Minggu, 03 Mei 2015

PAUD dan Harapan Generasi Unggul

PAUD dan Harapan Generasi Unggul

Aristiana P Rahayu  ;  Relawan Sosial; Ketua Komunitas Cahaya; Penggagas PAUD Darurat Cahaya Bunda; Dosen FKIP-PG PAUD Universitas Muhammadiyah Surabaya
JAWA POS, 02 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MENARIK membaca artikel yang ditulis Bapak Daniel M. Rosyid, Merayakan Belajar (Jawa Pos, 1/5). Dalam artikel tersebut, dinyatakan kita harus lebih memperhatikan usia emas (0–6 tahun). Sebab, pada masa-masa itu, pembentukan otak manusia sebagai pusat saraf adalah periode paling sensitif untuk memperoleh stimulan, terutama aspek gizi. Selain itu, keluarga harus diposisikan dan diperkuat sebagai satuan pendidikan yang sah. Teladan karakter orang tua, asupan gizi yang cukup, serta tunjangan untuk ibu hamil dan menyusui jauh lebih efektif daripada pendidikan anak usia dini (PAUD).

Tak bisa disangkal, usia dini (0–6 tahun) adalah masa-masa emas bagi perkembangan otak anak. Sebab, pada rentang usia itulah otak anak mengalami perkembangan yang sangat pesat. Gizi dan pendidikan dalam keluarga adalah bagian dari komponen penting dalam mendorong berbagai aspek perkembangan anak usia dini. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah dua komponen itu cukup sebagai stimulan? Dan benarkah program pendidikan anak usia dini berikut kurikulumnya tidak efektif?

Anak Usia Dini

Dalam neurosains, ditemukan fakta mengenai otak anak. Ketika anak lahir, sel-sel otaknya mencapai 100 miliar, tetapi belum saling berhubungan, kecuali hanya sedikit, yakni yang terkait dengan sel-sel otak yang mengendalikan detak jantung, pernapasan, gerak refleks, pendengaran, dan naluri hidup. Sel otak telah membentuk sekitar 1.000 triliun jaringan koneksi/sinaps saat anak memasuki usia tiga tahun. Jumlah itu dua kali lebih banyak daripada yang dimiliki orang dewasa. Satu sel otak dapat berhubungan dengan 15.000 sel lain. Sinaps-sinaps itu akan mati bila jarang digunakan/kurang mendapatkan stimulasi. Sebaliknya, bila sering digunakan, sinaps-sinaps tersebut akan semakin kuat dan permanen. Setiap stimulasi yang diterima anak akan melahirkan sambungan baru atau memperkuat sambungan yang sudah ada. Semakin sering stimulasi diberikan, perkembangan otak anak juga maksimal.

Untuk memaksimalkan otak anak, stimulasi yang diberikan juga harus maksimal agar aspek kognitif, afektif, fisik-motorik, bahasa, sosial-emosional, dan spiritual mampu berkembang optimal. Berbagai aspek perkembangan anak itu tidak akan cukup dengan stimulasi gizi dan pendidikan dalam keluarga saja. Anak membutuhkan lingkungan sosial untuk belajar berinteraksi dengan orang lain. Di lembaga pendidikan, anak akan bertemu dengan individu lain untuk belajar berinteraksi dan mengembangkan aspek sosial-emosionalnya, bahasa, kognisi, dan sebagainya. Juga, kurikulum sesungguhnya diperlukan sebagai acuan dalam menentukan model pembelajaran maupun stimulasi yang paling baik agar berbagai aspek tersebut mampu berkembang optimal sesuai dengan usia, karakteristik, minat, kemampuan, dan bakat anak yang unik serta berbeda.

Layanan pendidikan kepada anak usia dini merupakan dasar yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya hingga dewasa. Hal itu diperkuat oleh Hurlock (1991:27) bahwa tahun awal kehidupan anak merupakan dasar yang cenderung bertahan serta memengaruhi sikap dan perilaku sepanjang hidupnya. Program PAUD sesungguhnya tidak bertujuan mengambil alih peran keluarga sebagai lembaga informal pendidikan anak usia dini. Keluarga tetap menduduki posisi paling penting. Keluarga dan lembaga PAUD formal (TK, raudhatul athfal, dan sejenisnya) maupun nonformal (kelompok bermain, TPQ, TPA, dan sejenisnya) sesungguhnya mitra yang harus saling mendukung dan menunjang dalam upaya memberikan stimulasi dan pengasuhan yang terbaik bagi anak.

Namun, fakta yang terjadi di lapangan, tidak sedikit keluarga (orang tua) belum paham dan belum memiliki bekal yang cukup terkait dengan kemampuan dalam pengasuhan anak (parenting skill). Akibatnya, anak-anak di usia dini kerap menjadi korban salah pengasuhan. Sebab, tidak sedikit orang tua yang menerapkan cara-cara kekerasan, baik fisik maupun psikologis, dalam mengasuh anak. Juga, keberadaan lembaga PAUD menjadi bagian yang cukup penting untuk ikut menyebarkan pengetahuan dan pemahaman tentang parenting skill. Direktorat Pendidikan Keluarga yang dibentuk pemerintah terasa perlu untuk melibatkan guru PAUD sebagai salah satu ujung tombak dalam memberikan pendidikan keluarga. Sebab, para guru PAUD lebih sering berinteraksi dengan orang tua anak dalam keseharian. Karena itu, peningkatan kualitas SDM para guru PAUD harus mendapatkan perhatian yang sangat serius.

Temuan penulis dari observasi di lapangan sebagai relawan, sesungguhnya anak-anak dari keluarga miskin lebih rentan mengalami kesalahan pola asuh. Faktor penyebabnya adalah tingkat pendidikan orang tua yang rendah –sebagian memiliki pemahaman agama yang rendah–, beban ekonomi yang berat, kondisi yang tidak harmonis, dan lingkungan tempat tinggal yang tidak kondusif. Dampaknya, banyak anak dari keluarga miskin yang kekurangan gizi, terkena berbagai penyakit, mengalami kekerasan (fisik-psikologis), tereksploitasi, dan mengalami berbagai gangguan/masalah dalam berbagai aspek perkembangannya. Kondisi tersebut masih mudah kita temui di pelosok desa maupun wilayah kumuh perkotaan. Di sinilah perlu peran serta masyarakat untuk terlibat aktif, untuk ikut bergerak melalui pendidikan/pemberdayaan ekonomi bagi keluarga miskin, termasuk penyelenggaraan program pendidikan anak usia dini. Itu sangat penting. Sebab, setiap anak yang lahir di negeri ini berhak menjadi generasi unggul dan bermasa depan cerah. Saatnya semua bergerak untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik, menyenangkan, dan berkeadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar