Melawan”Malaise”
Denni P Purbasari ; Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM
|
KOMPAS, 11 Mei 2015
Ekonomi Indonesia
memasuki periode "malaise". Pelaku ekonomi merasa tidak nyaman. Pertumbuhan
ekonomi kuartal I tahun ini (year on
year) hanya 4,71 persen, turun dari 5,14 persen; angka pengangguran naik
dari 5,70 persen (Februari 2014) menjadi 5,81 persen (Februari 2015); pelaku
bisnis dan konsumen merasa pesimistis. Jika tidak segera ditanggapi,
pelemahan ini bisa jadi berlanjut di kuartal-kuartal selanjutnya.
Memang betul bahwa
pelambatan ekonomi Indonesia disebabkan salah satunya oleh pelambatan ekonomi
global. Ekonomi Tiongkok melemah dan belum ada negara lain yang bisa
menggantikan turunnya permintaan Tiongkok ini. Akibatnya, dunia menghadapi
kelebihan penawaran di semua pasar, baik komoditas, barang manufaktur, tenaga
kerja, maupun dana.
Turunnya permintaan
ini menyebabkan persediaan menumpuk, harga-harga menurun. S&P GSCI yang
mengukur harga komoditas global, misalnya, menurun 34 persen dalam 12 bulan
terakhir-kembali ke tingkat tahun 2009. Kombinasi deflasi-resesi di tingkat
global ini paling ditakuti karena Jepang pernah mengalaminya selama 20 tahun
(dikenal sebagai the lost two decades) sejak 1991. Apabila deflasi-resesi
global ini terjadi, Indonesia bisa terseret dalam periode malaise yang
panjang.
Menjaga daya beli
Untuk melawan malaise
dan membalikkan ekspektasi pelaku ekonomi Indonesia dari pesimistis menjadi
optimistis, permintaan agregat-yang bersumber dari dalam negeri-perlu dinaikkan.
Jika permintaan tumbuh, sisi produksi akan bergairah.
Dari sumber-sumber
permintaan domestik ini, yang paling penting adalah konsumsi karena perannya
yang mencapai 55 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Sebagai
catatan, konsumsi ini tidak hanya terdiri dari makanan, pakaian, dan gadget,
tetapi juga transportasi, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan rekreasi.
Untuk meningkatkan
konsumsi, konsumen perlu diyakinkan bahwa daya belinya tidak menurun. Ini
berarti, kestabilan harga-harga dan sumber pendapatan konsumen perlu dijaga.
Terkait inflasi,
pemerintah dan Bank Indonesia tak boleh lengah dengan penurunan harga minyak
dunia dan deflasi awal tahun silam. Inflasi April yang biasanya rendah,
kemarin, ternyata mencapai 6,79 persen (year on year) dan 0,36 persen (month to month)-belum lagi nanti saat
musim liburan, tahun ajaran baru, dan bulan puasa.
Untuk mengatasi
inflasi, pernyataan bahwa pemerintah tidak akan mengimpor beras, kuota sapi
impor akan dipangkas, wacana premium akan diganti dengan pertalite dan
sejenisnya harus dihentikan-setidaknya sampai malaise ini terhenti.
Wacana-wacana seperti itu dikhawatirkan akan meningkatkan (ekspektasi)
inflasi dan menurunkan daya beli, tanpa ada manfaat penghematan fiskal apa
pun.
Selain itu, pemerintah
juga perlu memastikan pasokan barang dan jasa cukup. Pungli dan inefisiensi
di sepanjang supply-chain
diberantas, tidak peduli apakah itu dari impor atau dari desa-desa dan
pabrik-pabrik kita. Pengecer, apakah itu besar atau kecil, modern atau tradisional,
perlu didorong pertumbuhannya karena mereka menyediakan etalase yang
menghubungkan langsung produsen dengan konsumen. Kompetisi juga harus disemai
di semua bidang agar produsen tidak mendapatkan laba super-normal di atas
penderitaan konsumen.
Menjaga inflasi juga
berarti memastikan jalur logistik efisien dan andal. Terkait ini, jalur ganda
kereta api lintas utara Jawa yang sudah jadi harus dioptimalkan penggunaannya
dan Jalan Tol Cikampek-Palimanan harus dikebut penyelesaiannya sebagai alternatif
di pantai utara. Begitu pula dengan infrastruktur lainnya. Jika ini
dilakukan, barangkali inflasi akan terjaga dan keyakinan konsumen untuk
membelanjakan uangnya akan naik.
Peran swasta
Selain menjaga inflasi
agar daya beli konsumen tidak surut, konsumen juga perlu diyakini bahwa
prospek pendapatannya pada masa depan stabil. Ini berarti roda bisnis,
khususnya usaha-usaha swasta, harus terus berputar, bahkan tumbuh. Mengapa
swasta? Sebab, peran pemerintah dalam PDB tidak lebih dari 10 persen. Artinya,
swastalah yang banyak berperan dalam penciptaan lapangan pekerjaan dan
peningkatan produktivitas, bukan pemerintah.
Namun, pemerintah
melalui anggaran dan aturan main yang ditetapkannya bisa memengaruhi
pertumbuhan sektor swasta. Terkait dengan anggaran, langkah pemerintah untuk
menggenjot belanja infrastruktur sudah tepat, apalagi jika swasta sulit atau
tidak tertarik menyediakan infrastruktur tersebut.
Masalahnya,
infrastruktur sering kali bermasalah dengan lahan, perizinan (pusat dan
daerah), penyiapan proyek, prosedur lelang, benturan/kekosongan aturan yang
menaunginya, dan kegamangan birokrasi. Akibatnya, jeda waktu antara seremoni
ground breaking dan konstruksinya-apalagi pengoperasiannya-bisa lama sekali.
Jika implementasinya
tidak dikawal, dana infrastruktur yang sudah dialokasikan sebesar Rp 290
triliun atau 25 persen dari belanja pemerintah bisa banyak tak terserap.
Akibatnya, bukan hanya momentum untuk mendongkrak ekonomi hilang (dalam
bentuk besi, baja, semen, atau tenaga kerja yang gagal diserap dan
usaha-usaha baru yang gagal tumbuh), melainkan juga ongkos ekonomi akibat
pemerintah sudah telanjur menaikkan pajak atau menarik utang tidak dapat
dibatalkan-selain dari turunnya kredibilitas pemerintah atau APBNP itu
sendiri.
Terkait itu, langkah
pemerintah membentuk Tim Evaluasi dan Pengawasan Realisasi Anggaran untuk
mempercepat penyerapan sudah benar. Namun, yang tak kalah penting, pemerintah
barangkali perlu mengoreksi angka ekspansi fiskalnya, dan sejurus dengan itu,
melunakkan target penerimaan pajak atau pembiayaan utangnya agar menjadi
lebih realistis.
Menggenjot pajak
(apalagi dalam suasana malaise) dapat melemahkan permintaan dan mengurangi
multiplier belanja pemerintah. Sementara menjual surat utang ketika ekonomi
dunia tidak pasti dan ekonomi kita mengalami malaise, mahal imbalnya-belum
lagi dampaknya dalam mendesak keluar (crowd-out)
kredit swasta.
Tiga kebijakan ini,
yaitu menjaga kestabilan harga-harga, melaksanakan reformasi secara kredibel,
dan memastikan agar ekspansi fiskal tidak sampai membunuh inisiatif privat
adalah kunci untuk melawan malaise. Pasar jelas akan menanti ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar