Semangat
HKN untuk Kebangkitan Pertanian
Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian Unika Santo Thomas Medan; Pendiri dan Direktur Center for National
Food Security Research; Ketua Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia
(PATPI) Cabang Sumatera Utara
|
KORAN SINDO, 23 Mei 2015
Tahun
2015 genaplah usia Hari Kebangkitan Nasional (HKN) 107 tahun. Peringatan yang
berlangsung 20 Mei, kali ini perayaannya di tengah masa pemerintahan
Jokowi-JK yang usianya belum satu tahun, itu ditandai dengan semangat kerja
keras untuk memperbaiki negeri.
Semangat
ini kembali diingatkan lewat tema yang diusung ”Melalui Hari Kebangkitan Nasional Kita Bangkitkan Semangat Kerja
Keras Mewujudkan Indonesia Maju dan Sejahtera”. Nafas tema ini sejalan
dengan janji Jokowi-JK membangun Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan
memiliki pribadi yang kuat sebagai bangsa. Janji ini dikemas dalam bungkus
Nawacita atau sembilan citacita utama, salah satu program aksi utamanya
adalah membangun kedaulatan pangan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi
kerakyatan.
Kemiskinan
Indonesia
yang dipuja-puji sebagai negeri yang subur dan makmur ternyata belum
berdaulat atas pangan meski usia kemerdekaannya sudah 70 tahun. Teknologi
pertanian di era globalisasi ini mengalami kemajuan yang signifikan, namun
Indonesia masih bergantung pada pangan impor dan sebagian warganya masih
menghadapi persoalan kemiskinan dan kelaparan.
Lebih
dari 120 juta orang Indonesia saat ini tergolong miskin absolut dan hampir
miskin. Lebih dari 60% pekerja Indonesia berada di sektor informal. Mereka umumnya
tidak memiliki keterampilan khusus dan sebagian besar pendidikan mereka hanya
maksimal sekolah dasar. Dari 250 juta penduduk Indonesia, sekitar 60 juta
orang tergolong miskin yang setiap bulannya mengharapkan bantuan pangan dalam
bentuk beras rakyat miskin.
Bagi
rakyat Indonesia, soal pangan tidak bisa dianggap sepele. Kaum miskin kota
dan desa akan mudah mengalami kegelisahan sosial (social unrest) yang cenderung liar jika mereka acap mengalami
kelaparan. Negara maju memahami masalah perut yang satu ini. Petaninya pun
disubsidi secara signifikan sehingga mereka mampu mengusai pangan dunia.
Kepiawaian
negara maju mengelola pangan mengalahkan Indonesia sebagai negara agraris
yang dikenal subur dan makmur. Indonesia kini terperangkap dalam sistem
pangan impor yang amat mahal. Kredibilitas Indonesia di mata dunia sebagai
negara agraris kian terpuruk. Pemerintah dinilai tak mampu membangun ketahanan
pangan (food security) yang mandiri
dan berdaulat di tengah sumber daya pertanian yang melimpah.
Selama
ini kita lupa membangkitkan pembangunan pertanian yang digagas Bung Karno.
Dalam pidatonya saat peletakan batu pertama pembangunan Gedung Fakultas Pertanian,
Universitas Indonesia di Bogor, enam puluh tiga tahun lalu, Presiden pertama
RI ini bersabda ”... apa yang hendak
saya katakan itu adalah amat penting, bahkan mengenai soal mati-hidupnya
bangsa kita di kemudian hari ... oleh karena, soal yang hendak saya bicarakan
itu mengenai soal persediaan makanan rakyat. ”
Namun,
keinginan Bapak Proklamator ini untuk mewujudkan ketahanan pangan yang kuat
belum terealisasi di Indonesia. Rawan pangan kerap terjadi pada era Orde Lama
yang mengharuskan orang antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan 1-2 kg
beras. Sebagian bahkan harus rela menunggu sampai besok atau lusa. Soekarno
pun turun tahta sebagai presiden karena kurang piawai mengelola pangan.
Indonesia
belum serius membangkitkan industri pertanian meski presidennya sudah
beberapa kali berganti. Peristiwa krisis pangan terulang pada pemerintahan
Soeharto. Krisis ekonomi 1997 memicu langkanya bahan pangan. Harga beras dan
bahan pangan lainnya meningkat tiga kali lipat.
Masyarakat
kota tidak saja menyerbu supermarket untuk memborong bahan pangan, tetapi
sebagian mereka juga melakukan penjarahan karena tidak mampu lagi membeli
kebutuhan dasar tersebut. Salah satu penyebab turunnya Soeharto dari
singgasana kepresidenan pada 1998 karena tidak mampu mengatasi krisis pangan.
Penjajahan Pangan
Hingga
kini pangan tidak bisa mencapai setiap orang. Angka kemiskinan yang masih
besar di negeri agraris ini mengundang tanda tanya, mengapa itu bisa terjadi?
Ternyata kemajuan ilmu dan teknologi pertanian hanya monopoli negara- negara
maju, sementara negara berkembang seperti Indonesia berkutat dengan teknologi
tradisional guna memproduksi bahan pangan.
Petani
miskin yang belum mampu mengakses teknologi kerap korban gagal panen dan
menjadi pangsa pasar pangan negara-negara maju. Penjajahan dalam bentuk
kekerasan fisik sudah ditinggalkan negara maju untuk mengendalikan negara
miskin. Namun, penjajahan bentuk lain kini berlangsung secara determinan
yakni mengendalikan pangan dunia lewat penguasaan ilmu dan teknologi pangan.
Tren
baru ini menjadi kegiatan ekonomi antarnegara yang ujung-ujungnya selalu
menguntungkan negara-negara maju. Demi kepentingan bisnis segelintir
konglomerat di bidang bioteknologi pangan, benih hasil rekayasa genetik (GMO)
seakan dipaksakan ke petani negara-negara berkembang dalam bentuk ”program
bantuan pangan”.
Benih
GMO disalurkan sebagai bantuan bagi petani miskin yang mengalami gagal panen
misalnya. Setelah ditanam dan panen, baru disadari bahwa benih hasil
panenannya ternyata tidak boleh ditanam lagi, tanpa membayar royalti kepada
produsen benih.
Bukan
itu saja, benih tersebut ternyata juga hanya bisa tumbuh jika memakai pupuk,
insektisida, dan herbisida yang juga diproduksi oleh produsen yang sama.
Ideologi pasar bebas telah menjebak petani masuk dalam perangkap
ketergantungan di tangan konglomerat agrobisnis negara maju. Liberalisasi
pertanian semakin menghancurkan usaha tani lokal.
Mereka
acap terancam kelaparan dan mendorong petani dari desa berimigrasi ke kota
karena di desa hanya ada kemiskinan dan busung lapar. Saatnya Indonesia pada
era pemerintahan Jokowi-JK bersatu membangkitkan pertanian untuk penguatan
kedaulatan pangan (food sovereignty)
di tengah perkembangan industri pertanian yang berbasis kapitalistik.
Pemerintah
harus memfasilitasi warga perdesaan, termasuk petani, untuk menentukan
sendiri konsep pemenuhan pangannya yang berbasis sumber daya lokal seiring
dengan kenyataan bahwa hak atas pangan semakin terabaikan oleh pemain
liberalisasi perdagangan. Kuncinya harus ada cetak biru tentang industri
pangan yang menjadi andalan Indonesia.
Lalu,
manusia seperti apa yang harus disiapkan untuk mengawal itu. Hanya dengan
pemimpin yang jelas visinya dan memiliki kemauan kuat melaksanakannya,
Indonesia maju, sejahtera, berkeadilan, dan lepas dari penjajahan pangan bisa
terwujud.
Tanpa
kesejahteraan, keadilan, dan kedamaian, makna HKN dikhawatirkan akan menjadi
hambar. Perayaan peringatan HKN harus mampu memperbarui tekad bangsa untuk
meningkatkan upaya mempercepat penciptaan kemakmuran sebagai tujuan utama
perjuangan kemerdekaan.
Untuk
bisa menjadi negara industri pangan yang disegani masyarakat internasional,
Indonesia harus menguasai industri dasar pertanian. Tidak mungkin Indonesia
hanya mengandalkan komoditas primer yang tidak diolah.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar