Menghukum Ringan Koruptor
Aradila Caesar Ifmaini Idris ;
Peneliti
Hukum Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS,
04 April 2015
Senin, 16
Maret, Indonesia Corruption Watch merilis hasil kajian tren vonis korupsi
pada 2014. Secara garis besar tren vonis pada 2014 menggambarkan bahwa kerja
institusi pengadilan tindak pidana korupsi tidak maksimal dalam menghukum
terdakwa korupsi.
Tidak
maksimalnya kinerja pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) tampak dalam
bobot penghukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa korupsi. Setidaknya ada
lima permasalahan utama yang menjadi catatan penting dalam tren vonis 2014.
Pertama,
kecenderungan pengadilan tipikor menghukum ringan pelaku korupsi.
Kecenderungan tersebut terlihat dari banyaknya terdakwa korupsi yang dihukum
kurang dari 1 tahun hingga 4 tahun penjara. Sebanyak 79,7 persen dari
sebanyak 465 terdakwa pada 2014 divonis ringan oleh pengadilan tipikor.
Hukuman ini bahkan lebih rendah dibandingkan hukuman bagi pelaku pencurian
kendaraan bermotor.
Kedua, tidak optimalnya
pengembalian kerugian negara lewat pembebanan uang pengganti. Indonesia
Corruption Wacth mencatat kerugian negara yang timbul pada 2014 sebanyak Rp
10,689 triliun. Sementara total pembebanan uang pengganti pada 2014 adalah Rp
1,4 triliun. Jumlah pembebanan uang pengganti ini tentu tak sebanding dengan
kerugian negara yang telah ditimbulkan. Di samping itu perlu dicatat bahwa
masih terdapat kemungkinan terdakwa menghindari kewajiban membayar uang
pengganti.
Ketiga,
penjatuhan pidana denda yang rendah. Selain pidana pokok berupa pidana
penjara, Pasal 10 Ayat (4) Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur tentang
pidana denda. Dalam konteks penjeraan, kombinasi hukuman penjara dan denda
dimaksudkan untuk menghukum pelaku korupsi seberat-beratnya guna memberikan
efek jera. Sayangnya, fakta berbicara sebaliknya.
Sedikitnya 274 terdakwa
dikenakan denda relatif ringan (Rp 25 juta-Rp 50 juta).
Penjatuhan
pidana denda dalam kacamata UU Tipikor masih tergolong ringan. Padahal, Pasal
2 dan Pasal 3 UU Tipikor menetapkan batas maksimum denda sebesar Rp 1 miliar.
Ironisnya, hakim tipikor lebih memilih untuk menjatuhkan pidana denda yang
paling ringan ketimbang membebani terdakwa dengan pidana denda berat.
Remisi
Keempat,
disparitas putusan masih terus terjadi. Dalam perkara korupsi, disparitas
putusan terjadi dalam dua model besar.
Pertama,
disparitas putusan terjadi kepada dua perkara yang memiliki nilai kerugian
negara relatif setara. Model pertama memberikan hakim tipikor kesempatan
memutus dua perkara dengan hukuman berbeda, meski besaran kerugian negaranya
tak jauh berbeda.
Kedua,
disparitas putusan terjadi dalam konteks nilai kerugian negara berbeda dalam
dua perkara. Dalam model ini, hakim tipikor dapat memutus hukuman yang sama
terhadap dua perkara yang nilai kerugian negara berbeda. Persoalan disparitas
putusan ini pada akhirnya hanya akan mencederai rasa keadilan masyarakat.
Disparitas
putusan terjadi karena hakim memiliki diskresi sangat luas untuk menentukan
jumlah hukuman yang akan dijatuhkan. Hakim tak jarang memutus beratnya
hukuman berdasarkan perasaan, bukan pertimbangan yuridis substantif suatu
perkara. Ketiadaan pedoman pemidanaan membuat hakim hanya menerka-nerka
hukuman yang sesuai bagi terdakwa. Publik harus waspada karena ruang
kemandirian hakim bisa saja disalahgunakan untuk jual beli putusan, yang
akhirnya menimbulkan disparitas putusan.
Kelima, jaksa
selaku penuntut umum tidak maksimal dalam melakukan penuntutan. Pada 2014,
rata-rata tuntutan oleh penuntut umum dalam perkara korupsi hanya 3 tahun 11
bulan. Tuntutan rendah ini secara tak langsung ikut berperan dalam
kondisi a quo.
Dalam sistem
peradilan pidana yang kita anut, hakim tak diperkenankan memutus hukuman
lebih tinggi daripada yang dituntut oleh penuntut umum. Pada akhirnya
tuntutan yang rendah oleh penuntut umum akan membuahkan vonis ringan bagi
pelaku korupsi.
Usulan
pemberian remisi bagi koruptor tentu hanya akan menambah panjang catatan
buruk pemberantasan korupsi. Remisi bagi terpidana korupsi hanya akan
menambah ringan vonis pengadilan korupsi yang mayoritas sudah tergolong
ringan.
Pemberian
remisi bagi terpidana kasus korupsi akan kontra- produktif dan inkonsisten
dengan semangat pemberantasan korupsi yang didengungkan oleh presiden.
Pemberian remisi bagi terpidana korupsi hanya akan menjadi rapor merah
kegagalan pemerintah dalam mendukung kerja pemberantasan korupsi.
Benar bahwa
pada dasarnya pemberian remisi adalah hak setiap terpidana. Namun, perlu
digarisbawahi, hak tersebut tak berdiri sendiri. Ada kewajiban yang melekat
pada hak tersebut. Dalam perkara korupsi, hak remisi hanya dapat diberikan
bagi terpidana yang mau bekerja sama dalam membongkar kasus korupsi. Hal ini
sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 99/2012 tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dalam Pasal
34A PP 99/2012, pemberian remisi bagi terpidana korupsi hanya dikhususkan
bagi whistle blower (pengungkap kasus) dan atau justice
collaborator. Selain itu, terpidana korupsi juga harus melunasi kewajiban
uang pengganti dan pidana denda yang dijatuhkan kepadanya.
Adapun
penentuan status pengungkap kasus dan atau justice collaborator sepenuhnya kewenangan penegak hukum. Dalam hal ini PP
99/2012 sudah secara ketat memberikan remisi bagi terpidana korupsi. Karena
itu, bukan perkara mudah bagi seorang terpidana korupsi untuk mendapatkan
remisi.
Perlu dipahami
bahwa penanganan terpidana kasus korupsi tak sepantasnya sama dengan
terpidana kejahatan biasa. Karena itu, pemberian remisi bagi terpidana
korupsi harus diperketat, bahkan dihapuskan. Selain untuk memberikan
penjeraan juga demi menjaga rasa keadilan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar