Selasa, 21 April 2015

Masa Depan Semangat AA

Masa Depan Semangat AA

Retnowati Abdulgani Knapp  ;  Putri Roeslan Abdulgani; Penulis buku Soeharto: “The Life and Legacy of Indonesia’s Second President”
SINAR HARAPAN, 17 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pragmatisme adalah sikap terpenting atas berhasilnya Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung 60 tahun silam. Solidaritas Asia-Afrika (AA) berakar dari rasa antikolonialisme-imperialisme, yang merupakan antitesa dari negara-negara Eropa Barat. Karenanya, bila ada yang mengira semangat AA adalah anti-Barat, pendapat ini sama sekali tidak benar; dengan catatan, selama negara Barat tidak anti terhadap semangat AA yang menentang kolonialisme, dalam segala bentuk, maupun diskriminasi atas dasar ras dan Apartheid.

Dalam hubungan ini, di manakah kedudukan Amerika Serikat (AS) dalam masa kolonialisme negara-negara Eropa?

Presiden Soekarno dalam pidato pembukaan KAA tanggal 18 April 1955, mengatakan, “Pada 18 April 1775, hanya 180 tahun silam, Paul Revere pada tengah malam, dengan menunggang kuda melalui seluruh wilayah New England, mengingatkan akan mendaratnya pasukan Inggis. Inilah yang memulai revolusi kemerdekaan AS, revolusi pertama yang berhasil dalam sejarah menentang kolonialisme.”

Di sini sebenarnya terjadi titik temu antara sikap AS dan Tiongkok dalam menentang kolonialisme saat itu. AS menyatakan kemerdekaannya dari Inggris pada 4 Juli 1776. Tiongkok mengalami Perang Opium I (1839-1842) kemudian menandatangani “Treaty Nanking”, yang dalam pandangan Tiongkok perjanjian ini sepihak; karena kepada Inggris diberikan indemnity dan ekstra teritori, dengan membuka lima pelabuhan dan diambilalihnya Hong Kong.

Kemudian diikuti Perang Opium II (1856-1860) yang dipandang sebagai permulaan sejarah modern Tiongkok. Karenanya, AS dan Tiongkok pernah sama-sama mengalami perlawanan masing-masing terhadap kolonialisme Inggris. Walaupun kemudian AS terlibat dalam konflik Inggis-Tiongkok pada 1859.

Perdana Menteri Tiongkok, Zhou En-Lai, dalam pidatonya 19 April 1955 tentang adanya kekhawatiran atas subversif Tiongkok. Ia menyatakan, “Hal ini tidak beralasan karena Tiongkok pun pernah menjadi korban subversif kekuasaan luar.”

Sampai 1939, Inggris adalah negara Eropa yang mempunyai paling banyak koloni (lebih dari 50 daerah) di Asia, Afrika, Timur Tengah, Australia, dan Selandia Baru. Diikuti Prancis (yang hanya mempunyai 20 wilayah), Belanda, Belgia, Portugal, Spanyol, Italia, AS, dan Jepang.
Karenanya, latar belakang KAA adalah suasana politik saat itu, yakni perang dingin, gerakan menentang kolonialisme, perang Vietnam, dan ketegangan hubungan AS-Tiongkok. Perang dingin memuncak dan timbul kekhawatiran akan pecahnya perang nuklir.

Sementara itu, semua sumber ketegangan ada di kawasan Asia dan berkaitan dengan posisi Tiongkok, karena wilayahnya yang berdekatan dengan Korea, Vietnam, dan Taiwan. Vietnam masih terpecah, Vietnam Utara dan Selatan, yang kedua delegasinya ikut hadir.

Keputusan berperang tidak ada di tangan negara-negara Asia, tetapi di Washington, London, Moskwa, dan Paris, yang menguasai senjata nuklir. Juga masih ada koloni-koloni yang belum merdeka: Indochina, Malaya, Singapura, Goa, Makau, dan wilayah-wilayah di Afrika. Untuk itulah Indonesia bersikeras Tiongkok harus disertakan dalam KAA walaupun ada beberapa yang berkeberatan.

Bagi Indonesia, perjuangan memasukkan Irian Barat ke dalam NKRI juga belum tuntas. Tiga komite dibentuk: budaya, ekonomi, dan politik. Sangat menarik perhatian komite politik yang diketuai PM Ali Sastroamidjojo. Tokoh-tokoh terkenal, antara lain Nasser, Nehru, U Nu, Kotelawala, Zhuo En-Lai, Pham Van Dong, dan Romulo ikut serta.

Dalam rapat tertutup inilah, persoalan Irian Barat, yang tidak dimasukkan Indonesia dalam agenda resmi, dibahas. Presiden Soekarno tidak sepatah pun menyebut kata Irian Barat dalam pidato pembukaannya. Demikian juga PM Ali Sastroamidjojo. Dalam rapat tertutup, yang menyokong kuat tuntutan Indonesia untuk masuknya Irian Barat ke dalam NKRI adalah Yaman dan Suriah.

Inilah suasana konferensi yang patut kita renungkan karena roda dunia tetap berputar. Sekarang Yaman dan Suriah bergolak dengan menyedihkan. Tiongkok adalah peserta konferensi yang paling dicurigai, serta negara yang masih miskin sekali 60 tahun silam, tetapi sekarang menjadi negara adikuasa ke-2 dalam bidang ekonomi.

AS dan Inggris mencurigai tujuan konferensi ini, dan sampai detik ini mereka masih terlibat dalam pergolakan di Afganistan, Suria, dan lainnya. Namun, hubungan AS dan Kuba mulai dibuka tahun ini. Tokoh Lee Kuan Yew dan Nelson Mandela belum muncul saat itu, namun sekarang menjadi tokoh yang legacy-nya tercatat dalam sejarah AA, bahkan dunia.

Sekretaris Jenderal KAA, Roeslan Abdulgani, mencatat pasang-surutnya peristiwa dalam penyelenggaraan KAA, antara lain kecaman keras dari majalah Time setelah pertemuan pendahulu AA, yakni konferensi di Bogor pada 28 Desember 1954. Dalam tulisan itu, dilaporkan di hotel tempat peserta tinggal airnya tidak keluar, listrik sering mati, tidak ada gantungan baju dalam kamar, dan lain-lain. Bahkan, ditulis salah satu delegasi menyatakan, “These beggars never learn (pengemis ini tidak akan belajar).”

Namun, kritikan pedas ini menjadikan semangat panitia membara seperti “banteng ketaton”, banteng yang dilukai. Kemudian peristiwa jatuhnya pesawat Kashmir Princess di perairan Natuna, yang dikhawatirkan PM Zhou ada di dalamnya. Untungnya tidak. Pada 13 Maret 1955, terjadi usaha pembunuhan PM Nehru, yang untungnya gagal.

Juga “perang dingin” antara Presiden Soekarno dengan PM Sastroamidjojo mengenai biaya untuk memperbaiki Gedung Merdeka. Waktu itu, sistem pemerintahan kita masih demokrasi liberal. Keputusan keuangan ada di tangan kabinet di bawah perdana menteri, tidak di tangan presiden.

Sebagai seorang arsitek, Presiden Soekarno berpendapat ruangan gedung konferensi kurang menarik, “dingin” tanpa “kehangatan”. Untuk itu, Presiden Soekarno ingin menggunakan arsitek Silaban (yang kemudian bertanggung kawab atas pembangunan Masjid Istiqlal). Namun, PM Sastroamidjojo bersikeras menolak dengan alasan biayanya tidak mencukupi.

Impian Perdamaian

Terpenting adalah surat tertanggal 21 Maret 1955 dari AS yang dikirimkan kepada PM Sastroamidjojo. Surat ini berasal dari 14 akademikus, humanis, termasuk penulis terkenal Pearl S Buck dan Emily Bach, pemenang hadiah Nobel untuk perdamaian.

Mereka mengharapkan KAA berhasil baik dan menyatakan masih banyak penduduk dunia yang hidup dalam kemiskinan, ketakutan atas perang. Namun, banyak negara besar yang justru membentuk persekutuan berdasarkan kekuasaan mereka masing-masing. Di sini, kita menyaksikan impian hidup damai tidak hanya terdapat dalam bangsa-bangsa AA, tetapi juga idaman dari bangsa AS dan semua bangsa yang mendambakan kerukunan dan kesejahteraan hidup.

Persoalan Palestina belum selesai sampai saat ini. Persoalan nuklir di Iran dan Korea Utara masih menjadi perdebatan hangat. Timbulnya gerakan Islamic State atau ISIS mengingatkan kita pada gerakan DI/TII di Tanah Air. Inilah kenyataan sejarah.

Untuk itu, demi suksesnya KAA 1955, Indonesia tidak membawa persoalan Irian Barat. Tiongkok juga tidak membawa persoalan Taiwan, serta tidak masuknya Tiongkok dari keanggotaan PBB dalam agenda. Hal ini akan menyebabkan perselisihan tanpa penyelesaian. Seperti dinyatakan PM Zhou, “Tidak ada dari kita yang diminta melupakan pendirian masing-masing, karena perbedaan pendapat adalah kenyataan objektif.”

Kalimat ini penting untuk kita renungkan. Untuk itu, semangat KAA harus tetap digali, dipelajari dengan sikap pragmatis yang harus kita lakukan.

Semoga KAA kali ini tidak hanya bersifat upacara megah, tetapi inti dan semangat KAA 1955 tidak atau kurang dipahami dengan baik; ibarat hanya mementingkan kulit ketimbang isi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar