Dimensi Puitis dan Kultural Islam Nusantara
Teuku Kemal Fasya ; Dosen
Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe; Aktivis Muda NU
|
KOMPAS,
04 Agustus 2015
Apa itu Islam Nusantara? Secara
sederhana ialah proses penghayatan dan pengamalan Islam melalui pengalaman
lokalitas umat yang tinggal di Nusantara. Dimensi kultural tentu ikut
memengaruhi nilai keislaman tersebut.
Contoh pengalaman saya berpuasa
pada 7 Juli lalu. Saya berbuka puasa dengan gulai pliek u, gulai sayur khas Aceh dengan 40 jenis sayuran, bumbu,
dan rempah plus kerupuk kulit sapi. Gulai pliek
u itu disandingkan dengan telur asin, ikan tongkol sambalado, dan kerupuk
emping dari Beureunun, Pidie. Hidangan pembukanya kanji rumbi waled dan
lemang cunda yang sangat terkenal di Lhokseumawe.
Saya tidak berbuka dengan kurma
karena memang kurang suka manis. Saya juga memilih minum kopi Sidikalang,
bukan air zamzam. Di samping harga air zamzam relatif mahal, banyak produk
kemasan zamzam dipalsu. Saya pikir kebahagiaan dan spiritualitas saya berbuka
dengan makanan itu tak berkurang meskipun tak ada kurma, yoghurt, air zamzam,
dan sup susu daging domba yang biasa disajikan kepada jemaah umrah di
Madinah.
Islam, agama yang dibawa Nabi
Muhammad SAW di tanah Arab abad ke-7 Masehi, adalah kelanjutan dari
"agama-agama Ibrahim".
Secara teologis, Islam bukan agama serta-merta, tapi berdialektika
dengan keyakinan yang pernah ada sebelumnya. Demikian pula Islam pasca-Nabi
Muhammad pun berkembang semakin kompleks setelah jauh tersebar di luar Timur
Tengah.
Islam masuk pertama kali ke
Nusantara abad ke-9 M (840) di Perlak, Aceh Timur. Namun, baru empat abad
kemudian Islam menjadi sebuah peradaban, yaitu melalui kehadiran Kerajaan
Samudera Pasai, Aceh Utara (1270), yang awalnya adalah kerajaan Hindu. Raja
pertamanya Meurah Silue masuk Islam dan berganti gelar menjadi Malik as-Salih
(Raja yang Bijaksana). Populisme Islam-lah yang memikat Meurah Silue untuk
menjadikan Islam agama resmi kerajaan.
Dari Aceh, Islam menyebar ke
seluruh Nusantara meskipun tak semua jalur berasal dari Aceh. Migrasi Islam
ke Nusantara bervariasi, mulai dari India Barat (Gujarat), Yaman, Persia,
Tiongkok, dan Champa (Vietnam) (Sumanto al-Qurtuby, 2003). Kronika Islamisasi
dilakukan melalui jalan kultural dan tidak melalui penaklukan. Pendekatan
akulturasi yang dilakukan Sunan Kalijaga, seperti digambarkan di dalam buku
Clifford Geertz, Islam Observed
(1968), menunjukkan keunggulan Islam Nusantara dibandingkan Maroko. Islam
masuk ke Jawa tidak dengan praktik dogma ketat, tetapi melalui pendekatan
simbol-simbol lokal, sinkretisme, dan folklor.
Meskipun pada awal abad ke-20
muncul gerakan politik pemurnian Islam, hal itu tidak sampai mengarah pada
revolusi dengan trauma sosial mendalam. Pada beberapa fase sejarah terjadi
gesekan antara gerakan Islamis, sosialis, dan nasionalis seperti tahun 1926,
1948, dan 1965. Namun, jika dilihat problem utamanya adalah politik-ekonomi
dibandingkan murni agama.
Jika akhirnya muktamar Nahdlatul
Ulama 1-5 Agustus mengambil tema "Meneguhkan Islam Nusantara untuk
Peradaban Indonesia dan Dunia" itu tak lain mengafirmasi aspek
historisitas, lokalitas, dan kultural bangsa ini di dalam perjumpaannya
dengan Islam. Tema itu juga tepat karena konflik Timur Tengah ikut berdampak
ke Indonesia akhir-akhir ini. Ide Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dan
kekuasaan Islam di dalam satu imperium (khilafah) telah memesona sebagian
umat Islam di Indonesia. Lemahnya pendidikan, kemiskinan, dan kefrustrasian
sosial menjadi pemicu. Padahal,
keterpukauan itu semacam sakit sejarah karena melupakan asal-usul Islam di
Indonesia yang harmoni dalam perbedaan.
Dimensi
puitis
Penabalan kata
"Nusantara" bukan sekadar penegasan nama tempat atau nomina,
melainkan lebih penting, penjelasan adjektiva atau kualitas Islam "di
sini" yang berbeda dengan Islam "di sana". Jika dalam rentang
satu milenia Islam di Indonesia bisa kokoh secara simbolis, kultural, dan
lokal, mengapa pula kita perlu mengorbankan hal-hal besar itu untuk
kepentingan politik Islamisasi sesaat? Sejarah Islam Nusantara itu pun ikut
memengaruhi peradaban Islam Melayu di Asia Tenggara.
Keberhasilan Islam jadi agama
Nusantara yang damai tak dapat dilepaskan dari daya adaptasi dan resiliensi
pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan lokal. Kredo teologis yang serba
melangit itu bertemu dengan dimensi kultural masyarakat dan beresonansi
melalui pengetahuan lokal.
Di Nusantara, keberadaan Islam
bukan hanya agama, melainkan juga kebudayaan ketika ia bisa kawin dan menjadi
peradaban Melayu tinggi. Kitab-kitab yang ditulis ulama-ulama Aceh masa lalu,
seperti Hamzah Fansuri, Samsuddin al-Sumatrani, Nuruddin ar-Ranirry, Syekh
Abdurrauf Singkily, dan Syekh Daud al-Rumy, menggunakan bahasa Melayu, bukan
bahasa Arab. Kitab-kitab seperti Bustanul Salatin, Mirratuth Thullab,
Turjumanul Mustafidh, Masailul Muhtadi, beraksara Jawi, berbahasa Melayu,
meskipun berjudul Arab. Modal itu menjadi faktor pendobrak hermeneutis, salah
satunya kebolehan perempuan menjadi pemimpin politik, ketika belum ada satu
pun pemimpin perempuan di dunia Islam lain hadir (HM Zainuddin, 1966).
Di dalam masyarakat Aceh dan Gayo,
misalnya, pesan-pesan Al Quran dan Hadist tidak langsung disampaikan melalui
praktik eksegesis yang ketat, tapi gelar kesenian, yaitu saer (syair). Praktik ini berlangsung turun-temurun dan menjadi
seni tradisi yang dipertahankan. Di antara para pengembang pendekatan ini
adalah Teungku Chik Pante Kulu dan Teungku Mude Kala.
Pendekatan saer ini disukai oleh masyarakat luas. Saer menjadi kendaraan yang bisa mengekspresikan
pernyataan-pernyataan religius di kehidupan yang nyatanya tidak normatif.
Islam membumi melalui keterampilan saer-saer para ulama dan seniman yang
memodifikasi pesan-pesan agama yang sifatnya eskatologis-normatif menjadi
kontekstual dan puitis (John Bowen,
Sumatran Politics and Poetics: Gayo History 1900-1989, 1991).
Itulah modal Islam Nusantara.
Mengingkari itu sama dengan mendustai keunikan dan keanekaragaman peradaban
maritim bangsa ini yang telah memeluk Islam selama ratusan tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar