Program
Legislasi Nasional dan Sistem Peradilan Pidana
Arsul Sani ; Anggota Komisi III
(Hukum, Keamanan, dan HAM)
dan Badan Legislasi DPR/F-PPP
|
KOMPAS,
02 Maret 2015
Sebelum menutup masa sidang kedua minggu lalu, DPR dan
pemerintah mengesahkan Program Legislasi Nasional 2015-2019. Prolegnas ini
mencerminkan politik hukum serta arah dan kebijakan legislasi selama masa
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Secara keseluruhan, Prolegnas 2015-2019 memuat 109 rancangan
undang-undang (RUU) yang diprogramkan menjadi UU. Jumlah ini tidak termasuk
RUU Kumulatif Terbuka, yakni RUU yang terkait: (i) pengesahan perjanjian
antarnegara atau internasional; (ii) perubahan UU karena adanya putusan
Mahkamah Konstitusi; (ii) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
perubahannya; (iv) pemekaran wilayah provinsi dan kabupaten/kota, serta (v)
RUU karena terbitnya suatu peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(perppu) oleh Presiden.
Prolegnas 2015-2019 tidak hanya memasukkan RUU usulan pemerintah
dan DPR sendiri, tetapi juga mengakomodasi usulan komisi negara (Komnas HAM,
KHN, Komnas Perempuan) serta organisasi dan kelompok masyarakat sipil.
Dibandingkan dengan Prolegnas 2010-2014 yang memuat program legislasi dengan
247 RUU, jumlah RUU dalam Prolegnas 2015-2019 ini jauh lebih sedikit. Badan
Legislasi (Baleg) DPR periode ini bersikap lebih selektif dalam menyusun RUU
yang akan dibahas.
Terdapat satu perbedaan kebijakan legislasi periode ini dengan
sebelumnya. Baik pemerintah maupun DPR tidak ingin ada dalam situasi ”nafsu
besar, tenaga kurang” dengan memprogramkan RUU sebanyak mungkin, tetapi tidak
cukup waktu dan tenaga untuk merealisasikannya. Prolegnas ini mencakup
mayoritas bidang pembangunan yang diprogramkan dalam pemerintahan
Jokowi-Kalla. Satu di antara bidang tersebut terkait dengan perbaikan sistem
peradilan pidana terpadu (integrated
criminal justice system) yang untuk singkatnya akan disebut SPPT.
Dalam konteks penataan SPPT yang lebih baik, kesepakatan politik
hukum DPR dan pemerintah tidak memulai revisi dari hukum pidana formal kita:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Perbaikan SPPT akan diawali modernisasi hukum pidana materiil
kita, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) warisan penjajah Belanda
yang telah berumur hampir satu setengah abad. RUU KUHP ini ditempatkan dalam
Prolegnas Prioritas 2015, yang berarti akan dibahas dalam masa-masa sidang
DPR tahun ini.
RUU KUHP (dan KUHAP) sebenarnya telah mulai dibahas sejak DPR
periode lalu. Namun, karena di DPR tidak dikenal lagi istilah ”carry-over”
pembahasan RUU, terbuka kemungkinan pembahasan RUU KUHP dan KUHAP dimulai
lagi dari awal, termasuk mengenai isu-isu yang ramai diperdebatkan dalam
masyarakat. Dari sisi penahapan, setelah modernisasi hukum pidana materiil,
perbaikan akan menyentuh hukum formal/hukum acara (KUHAP). Setelah itu,
tahapan revisi regulasi kelembagaan penegak hukum yang mencakup kepolisian,
kejaksaan, KPK, dan Mahkamah Agung.
Diskursus arah SPPT
Tak terhindarkan, pada setiap tahapan implementasi Prolegnas
SPPT ini akan timbul diskursus hangat mengenai arah dan konten RUU-nya, baik
dari kalangan elemen masyarakat sipil maupun dari lembaga penegak hukum yang
kedudukan dan kewenangannya akan terpengaruh jika dilakukan perubahan UU
terkait SPPT tersebut. Untuk RUU KUHP, misalnya, diskursus akan dimulai dari
pertanyaan apakah KUHP mendatang sebaiknya merupakan konsolidasi terhadap
semua pengaturan tindak pidana yang telah tersebar pada berbagai UU sektoral.
Juga dalam penyikapan terhadap pidana mati, apakah tetap akan menjadi pidana
pokok seperti saat ini atau akan digeser menjadi pidana alternatif dan
pilihan terakhir penghukuman (ultimum
remedium).
Diskursus juga diperkirakan akan mengemuka ketika perbaikan SPPT
menyentuh hukum pidana formal (KUHAP) kita. Meskipun pada dekade awal
diundangkan, KUHAP sering disebut sebagai karya agung bangsa Indonesia yang
jauh lebih baik daripada hukum acara pidana warisan Belanda yang berlaku
sebelumnya, yakni het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Rechtreglement
voor de Buiten gewesten (RBG). Namun, perkembangan hukum membuat KUHAP tidak
cukup menjawab beberapa problem hukum.
Contohnya soal hak plea bargaining bagi saksi mahkota atau justice collaborator yang membantu KPK
dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi yang lebih luas. Juga status tersangka
yang proses hukumnya tidak jelas kelanjutannya setelah beberapa tahun, tetapi
tidak dihentikan oleh penyidik. RUU KUHAP juga akan memasukkan elemen-elemen
adversarial system yang akan memungkinkan penasihat hukum dan jaksa penuntut
umum mempunyai kesamaan hak dan kedudukan dalam proses persidangan pidana
sehingga proses peradilan pidana diharapkan lebih adil.
Yang paling hangat tentu diskursus terkait penataan kedudukan
dan kewenangan lembaga penegak hukum. Pada tahapan pembahasan RUU yang
menyangkut lembaga penegak hukum akan terbuka (kembali) diskurus yang pernah
muncul, terlebih setelah terjadi lagi ”gesekan” Polri dengan KPK, yakni
apakah sebaiknya Polri tetap berada di bawah Presiden atau ditempatkan di
bawah satu kementerian yang ada sebagaimana TNI di bawah Kementerian
Pertahanan. Juga apakah masih perlu pengangkatan Kepala Polri mendapat
persetujuan DPR?
Di sisi lain, pencantuman revisi UU KPK dalam long list
Prolegnas juga membuka peluang pengaturan organ pengawasan khusus bagi KPK
dan ”koreksi” prosedur di KPK dalam mengimplementasi kewenangannya, terutama
dalam soal penyadapan. Dalam konteks KPK ini, konotasinya tentu tidak selalu
harus dilihat sebagai upaya ”pelemahan” KPK, tetapi perlu dipahami sebagai
ikhtiar melaksanakan due process of law
yang lebih baik dan berimbang antara keharusan melakukan pemberantasan
korupsi dan keperluan perlindungan hak-hak sipil yang lebih terjamin. Di mana
pun posisi pembaca nantinya, yang perlu kita bangun adalah pertukaran
diskursus yang sehat dan saling membangun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar