Kathmandu
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN SINDO, 03 Mei 2015
Gempa bumi berkekuatan
7,8 Skala Richter (SR) mengguncang Kathmandu, ibukota Nepal, pada Sabtu, 25
Mei 2015. Dikabarkan lebih dari 3.500 orang tewas di kota yang penuh dengan
artifak peninggalan zaman kuno itu. Tapi saya ingin bercerita hal lain
tentang Kathmandu. Di tahun 1990-an, beberapa anggota tim peneliti dari
Fakultas Psikologi UI, termasuk saya, pernah dikirim ke Kathmandu untuk
menghadiri sebuah workshop tentang diare (muntah-berak). Saya tidak ingat
lagi persisnya tahun berapa kami ke Kathmandu itu.
Yang saya tahu
hanyalah bahwa makalah kami dari workshop yang diselenggarakan oleh WHO itu
dimuat dalam sebuah jurnal internasional pada 1999. Mengingat biasanya sebuah
artikel perlu waktu 1-2 tahun untuk dimuat dalam sebuah jurnal, saya
perkirakan workshop di Nepal itu terjadi tahun 1997. Tapi tahun tidak
penting. Yang penting adalah bahwa dalam workshop itu, semua peserta dari
berbagai negara berbagi penelitian tentang kebiasaan para ibu dalam menangani
anak-anaknya (terutama balita) yang terserang diare.
Hasil penelitian kami
di kalangan ibu-ibu kelas social-ekonomi menengah-bawah, di wilayah Grogol,
Jakarta Barat, mengungkapkan bahwa walaupun para ibu itu sudah paham betul
(melalui penyuluhan di puskesmas ataupun posyandu) bahwa penanganan penderita
diare adalah terus mengusahakan agar anak tidak dehidrasi dengan memberinya
minum air bercampur oralit atau kalau tidak ada oralit, boleh juga dicampur
dengan gula, yang dilakukan mereka justru menyetop asupan sama sekali dengan
alasan logika mereka sendiri, yaitu untuk menghentikan cairan terus keluar
dari tubuh, ya pemberian cairan dihentikan.
Akhirnya anak
meninggal. Hal serupa kami saksikan juga di Bangladesh yang kami kunjungi
dalam perjalanan ke Kathmandu. Bahkan di sana lebih parah lagi, masih ada
yang menggunakan air tanah mentah untuk dikonsumsi walaupun mereka sudah tahu
bahwa air untuk dikonsumsi harus dimasak dulu. Demikian juga dalam workshop
di Kathmandu, semua tim peneliti yang mewakili berbagai negara melaporkan hal
serupa. Sudah tahu, tetapi kok tidak dikerjakan sehingga akibatnya fatal? Di
sini terbukti bahwa pengetahuan saja tidak selalu berkorelasi dengan perilaku
konkret.
Kathmandu adalah kota
yang jauh dari modern. Kota ini merupakan awal dari perjalanan tracking ke
Pegunungan Himalaya. Hotel-hotel penuh dengan turis tracker. Tapi saya dan
teman-teman lebih senang untukberjalan-jalan ke pasar. Di sana tidak ada
angkot, apalagi busway, yang ada hanya bajaj, yang persis seperti bajaj
Jakarta (versi warna merah). Yang menarik di pasar, pedagangpedagang sayur
menggelar dagangannya di tanah.
Para PKJ (pedagang
kaki jongkok) itu hanya mengalasi dirinya dengan tikar atau plastik. Padahal
di antara para PKJ itu berjalan malang-melintang sapi-sapi yang di sana
disembah sebagai dewa. Tidak mengherankan jika sayuran yang dijual itu
bersebelahan dengan kotoran sapi.
Lebih aneh lagi, di bagian
atap setiap tempat ibadah (kuil), selalu ada ukiran-ukiran yang menggambarkan
alat-alat kelamin dan berbagai posisi hubungan seks (bahasa gaul: ML) yang
dimaksudkan sebagai penangkal petir. Kata pemandu wisata, menurut kepercayaan
orang di sana, Dewa Petir takut kepada Dewi Seks (takut tidak diajak ML lagi,
barangkali). Suatu kepercayaan yang tidak ada sama sekali di kalangan pemeluk
Hindu Bali, Hindu Tengger maupun Hindu Kaharingan.
Dalam ilmu psikologi
sudah lama dirisaukan kenyataan bahwa pengetahuan tidak terkait langsung
dengan perilaku nyata. Ini besar sekali pengaruhnya pada pendidikan misalnya.
Orang dididik untuk bersih, tidak membuang sampah, nyatanya masih saja buang
sampah. Yang korupsi juga sudah kenyang dengan pendidikan moral Pancasila.
Dalam riset pemasaran,
produsen atau distributor sulit meramalkan produk apa yang akan paling banyak
dibeli konsumen kalau hasil market
survey tidak ada korelasinya dengan perilaku membeli. Dalam politik sama
saja. Pemilih gampang terjebak pada para caleg yang bicara sangat indah di
masa kampanye, tetapi diciduk KPK ketika sudah duduk di DPR/D. Sebaliknya,
kita melihat juga bahwa dalam agama, banyak upacara, formalitas yang rutin,
bertele-tele, buang waktu, dan banyak makan ongkos tetap saja dilakukan orang
walaupun manfaatnya di dunia ini tidak ada sama sekali.
Kepercayaan pada
akhirat begitu kuatnya, bahkan untuk mendapat surga ada yang ikhlas berjihad,
yaitu membunuh atau terbunuh demi agama. Padahal belum ada seorang pun yang
pernah melihat surga (apalagi neraka karena hampir tidak ada orang yang
berdoa atau didoakan untuk masuk neraka). Bagaimana caranya keyakinan itu
bisa meresap begitu dalam seperti dalam praktik agama? Suatu aliran dalam
psikologi, behaviorsime, menawarkan metode untuk melatih segala sesuatu sejak
dini sekali.
Bagaikan anak-anak
yang direkrut ISIS untuk berperang (itu saja yang diajarkan kepada mereka
sejak kecil) sehingga ketika dewasa mereka menjadi jihadis yang fanatik, kita
juga bisa melatih anak-anak kita untuk menjadi fanatikpada kebiasaankebersihan,
mengantre, menghargai orang lain, dst. Dalam hubungan ini bisa kita contoh
anak-anak di Jepang yang sejak masih balita dilatih bagaimana caranya kalau
ada gempa. Walaupun mungkin seumur hidup mereka belum tentu mengalami gempa
bumi, kalau sewaktu-waktu ada kejadian, mereka tahu apa yang harus diperbuat.
Lain halnya dengan orang Nepal yang sudah diberi peringatan oleh para ilmuwan
bahwa gempa sewaktu-waktu akan terjadi, tetapi masyarakat nyantai saja sampai
terjadilah gempa beneran.
Masalahnya, mentalitas
orang Indonesia menurut hemat saya masih lebih dekat ke mentalitas orang
Nepal ketimbang orang Jepang. Katanya kebersihan adalah bagian dari iman,
tetapi tidak ada mukena di musala-musala umum yang bersih. Ya, kan? ? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar