Selasa, 08 Maret 2016

Who Stops Learning, Stops Teaching

Who Stops Learning, Stops Teaching

Komaruddin Hidayat ;   Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
                                                  KORAN SINDO, 04 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tamat sebagai sarjana ilmu perbandingan agama IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1981), saya langsung diminta Rektor Prof Harun Nasution untuk menjadi dosen. Sesungguhnya ini merupakan kebijakan yang tidak bijak. Ibarat siswa tamat SMU lalu mengajar murid SMU. Kebijakan ini juga terjadi di kampus-kampus lain. Yang terjadi, jarak langit keilmuan antara dosen dan mahasiswanya terlalu dekat. Syukurlah sekarang pemerintah membuat peraturan baru.

Untuk menjadi dosen strata 1, minimal tamat strata 2. Ke depan mesti ditingkatkan lagi, hanya mereka yang memiliki ijazah strata 3 (doktor) yang berhak menjadi dosen strata 1. Untuk level pascasarjana, idealnya mesti profesor, sedangkan doktor bisa magang sebagai asisten. Di beberapa universitas luar negeri, seorang alumni tidak boleh mengajar di kampus tempat dia belajar sebelum memiliki pengalaman sebagai dosen di kampus lain.

Sungguh benar nasihat klasik, mengajar adalah cara belajar yang paling efektif. Sebagai dosen yunior yang memberi kuliah kepada mahasiswa yang hampir semuanya adalah teman bermain, saya mesti belajar serius dan membuat persiapan matang sebelum masuk kelas. Terbayang betapa malunya andaikan muncul pertanyaan dalam diskusi, lalu saya tidak cukup bahan untuk menjawab.

Waktu itu saya diberi tugas mengajar mata kuliah orientalisme, yaitu pandangan sarjanasarjana Barat tentang kebudayaan Timur, lebih khusus lagi adalah sarjana Barat nonmuslim memandang Islam. Materi orientalisme ini kebanyakan ditulis dalam bahasa Inggris sehingga saya mesti membaca buku-buku asing dengan modal kamus Inggris-Indonesia.

Semakin mengenali buku-buku orientalisme, saya semakin tertarik dan penasaran karena isinya banyak yang minor, sinis, dan menghujat ajaran Islam yang saya pelajari dan yakini. Bahkan sebagian saya nilai bernada fitnah. Lama-lama saya membaca buku orientalisme tidak semata untuk bahan kuliah, tetapi tertarik menyelami lebih jauh apa argumentasi orientalis mengkritik Islam.

Kritik mereka disertai argumen yang logis, rasional meskipun sering didasari premis yang salah atau tendensius. Ini dilakukan terutama oleh orientalis abad ke-19. Bercampur antara ketidaktahuan dan kebencian terhadap Islam. Suasana batin mereka mempelajari budaya Timur, khususnya Islam, dipengaruhi oleh kenangan pahit Perang Salib dan untuk kepentingan membuka jalan bagi penjajahan.

Dengan mengetahui budaya dan tradisi Timur, kekuatan Barat lebih mudah masuk untuk menguasainya. Memasuki abad ke-20 terjadi perubahan besar di kalangan orientalis. Dunia semakin terbuka, lalu lintas informasi berlangsung kian intensif. Tidak saja sarjana Barat datang ke Timur untuk melakukan penelitian dan perdagangan, orang Timur pun banyak yang ke Barat untuk melakukan hal yang sama.

Buku-buku tentang Islam yang ditulis dalam bahasa Inggris terus bermunculan. Banyak insinyur perminyakan serta konsultan Barat yang bekerja di dunia Islam, melihat dan bergaul lebih dekat dengan umat Islam. Dari situ perubahan persepsi tentang Islam yang ditulis orientalis abad lalu yang mengidap kebencian mulai terkoreksi.

Tukar-menukar dosen antara universitas di Barat dan dunia Islam juga semakin berkembang. Semua ini sangat besar pengaruhnya untuk membangun saling pengertian antara dunia Islam dan Barat, terutama dari sisi keilmuan. Adapun di ranah politik dan ekonomi, kita mesti membaca dan mendekati dengan kacamata yang berbeda mengingat di sini yang menonjol adalah kepentingan ekonomi dan politik seperti halnya agresi Israel atas wilayah Palestina.

Perkembangan positif untuk menjalin saling pengertian antara Barat dan dunia Islam juga ditandai antara lain oleh berbagai seminar dan dialog antarumat beragama yang populer disebut interfaith dialogue. Penghadapan Barat dan Islam sesungguhnya kurang tepat, mestinya Barat dan Timur. Tapi begitulah diksi yang sudah lama berjalan dan diterima publik.

Sebagai dosen orientalisme dan filsafat, tentu saja perkembangan ini sangat mengasyikkan untuk saya baca dan ikuti. Di Barat sekarang ini hampir semua universitas terkemuka membuka departemen studi agama, khususnya Islamic studies. Baik dosen maupun mahasiswanya banyak datang dari negara-negara muslim, plus profesor Barat yang memiliki latar belakang akademis kajian Islam.

Ini perkembangan cukup progresif dari komunitas orientalis. Bahkan mereka tidak senang dengan istilah orientalis yang sarat muatan ideologisimperialis. Kembali akan status saya sebagai dosen muda dan baru, yang sangat membantu saya tampil percaya diri di depan mahasiswa adalah profesi sampingan saya sebagai wartawan.

Pengalaman bertemu dengan beragam tokoh nasional maupun asing menambah wawasan sosial politik keagamaan Indonesia dan sedikit tentang dunia Islam. Yang tak kalah penting adalah pengalaman selagi masih mahasiswa berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Ciputat, bahkan pernah duduk sebagai ketua departemen kader di Pengurus Besar HMI.

Pengalaman sebagai dosen ini mengajarkan satu wisdom, dosen atau guru yang berhenti atau malas belajar mestinya dia harus berhenti mengajar. Kasihan mahasiswanya kalau dosennya malas memperkaya bekal ilmu dan pengalaman. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar