Mitos dan Logos
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
MEDIA INDONESIA,
16 Maret 2016
PERISTIWA gerhana matahari (untuk ke sekian
kalinya, yang terlihat gamblang) di Indonesia pada Maret 2016 ini menimbulkan
(menciptakan) semacam heboh. Seolah ada persoalan yang dialektis atau
bipolaristik, persoalan yang sama tua dengan sejarah pengetahuan, yakni mitos
dan logos. Dalam riwayatnya, mitos tidaklah senantiasa memiliki makna yang
bertentangan dengan apa yang kita sebut dengan logos. Sebagai prosedur
berpikir kontinental-oksidental yang berbasis pada akal dengan metode
pembuktian yang materialistis hingga positivisme yang mengiringinya. Padahal,
dalam ilmu sosiologi, misalnya mitos adalah tahap yang biasanya dilewati oleh
sebuah masyarakat untuk bisa mencapai tingkatan logis.
Keduanya proses yang
bersinambungan atau terkait langsung.
Secara etimologis, sebenarnya mitos dan logos
memiliki pengertian yang sama sebagai `perhitungan' atau `cerita'. Para
pemikir memperhitungkan alam dalam sebuah kisah yang kadang bahkan sulit kita
membedakan dasar atau metodenya, mitos atau logos.
Pionir astronomi
Lalu, apa makna sesungguhnya sebuah mitos
tentang gerhana matahari? Sebagaimana sering dikisahkan, hal itu terjadi
karena Batara Kala memakan sumber kehidupan manusia. Kentungan pun harus
ditalu agar kita waspada. Apakah kemudian menjadi masalah ketika mitos yang
ternyata juga diproduksi oleh ratusan tradisi di seluruh dunia itu menjadi
medium sosial dalam mengarahkan dan menentukan perilaku (anggota) masyarakatnya?
Benarkah mitos atau mitologi, sebagaimana praanggapan umum, kaum akademis
hingga penyelenggara negara memiliki efek atau akibat yang negatif? Bahkan,
destruktif bagi akal budi, perilaku, hingga posisi atau jati diri mutakhir
manusia dalam dunia postmodernism ini misalnya saja?
Saya tidak setuju karena sesungguhnya mitologi
diproduksi penduduk di kepulauan ini, memiliki posisi yang penting, bahkan
vital terhadap keberadaan manusia atau komunitasnya. Itulah ciri utama dari
bangsa-bangsa negeri ini yang notabene dilandasi peradaban khas bahari atau
maritim dalam arti reduktifnya. Banyak catatan historis dan arkeologis
menunjukkan bagaimana penduduk Nusantara ini menjadi golongan manusia pertama
di atas muka bumi yang menjadi imigran atau penetap pulau-pulau kosong atau
kawasan tak berhuni di muka bumi ini.
Bukan hanya Benua Australia yang dulu melekat
dengan Papua, melainkan juga menjadi penetap nenek moyang di Selandia Baru,
Melanesia, bahkan Tahiti, dari Madagaskar, Seychelles, hingga pantai Timur
Afrika. Sebuah perjalanan sulit, tetapi mampu di atasi pelaut kita dengan
membaca bintang.
Kuasa mitos
Kenyataan historis tersebut menjelaskan
mengapa bangsa Nusantara bisa mengklaim dirinya sebagai pencipta astronomi
pertama dalam sejarah manusia. Sebuah berita, lebih lima tahun lalu (Kompas,
18 September 2010) mengabarkan penemuan Profesor Ray Norris dari The Commonwealth Scientific and Research
Organization (CSIRO), Australia, tentang suku Aborigin di Australia Utara
yang memiliki pengetahuan astronomi mendahului bangsa mana pun. Ilmu
astronomi kaum Aborigin diperkirakan berusia 10.000-20.000 BCE.
Masyarakat Aborigin Australia, menurut
penelitian yang sama, juga membuktikan bagaimana mereka memiliki kapabilitas
membaca peristiwa di langit (bintang). Kita menyebut sebagian pengetahuan
yang mencoba mengaitkan gejala bintang dengan gejala kehidupan manusia itu
sebagai astrologi. Itulah alasan mengapa kitab-kitab astrologi Jawa macam Bental Jemur tidak perlu dipandang
lebih rendah ketimbang fengsui, ilmu sejenis dari Tiongkok. Jika tidak
dikatakan lebih luas dan dalam.
Fakta itu pula yang melatari keterkejutan
Alfonso d'Albuquerque, pelaut dan penjarah Portugis awal yang diusir para
pelaut Madura dan Bali itu menemukan peta yang ia serahkan sebagai hadiah
pada Ratu Spanyol, yakni di dalamnya digambarkan rute, bahkan wilayah Tanjung
Harapan di Afrika, Teluk Parsi, Laut Merah, hingga Ryukyu Jepang, bahkan
Brasil di pedalaman Jawa Timur, dalam bahasa Jawa! (Lombard: 2008). Di
waktu-waktu kemudian, bangsa Jawa dan bangsa-bangsa lain Nusantara pun
membangun pengetahuannya tentang dunia atas (langit) yang ternyata memiliki
relasi langsung-positif dengan dunia bawah (bumi). Relasi yang pada puncaknya
menciptakan semacam kesatuan, integrasi energi, hingga peleburan eksistensi,
manunggaling jagad cilik (kawula) lan jagad gede (gusti).
Di titik ini, mitos memiliki posisi yang
sangat kuat, kuasa budaya yang desisif dalam kehidupan masyarakat bahari yang
memilikinya. Ia sudah menjadi DNA kultural kita yang tidak mudah dilenyapkan
atau diganti, bahkan oleh ilmu pengetahuan, logos.
Kuasa logos
Hingga kemudian datanglah cara berpengetahuan
baru yang berbasis pada logika atau logos,
khususnya sebagaimana yang dipahami masyarakat kontinental (daratan) di Eropa
(oksidental). Logos yang mencoba
mengingkari dirinya sebagai lanjutan dari cara berpikir primordial yang
berbasis pada mitos.
Tentu saja kita paham saat ini logos yang kuat
dibangun oleh sejarah filsafat Yunani itu kemudian dikerdilkan, bahkan
dilaknat oleh Eropa daratan b di masa kegelapan hingga akhirnya d pemikir
Islam membangkitkannya kembali. Ia menjadi modus eksistensial yang dominan,
bahkan represif setelah Rene Descartes melahirkan ujaran berkaliber mantra, cogito ergo sum, aku berpikir
(karenanya) aku ada. Logos yang kemudian menjadi kuasa kerajaan (imperial)
dan menjadi senjata ampuh dalam imperialisme yang dilakukan bangsabangsa
Eropa pada sisa dunia hingga hari ini.
Hingga di momen yang membuat seluruh dunia
(dengan segala cara) menerima rasionalisme logis sebagai – bahkan -- tuhannya
yang baru, yang antara lain bertujuan menghancurkan mitos sebagai `tuhan'
kompetitor atau kuasa tandingannya. Seolah mereka tidak sadar, atau
sebenarnya berlagak tidak sadar, bahkan ilmu pasti, juga matematika sebagai
tiang utamanya, sebenarnya berakhir sebagai mitos baru. Menjadi diktum,
adagium, hingga teori yang sering kita terima apa adanya. Apa yang terbukti,
antara lain dari gerhana total matahari pada 2016 ini menjadi bukti nyata,
bagaimana mitos gravitasi Newtonian masih hidup, diajarkan, bahkan dengan
fanatik hingga sekolah menengah.
Padahal, dengan Teori Relativitas Umumnya di
pada 1916, Albert Einstein membuktikan kekeliruan teoritis gravitasi dengan
menjelaskan keberadaan dan kerja medan (gelombang) gravitasional. Betapa
matahari, bintang yang mengalami gerhana itu memengaruhi, bahkan cara kita
tidur, makan, hingga bercinta, banyak ahli sudah menjelaskan. Lalu, apa yang
mesti dirisaukan? Mitos dan logos, cuma cara manusia menjelaskan dirinya
dalam konstelasi semesta ini. Cara mengambil signifikansinya mungkin berbeda,
tapi apa sesungguhnya mitos dan logos berbeda? Hmm. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar