Relawan dan Timses Masuk BUMN?
Hendri B Satrio ;
Dosen
Ilmu Politik Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 04 April 2015
Beberapa hari yang lalu sebuah kelompok diskusi Jakarta yang
bernama Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai-KOPI)
melakukan polling opini publik tentang pendapat masyarakat atas keputusan
pemerintah memasukkan eks tim sukses dan relawan Jokowi-JK menjadi komisaris
BUMN.
Polling dilakukan pada situs politik www.uneg2politik.com. Hasil
polling-nya, lebih dari 72% publik tidak setuju dengan kebijakan ini.
Setidaknya ada tujuh relawan yang menempati posisi strategis di perusahaan BUMN. Relawan itu
antara lain Cahaya Dwi Rembulan
Sinaga yang menjadi komisaris independen Bank Mandiri, Pataniari Siahaan komisaris independen BNI, Sonny Keraf komisaris
independen BRI, Jeffry Wurangin komisaris
BRI, Refli Harun komisaris utama jasa
marga, dan Diaz Hendropriyono komisaris Telkomsel.
Baru-baru ini Sukardi Rinakit ditawari masuk jajaran komisaris
di BTN, namun syukurlah beliau mengedepankan pilihan hatinya dan menolak.
Praktik menempatkan sejumlah orang kepercayaan di perusahaan BUMN sebenarnya
lazim dilakukan Presiden sebelumnya. Namun, baru kali publik mengungkapkan
ketidaksetujuannya pada keputusan tersebut.
Keputusan tidak setuju dari publik patut diduga sebagai reaksi
atas janji Jokowi-JK yang saat masa kampanye pilpres menjanjikan tidak akan bagi-bagi
kursi. Lantas mengapa Presiden seperti memaksakan bahwa relawan harus masuk
menjadi petinggi di badan usaha milik negara (BUMN). Bahkan ada selentingan
di media massa bahwa menteri BUMN sudah menyiapkan 600 posisi bagi relawan
eks tim sukses Jokowi di BUMN.
David Easton, profesor Universitas Chicago Amerika Serikat,
pernah memprediksi bahwa ini akan terjadi dalam politik. Easton menggariskan bahwa
ada atribut yang disebut input-output dalam sistem politik. Input berasal
dari masyarakat yang isinya tuntutan dan dukungan, sementara output adalah
hasil kerja politik yang berasal dari tuntutan dan dukungan. Bila dikaitkan
dengan relawan saat pilpres lalu, relawan sedang memainkan fungsi tuntutan
kembali setelah output telah tercapai.
Tapi, bila hanya mengacu pada pemikiran Easton, ini tidak cukup
kuat memaksakan Jokowi memasukkan relawan ke BUMN. Saya mencatat, setidaknya
ada satu alasan kuat yang kemudian diturunkan menjadi dua alasan pendukung
untuk menjawab pertanyaan tadi yaitu Jokowi sangat memerlukan dukungan solid
yang lebih banyak, terutama dari pendukungnya.
Jokowi Butuh
Dukungan Solid
Saat ini Jokowi diduga tidak memiliki dukungan solid di
pemerintahan. Sangat kecil kelompok politik yang benar-benar mendukung mantan
gubernur Jakarta ini. Indikatornya dapat dilihat mulai dari komposisi kabinet
yang jauh dari harapan masyarakat hingga rongrongan terhadap kebijakan yang
bertubi-tubi menghujam Jokowi. Selain itu, sudah jadi dugaan umum kekuatan
KMP (Kalla, Mega, Paloh) lebih mendominasi pemerintahan.
KMP versi Istana ini patut diduga menjadi kekuatan yang sering
membuat kebijakan ajaib, yang membuat Jokowi tersudut. Salah satu contohnya
adalah dugaan berperannya KMP versi Istana dalam pencalonan BG sebagai kepala
Polri atau keluarnya Surat Keputusan Menteri Yasonna yang memengaruhi konflik
PPP dan Partai Golkar. Selain itu, tekanan juga hadir dari Koalisi Indonesia
Hebat (KIH) yang mulai bersikap abu-abu menyikapi kebijakan Presiden Jokowi.
Dalam kondisi ”terdesak” seperti saat ini, Jokowi akhirnya
berada pada posisi harus memperkuat jaringan yang dia sadar loyal pada
dirinya. Jaringan loyal yang dimiliki para relawan dua jari. Presiden mungkin
sangat mengharapkan relawan dengan ”hadiah” yang diterimanya dapat menjadi
tembok pertama Presiden dari hantaman lawan-lawan politiknya.
Jokowi Bukan
Lagi Media Darling
Selain keadaan yang ”terdesak”, perlu diyakini bahwa Jokowi
bukan lagi media darling. Sebutan media darling kembali disematkan pada sosok
Jusuf Kalla. JK sejak zaman SBY sebetulnya selalu menjadi media darling. JK
selalu disosokkan sebagai tokoh yang mumpuni dan nyaris sempurna oleh media
massa.
Ini semakin diperkuat saat JK hadir pada perayaan puncak Hari
Pers Nasional 2015 di Kepulauan Riau beberapa bulan lalu. JK membalas
dukungan media dengan hadir secara penuh di acara itu. Kehadiran JK
menempatkan Jokowi pada posisi kurang bagus karena menjadi Presiden pertama
Indonesia yang tidak hadir pada acara perhelatan terbesar media massa
nasional itu.
Partai
Pengusung yang Banyak Maunya
Blunder pertama Jokowi dalam politik sejak dia menjabat menjadi
presiden adalah janji politik semasa kampanye yang tidak memperbolehkan
rangkap jabatan di parpol dan pemerintahan. Walaupun janji politik ini bagus,
tapi dalam politik praktis, janji ini menyebabkan Jokowi kesulitan
menjalankan pemerintahan.
Sebagai pemimpin yang bukan dari elite partai, Jokowi sulit
independen dari parpol pengusungnya dan koalisi parpol pendukungnya.
Hasilnya, pemilihan posisi menteri kabinet kerja yang sering disebut menteri
”KW 3” karena lebih mengedepankan pembagian kursi kekuasaan daripada
kapabilitas. PDIP sebagai parpol pengusung Presiden malah barubaru ini
mendorong Presiden agar memperbolehkan menteri memegang jabatan ganda,
melawan kebijakan Presiden yang sudah mengharuskan pejabat negara tidak boleh
menjabat di partai.
Bayangkan saja bila akhirnya Jokowi goyah dan mengabulkan
permintaan itu, pasti akan banyak menteri yang menjadi pengurus parpol.
Walaupun oleh beberapa pendukung Jokowi mendoakan agar Jokowi menerima
dorongan PDIP. Tujuannya agar Jokowi bisa jadi elite partai seperti SBY dan
Megawati yang lebih mudah menjalankan kebijakan sebagai presiden karena juga
mengatur kebijakan di partai politiknya.
Dari beberapa alasan nanti mungkin sebagai individu kita dapat
memahami mengapa Jokowi memaksakan posisi penting di BUMN untuk para relawan
pendukungnya. Presiden perlu banyak dukungan untuk menjalankan
program-programnya. Terdesak dan bukan lagi media darling bisa jadi membuat
Jokowi memaksakan diri untuk tidak memenuhi janjinya saat kampanye dengan
serta-merta menempatkan relawan dan tim sukses pada posisi kursi panas BUMN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar