Kamis, 16 April 2015

Era Baru Ujian Nasional

Era Baru Ujian Nasional

                        Ng Tirto Adi MP  ;  Doktor Manajemen Pendidikan;
Dosen Program Pascasarjana UNIPA Surabaya
JAWA POS, 15 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MULAI Senin (13/4) hingga hari ini dan besok, seluruh pelajar Indonesia jenjang SMA/MA/SMK sederajat melaksanakan ujian nasional (unas). Sebagian besar di antaranya menjalani dengan model PBT (paper based test) atau konvensional menggunakan kertas dan sebagian pelajar lainnya melakoni dengan model CBT (computer based test) atau online.

Sebagai seorang aktivis yang telah malang-melintang dalam pemberdayaan masyarakat –seperti Indonesia Mengajar– Mendikbud Anies Baswedan memenuhi janjinya, yakni tidak menjadikan unas sebagai prasyarat penentu kelulusan peserta didik, yang selama ini banyak diperjuangkan para aktivis penentang unas. Berdasar pasal 21 Permendikbud RI Nomor 5 Tahun 2015 dinyatakan bahwa hasil unas digunakan untuk: a) pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, b) pertimbangan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, dan c) pertimbangan dalam pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya meningkatkan mutu pendidikan.

Banyak kalangan yang menyambut gembira kebijakan itu, mulai kepala sekolah, guru, orang tua/wali murid, hingga peserta didik sendiri. Kekhawatiran tidak lulus tidak perlu dirisaukan lagi. Meski begitu, ada kalangan lain yang mencemaskan adanya penurunan kualitas lulusan setelah hasil unas tidak lagi dijadikan penentu kelulusan.

Tetap Perlu Semangat Juang

Sekalipun unas tidak lagi digunakan sebagai penentu kelulusan, tetap perlu disikapi secara proporsional. Tidak perlu disakralkan dan ditakuti seperti yang selama ini terjadi, tetapi juga tidak boleh disepelekan atau diremehkan. Setelah keluarnya Permendikbud 5/2015 tersebut (12 Maret 2015), banyak pihak, termasuk kepala sekolah, guru, orang tua/wali murid, dan peserta didik, yang meremehkan unas. Mereka mengetahui, berapa pun nilai yang diperoleh, siswa akan dinyatakan lulus (pasal 2 Permendikbud 5/2015) setelah siswa: a) menyelesaikan seluruh program pembelajaran, b) memperoleh nilai sikap/perilaku minimal baik, dan c) lulus ujian sekolah/madrasah/pendidikan kesetaraan.

Meski demikian, yang harus diingat adalah hasil unas siswa akan dinyatakan dalam bentuk empat kategori. Yaitu: sangat baik (85 < N < 100); baik (70 < N < 85); cukup (55 < N < 70); atau kurang (0 < N < 55). Untuk jenjang SMA/MA/SMK sederajat, jika perolehan hasil kurang dari 55 (kategori kurang), siswa akan melakukan unas perbaikan pada tahun berikutnya. Perolehan nilai terendah kategori cukup atau ”batas minimum kelulusan” (nilai 55) untuk tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu nilai rata-rata minimum 55 (sebagai batas kelulusan) merupakan NA (nilai akhir) sebagai hasil gabungan antara NS (nilai sekolah) dan capaian nilai unas. NS diperoleh dari rata-rata nilai rapor (NR) dan NUS (nilai ujian sekolah). Sementara itu, untuk nilai 55 (nilai terendah kategori cukup) pada tahun ini adalah murni dari hasil unas. Jadi, mendapatkan nilai 55 pada tahun ini sesungguhnya ”lebih berat” dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Untuk itulah, semangat belajar dan daya juang (resilience) siswa untuk mendapatkan hasil terbaik dengan cara-cara jujur dan bermartabat tetap tidak boleh surut, tetapi justru harus terus dikobarkan. Sebab, penerimaan mahasiswa baru jenjang PT (dari lulusan SMA/MA/SMK sederajat) atau penerimaan siswa baru SMA/MA/SMK sederajat (dari lulusan SMP/MTs sederajat) akan sulit bagi siswa dengan nilai unas kategori kurang.

Ujian Kepercayaan

Tidak digunakannya hasil unas sebagai penentu kelulusan juga berimplikasi pada penyimpanan dan pendistribusian perangkat naskah unas. Pada tahun-tahun sebelumnya, ketika hasil unas digunakan sebagai penentu kelulusan, dalam penyimpanan perangkat naskah, ada semacam ”keharusan” untuk disimpan di polres atau polsek tiap kabupaten/kota sebelum naskah digunakan.

Tetapi, kini penyimpanan perangkat naskah dapat dilakukan di mana saja (bisa di dinas pendidikan kabupaten/kota, UPTD cabang dinas pendidikan kecamatan atau di subrayon, misalnya). Yang penting, aspek keamanan dan kerahasiaan tetap bisa dipertanggungjawabkan. Pada saat pelaksanaan unas, di satuan pendidikan (sekolah/madrasah), tidak lagi diperlukan tenaga pengamanan dari kepolisian maupun pengawas independen dari perguruan tinggi, tetapi cukup dari panitia subrayon dan satuan pendidikan secara silang antarsekolah/madrasah atau silang antarsubrayon.

Semangat Mendikbud untuk mengembalikan satuan pendidikan sebagai institusi otonom yang dapat dipercaya dan bertanggung jawab hendaknya dapat dimaknai sebagai test of trust (ujian kepercayaan) bagi semua pihak, terutama insan-insan pendidikan, mulai tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, sampai dengan tingkat satuan pendidikan. Insan-insan pendidikan tertantang untuk membuktikan amanat atau kepercayaan yang telah diberikan itu, sementara pihak kepolisian diminta untuk ”legawa” tidak menjadi satuan pengamanan di sekolah/madrasah.

Karena itu, dugaan jual-beli kunci jawaban unas yang terjadi di Kota Mojokerto (JP, 10/4/2015) semoga sebatas dugaan dan bukan sebuah bentuk ”rekayasa isu” yang dapat memengaruhi kelancaran dan keamanan jalannya unas. Karena jika berita atau dugaan itu betul terbukti, tesis Francis Fukuyama (1995) dalam bukunya, Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity, yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia tergolong kelompok masyarakat yang berada pada level ”zero trust society” akan sulit terbantahkan. Membangun kepercayaan adalah hal yang tidak mudah. Dan mempertahankan, apalagi mengembalikan kepercayaan, adalah suatu hal yang jauh lebih tidak mudah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar