kehidupan
sosial.
Aku sangat
berterimakasih kepada Marx karena ia berhasil menyadarkan kaum buruh terhadap
penindasan dan penghisapan yang mereka alami. Walaupun banyak yang mengkritik
Marx, bagiku kita semua harus melihat Marx dengan adil. Kelahiran Marx dan
buah pemikirannya harus disambut dengan perasaan bahagia. Ajaran-ajaran Marx
telah menginspirasi seluruh buruh di Eropa, bahkan kelak di seluruh dunia
untuk melakukan perlawanan terhadap sistem kapitalisme yang kejam. Perbudakan
harus dihapuskan dan pembebasan umat manusia harus diperjuangkan.
Setelah satu jam
berbicara dengan Marx, aku dan para pekerja lainnya kembali bekerja. Aku
melihat Marx perlahan-lahan meninggalkan ruangan pabrik, lalu Engels segera
menyusul di belakangnya, mereka keluar melalui pintu utama pabrik ini. Selamat jalan Marx, Engels. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar