Pesantren
dalam Sejarah Kebangkitan Nasional
A Halim Iskandar ; Ketua DPRD Jawa Timur, Ketua DPW PKB Jawa
Timur
|
KORAN SINDO, 23 Mei 2015
Kolonialisasi lama hanya merampas tanah. Sedangkan
kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan (Vandana Shiva).
Peringatan
momen Kebangkitan Nasional harus selalu dimaknai dalam kerangka kontekstual,
bukan tekstual. Jika hanya merujuk pada aspek tekstualitas, niscaya
peringatan kebangkitan nasional tidak akan memberi makna berarti.
Penyebabnya, banyak studi sejarah terbaru mulai mengkritisi penetapan tanggal
20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Sebagaimana
dikatakan Parakitri TS (2006), beberapa sejarawan menilai tanggal 20 Mei
sebagai tonggak awal mula gerakan kebangkitan nasionalisme pribumi berkat
kelahiran organisasi Boedi Oetomo (BO) mengandung banyak kelemahan sejarah.
Di
antaranya organisasi BO saat itu sesungguhnya tidak mencerminkan aspirasi
untuk memperjuangkan kemerdekaan Hindia-Belanda menjadi bangsa yang
berdaulat, namun sekadar wadah berorganisasi bagi para priyayi dan bangsawan
Jawa dengan memperjuangkan isu yang cenderung ”Jawa sentris”.
Karena
itu, banyak sejarawan menawarkan alternatif tafsir dengan menyebut momen
kebangkitan nasional bermula dari kelahiran Sarekat Dagang Islamijah (SDI) di
Batavia (1909) dan Sarekat Dagang Islam di Bogor (1912), serta Sarekat Islam
(SI) di Surakarta (1911). Perjuangan SDI (kemudian bertransformasi menjadi SI
di era Tjokroaminoto) yang semula didirikan untuk menyaingi usaha dagang
Tionghoa, berubah menjadi gerakan nasionalisme sejati setelah menemukan musuh
bersama yaitu Belanda.
Sejak
itu SI merupakan gerakan yang menampung semua kelas sosial dalam perjuangan
nasional yaitu kaum mustadzafin (pedagang, buruh, atau petani) dan golongan
elite (guru, intelektual, wartawan, bangsawan, atau pejabat lokal). Bahkan
tafsir sejarah lebih radikal disampaikan Agus Sunyoto dalam tulisannya, ”
Diponegoro Pelopor Kebangkitan Nasional Pertama ” (2013) di situs
pesantrenglobal. com.
Melalui
perang Jawa, Pangeran Diponegoro mampu membuat Belanda kelimpungan, nyaris
bangkrut dan hampir terbirit-birit meninggalkan Nusantara. Sekalipun namanya
sangat lokal (Perang Jawa), sesungguhnya pertempuran itu berdimensi nasional.
Pangeran Diponegoro berhasil menyatukan elemen-elemen kekuatan di Nusantara
untuk berkumpul di Jawa dan menggempur Belanda.
Karena
itu, Agus Sunyoto mengusulkan Hari Kebangkitan Nasional diperingati tiap 19
Juli, merujuk pada permulaan perang Jawa, 19 Juli 1825. Namun, mengingat 20
Mei sudah telanjur jadi konsensus nasional untuk diperingati sebagai Hari
Kebangkitan Nasional, kita harus memaknainya secara substantif yakni refleksi
tentang keberanian para anak bangsa waktu itu untuk memerdekakan bangsanya
dari cengkeraman penjajah sehingga tetap berdaulat.
Secara
substantif juga kita harus mengakui fakta bahwa peran pesantren begitu besar
dalam mendukung setiap fase kebangkitan nasional. Seperti peran Pangeran
Diponegoro yang sempat ”direduksi” dari sejarah, peran pesantren dalam
pergerakan nasional juga sering ”dikebiri” dari panggung sejarah Indonesia.
Peran Pesantren
Momentum
Kebangkitan Nasional selalu memiliki isu dan konteks yang spesifik di setiap
zamannya. Dalam setiap babakan sejarah itu pula, pesantren (kiai dan para
santrinya) memiliki peran yang signifikan untuk mempertahankan kedaulatan
tumpah darah Indonesia. Catatan sejarah membuktikan.
Pada
1512, ketika embrio NKRI masih bernama Kerajaan Demak, Pati Unus yang
merupakan santri didikan Wali Songo dengan gagah berani memimpin 10.000
pasukan dalam 100 kapal untuk menyerbu Portugis di Malaka. Tujuannya sederhana,
Portugis tidak lebih jauh masuk ke Nusantara dan mengancam kedaulatan.
Kemudian,
pada 1852, Pangeran Diponegoro yang merupakan santri dan ahli tarekat dari
padepokan Tegalrejo, Yogyakarta mengobarkan Perang Jawa (Java Oorlog ) hingga
membuat Belanda mengalami kerugian 20 juta gulden dan nyaris bangkrut.
Kemudian
ketika hasil politik etis menjadikan para elite pribumi memimpikan berdirinya
negara Indonesia, para ulama dan kiai NU pada Muktamar NU pada 1925 di
Banjarmasin telah membulatkan tekad untuk memperjuangkan lahirnya Republik
Indonesia sebagai Darussalam (negara kesejahteraan), bukan Darul Islam
(negara Islam).
Sebuah
gagasan progresif ketika belum banyak orang berpikir tentang konsep dasar
negara Indonesia. Kemudian pada era revolusi kemerdekaan, Hadratus Syekh KH
Hasyim Asyari mengeluarkan fatwa progresif tentang resolusi jihad pada 22
Oktober 1945. Suatu seruan yang membangkitkan spirit para santri di Jawa
Timur untuk mengusir penjajah pada perang 10 November 1945. Tidak berhenti
sampai di situ.
Ketika
era perang senjata (perang konvensional) sudah berakhir dan berganti rupa
menjadi perang dingin (nonkonvensional), Kiai Ahmad Shiddiq Jember melakukan
ijtihad intelektual yang brilian sehingga menghasilkan rumusan pemikiran yang
menjadikan prinsip-prinsip tauhid dan aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah kompatibel
dengan Pancasila.
Sebuah
landasan epistemologis yang membuat NU secara sukarela menjadikan Pancasila
sebagai asas NU jauh sebelum Soeharto secara represif memaksakan Pancasila
sebagai asas tunggal di Indonesia. Tujuan Kiai Ahmad Shiddiq cukup sederhana
yakni bagaimana agar NKRI tetap utuh dan berdaulat.
Tantangan Pesantren
Deskripsi
historis di atas menjadi bukti bahwa para wali, kiai, dan santri-santrinya
sudah berkomitmen sejak dahulu untuk mempertahankan Tanah Air warisan
Majapahit, Demak, Pajang, Mataram Islam, hingga bertransformasi menjadi NKRI
ini tetap merdeka, berdikari, dan memiliki kedaulatan.
Lantas,
pada era pascamodern seperti sekarang ini, tantangan kaum pesantren adalah
menghadapi bentuk kolonialisme yang sama sekali berbeda dengan para
pendahulunya. Sebagaimana dikatakan Vandana Shiva di atas, wujud
kolonialisasi sudah bertransformasi lebih rumit dan kompleks.
Karena
itu, kaum pesantren modern juga harus terus mengembangkan diri untuk
meneruskan estafet perjuangan para sesepuh dalam menjaga kedaulatan
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar