Islam
Nusantara
Heri Priyatmoko ; Alumnus Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM
|
KORAN TEMPO, 22 Mei 2015
Sengketa
wacana soal pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa di Istana Negara belum
kunjung selesai. Pemerintah dituduh melakukan liberalisasi agama Islam.
Menteri Agama gesit menangkisnya. Tujuan kegiatan ini adalah menjaga dan
memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di telatah
Indonesia. Kalau didapatkan qari (pelantun Al-Quran) yang lihai membaca
dengan langgam Melayu, Bugis, Medan, atau dengan langgam apa pun, itu
merupakan ciri Nusantara.
Indonesia
bukanlah bumi Arab yang sanggup mengadopsi dan menerima segala unsur budaya
padang pasir. Megaproyek pengislaman berjalan puluhan abad menggunakan
strategi canggih-meminjam istilah pemikir Islam terkemuka Abdul Munir
Mulkhan-dakwah kultural. Sederet wali, komunitas ulama, dan para raja
membumikan ajaran Islam memakai pendekatan kultural supaya masyarakat tidak
berontak dan menampik.
Bentangkan
arsip sejarah lokal, terbabar upaya islamisasi yang berjalan mulus dan sukses
dikerjakan oleh penguasa tradisional. Kita mulai dari istana Kasunanan
sebagai pewaris wangsa Mataram Islam yang tertua. Gagasan cerdas Paku Buwana
X memakai bahasa Jawa untuk komunikasi dalam acara khotbah di Masjid Agung
menuai sanjung-puji.
Selain
itu, Paku Buwana IV bekerja sama dengan para ulama menyusupkan petuah ajaran
Islam yang bersumber dari Al-Quran dan hadis ke dalam serat piwulang seperti
Serat Wulangreh dan Wulang Putri. Raja bersama ulama hendak menjembarkan
pengetahuan para kawula soal Islam-Jawa lewat karya sastra.
Hal
serupa dikerjakan oleh petinggi Keraton Kasultanan Yogyakarta. Banyak karya
sastra mengutip sejarah dan ajaran Nabi Muhammad yang digarap dalam bentuk
tembang macapat. Sebut saja Babad Muhammad, Serat Cariyos Nabi, atau Serat
Wulang Mingsiling. Karangan ini mengisahkan kehidupan Nabi Muhammad dan para
pengikutnya. Di almari istana, tersimpan Serat Mikrajan berbentuk prosa
dengan sisipan syair. Dengan melahap karya ini, masyarakat meresapi kisah
Isra' Mi'raj Nabi Muhammad naik burak.
Barisan
pengkritik pembacaan Al-Quran berlanggam Jawa penting untuk diberi tahu fakta
berharga yang termuat dalam buku Kraton Jogja (2008) ini. Istana mengoleksi
Serat Piwulang Agami berhuruf Jawa dan Serat Ambiya berhuruf Arab Pegon yang
sama-sama mengajarkan Islam melalui macapat. Fakta ini menunjukkan, koleksi
sastra keraton kental dipengaruhi ajaran Islam. Pengaruh Islam terjalin
harmonis dalam bentuk riwayat, biografi, roman, dan lainnya. Ambillah contoh,
Roman Amir Hamzah yang disadur menjadi Serat Menak diterima luas oleh rakyat
Jawa. Bahkan, sampai memunculkan jenis wayang baru, yaitu wayang gedok. Kala
Sultan Hamengku Buwono IX naik takhta pada 1940, keraton tengah didera
kesulitan. Sebagai penghibur suasana galau, raja mendorong para pujangga
menyusun teks-teks yang lebih banyak menyajikan nuansa Islam dalam wayang
menak.
Demikianlah,
gambaran pergumulan antara unsur Jawa dan Islam. Yang pasti, potret Islam
Nusantara tak akan meninggalkan budaya lokal sebagai unsur asli dan lebih
tua, demi mewujudkan sebuah harmoni. Tampaknya, berkaca dari polemik tersebut
dan suburnya kelompok garis keras, cara berdakwah kultural mau tak mau kudu
diwacanakan tanpa henti oleh Menteri Agama dan MUI. Kita rindu harmoni dan
ketenteraman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar