Java Jazz Festival
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 13 Maret
2016
Java Jazz Festival
(JJF) Jakarta baru saja berlalu (4-6 Maret 2016). Seperti biasa, seru dan
meriah, bukan hanya untuk penikmat musik jazz (genre musik yang tergolong
paling sukar), melainkan juga sebagai ajang lifestyle (unjuk gaya) orang
Jakarta, sehingga tiket yang harganya jutaan rupiah(di luar harga tiket masuk)
buat menonton Sting laris dibeli orang, selaris kerak telur yang juga ludes
walaupun dijajakkan oleh puluhan tukang kerak telur se-DKI di sekitar arena
JJF maupun di dalam food court-nya.
Saya sudah delapan kali ikut JJF.
Enam kali sebagai
anggota The Professor Band (sampai tahun 2014), dan dua tahun terakhir
menemani grup musik ABG, the Youth Jazz Musicians (YJM), yang cucu saya,
Audria, 16, jadi salah satu vokalisnya dan kebetulan pelatihnya sama dengan
pelatih TPB, Mas Harry Wisnu yang sekarang mengampu sebuah sekolah musik.
Tetapi saya bukan mau
bercerita tentang JJF atau meresensi penampilan berbagai grup musik top dari
dalam dan luar negeri, melainkan mau berbagi tentang bagaimana proses sebuah
kelompok yang sangat heterogen dijadikan sebuah kelompok musik Jazz.
Seperti sudah saya
sampaikan, musik jazz tergolong bergenre kelas tinggi. Biasanya dimainkan
oleh orang-orang yang memang sudah sangat mahir bermusik dan sangat menguasai
alat musiknya. Kalau bukan pemusik profesional (tentu bukan pemusik pro kelas
organ tunggal), minimal musisi amatir yang sudah amat canggih seperti
almarhum Prof Dr Benny Hoed (ayahanda musisi Anto Hoed) yang sangat piawai
meniup harmonika.
Tetapi anggota-anggota
TPB hanya setara dalam keprofesorannya. Yang belum profesor pun semuanya
berlatar belakang akademik. Di luar itu mereka berbeda-beda. Apalagi dalam
hal bermusik. Ada yang sangat canggih seperti Prof Benny Hoed, ada yang
biasa-biasa saja, bahkan ada yang baru belajar (waktu saya pertama ikut JJF
saya baru dua tahun belajar meniup saksofon).
Lebih dari itu, yang
lebih penting genre musik kami berbeda- beda. Prof Ronny Nitibaskara (FISIP)
selalu memainkan lagu-lagu Amerika Latin dengan mandolin ketika dia SMA dan
Prof Agus Sarjono (FH) adalah gitaris metal, yang berbeda lagi dengan Prof
Triatno (FT) yang gitaris pop. Tetapi semua harus disatukan dalam harmoni,
suatu hal yang tidak mudah bagi para profesor yang biasa jalan
sendiri-sendiri.
Akhirnya harmoni itu
tercapai ketika semua menyadari pentingnya arti gotong-royong (saling
menghargai, saling memberi hak yang sama) antara sesama pemusik, arti etos
kerja yang tinggi (rajin berlatih) dan arti integritas pribadi (tidak
membolos kalau sudah janji datang untuk latihan, atau minta izin kalau memang
berhalangan.
Tidak bilang sudah
hafal partitur, padahal belum, dll). Dengan sikap mental seperti yang
dicanangkan pemerintah dalam program Revolusi Mental, maka tidak terlalu
sulit untuk pelatih mengarahkan anggota TPB untuk mencapai harmoni sesuai
tuntutan sebuah musik jazz. Hal yang sama terjadi pada kelompok musik ABG YJM.
Kecuali penabuh drum,
keyboards, dan bas, semuanya pemusik pemula. Bahkan ada yang baru tiga bulan
memegang saksofon. Usia dan pendidikan pun berbeda, ada yang masih SD, ada
yang sudah kuliah, bahkan ada yang berkebutuhan khusus. Tetapi semuanya bisa
didorong menjadi suatu harmoni musik jazz.
Faktor kuncinya arrangement yang sudah dibuat oleh
pelatih. Semua harus membaca atau menghafal partitur. Improvisasi tidak
dimainkan sendiri-sendiri, melainkan ditulis dalam partitur untuk setiap alat
musik. Termasuk untuk saksofon tenor saya (saya sebagai pemusik tamu, karena
saya bukan ABG lagi). Disiplin masih paling susah buat para ABG, maka para
emak pun ikut campur.
Mereka menemani
anak-anak mereka setiap latihan dan mendorong anak-anak mereka latihan di
rumah. Kalau tidak latihan, tidak dikasih uang jajan! Emak-emak ini juga
bergantian menyiapkan konsumsi setiap habis latihan. Kadang nasi kebuli,
kadang hanya baso dan teh kotak.
Itulah yang membuat
anak-anak selalu gembira sehabis latihan dan kompak sebagai sesama kelompok
pemusik sehingga menghasilkan harmoni yang cukup baik untuk ditampilkan di
sebuah festival musik sekelas JJF.
Harmoni. Itu kata
kunci untuk bermusik jazz. Tetapi juga kata kunci buat semua kerja bareng apa
saja, termasuk pemerintah. Coba kalau para profesor di TPB terus gaduh karena
masing-masing merasa paling bisa bermusik, tidak akan dia bisa tampil di JJF
sampai enam kali. Demikian juga kalau anggota YJM tidak bisa didisiplinkan
oleh para emaknya, pasti hancurlah komposisi musiknya.
Begitu juga dengan
Kabinet Kerja. Kalau para menteri terus gaduh, bahkan melawan Presiden,
bagaimana Presiden bisa mengembangkan tim kabinet yang berkinerja untuk
kepentingan bangsa dan negara. Presiden Jokowi adalah orang yang luar biasa.
Integritas, etos kerja, dan semangat gotong-royongnya belum tertandingi
presiden-presiden sebelumnya.
Tetapi memang dia
bukan orang yang tegas seperti Pak Harto, yang bisa menyuruh semua
pembantunya (termasuk para menteri dan asisten pribadi) kompak seperti
tentara berbaris. Para menteri Kabinet Kerja harus bisa kompak sendiri untuk
mencapai kinerja yang tinggi. Untuk itu, mereka harus profesional seperti
musisi-musisi jazz profesional, yang tanpa komando langsung kompak begitu
terdengar komando berupa ketukan stick drum.... tok-tok-tok...jreng! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar