Mengurai
Benang Kusut Rupiah
A Prasetyantoko ; Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya,
Jakarta
|
KOMPAS,
18 Maret 2015
Dinamika
rupiah sudah seperti benang kusut, sulit ditemukan ujung-pangkalnya dan tidak
mudah diurai. Banyak pertanyaan muncul, mengapa saat pemerintah mulai
mengeksekusi program kerja, kepercayaan asing justru merosot. Padahal, dulu
diyakini, jika pemerintahan baru sesuai preferensi pasar, rupiah akan menguat
tajam.
Beberapa
lembaga investasi, seperti Morgan Stanley dan Deutsche Bank, berani meramal
jika Joko Widodo menjadi presiden, rupiah bakal menguat tajam. Sebaliknya,
jika lawan politiknya menang, rupiah terpuruk. Tampaknya ramalan tetaplah
bukan realitas. Faktanya, setelah tiga bulan berkuasa, pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla harus menghadapi kenyataan sebaliknya, rupiah terpuruk
paling dalam sejak krisis tahun 1998 di atas Rp 13.000 per dollar AS.
Padahal,
pemerintah baru memiliki momentum sangat bagus, yaitu penurunan harga minyak
dunia. Implikasinya, ruang fiskal meningkat dan belanja infrastruktur
melonjak mencapai sekitar Rp 290 triliun. Kurang apa lagi? Fundamental
ekonomi domestik juga relatif baik. Inflasi terus turun dan diperkirakan
berada di bawah 4 persen pada akhir tahun, sementara pertumbuhan ekonomi
diproyeksikan mendekati 5,7 persen.
Defisit
fiskal menurun di bawah 2 persen, sementara defisit transaksi berjalan
semakin sehat. Kalaupun defisit transaksi berjalan mencapai 3 persen, lebih
karena kegiatan investasi yang menyedot bahan baku dan barang modal tinggi.
Artinya, merupakan sinyal bagus bagi pertumbuhan ekonomi.
Akar masalah
Jika
pemerintah dipimpin oleh figur yang disukai pasar dan situasi fundamental
diyakini baik, mengapa rupiah terdepresiasi tajam? Di situlah letak kusutnya
persoalan nilai tukar mata uang kita. Rapat koordinasi Bank Indonesia,
Otoritas Jasa Keuangan, dan Kementerian Keuangan mengidentifikasi tiga hal
pokok penyebab keterpurukan nilai tukar rupiah. Pertama, membaiknya
perekonomian Amerika Serikat yang akan segera diikuti dengan kenaikan suku
bunga (Fed Fund Rate). Akibatnya, dollar AS menguat terhadap semua mata uang
dunia, termasuk rupiah.
Kedua,
kebijakan pelonggaran moneter oleh Bank Sentral Eropa (European Central Bank) dan Bank Sentral Jepang (Bank of Japan) yang membuat mata uang
mereka cenderung melemah terhadap dollar AS. Bahkan, ada tuduhan, mereka
sengaja melemahkan nilai tukar agar ekspor meningkat. Di situlah fenomena
perang nilai tukar tak bisa dimungkiri.
Ketiga,
defisit transaksi berjalan kita masih dianggap rentan karena masih berada
pada kisaran 3 persen. Investor membandingkan dengan India yang mampu
menurunkan defisit transaksi berjalan secara drastis menuju 2 persen.
Kira-kira investor berkesimpulan, Pemerintah India dianggap lebih baik
bekerja ketimbang pemerintah kita.
Jika
dibandingkan dengan mata uang lain, rupiah bukanlah nilai tukar yang paling
terdepresiasi. Sepanjang 2014, Jepang menjadi negara paling terdepresiasi
nilai tukar mata uangnya sekitar 12 persen, Brasil sekitar 11 persen,
sementara Indonesia di bawah 2 persen. Namun, Jepang menikmati pelemahan
nilai tukar karena akan membantu menopang neraca perdagangan mereka. Isu
perang nilai tukar memang terkait upaya negara maju yang mencoba menstimulasi
ekonomi riil mereka. Pertumbuhan akan kembali positif jika ekspor meningkat.
Terlihat ada kaitan erat antara nilai tukar (sektor keuangan) dan kinerja
ekspor (sektor riil).
Apakah
pelemahan nilai tukar mendongkrak ekspor kita? Tampaknya tidak. Pertama
karena struktur ekspor kita masih didominasi sektor komoditas. Dan, sekarang
harga komoditas sedang jatuh. Kedua, kalaupun proporsi ekspor produk
manufaktur meningkat, imbasnya impor bahan baku dan bahan penolong melonjak.
Industri perantara atau penghasil bahan baku tidak berkembang di Indonesia.
Kesimpulannya,
gejolak nilai tukar terkait erat dengan kelemahan mendasar industri kita.
Kusutnya nilai tukar mata uang merupakan cerminan dari kusutnya sektor riil,
terutama sektor manufaktur. Tanpa pembenahan sektor industri, nilai tukar
akan terus terombang-ambing dalam ketidakpastian. Solusinya, sektor
manufaktur kita harus kuat sehingga mampu bersaing di pasar ekspor, selain
mengurangi secara gradual ketergantungan pada bahan baku impor.
Sektor keuangan
Benarkah
dinamika nilai tukar semata-mata ditentukan oleh sektor industri? Tentu
tidak. Sektor keuangan memberi kontribusi penting pada gejolak. Penjelasannya
cukup sederhana, semakin besar ketergantungan kita pada modal asing, semakin
besar pula gejolak nilai tukar. Sebab, kita menganut prinsip devisa bebas. Intervensi
terhadap aliran modal selain belum tentu menjadi solusi juga tak dimungkinkan
oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem
Nilai Tukar.
Mengapa
kita begitu bergantung pada modal asing? Sebab, akumulasi modal domestik tak
memadai untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Itulah yang dalam teori disebut
sebagai saving-investment gap.
Kesenjangan inilah yang diisi oleh modal asing dalam berbagai bentuk, utang
luar negeri, investasi portofolio, dan investasi langsung. Sayangnya,
akhir-akhir ini andalan kita menutup defisit neraca pembayaran lebih banyak
dari investasi portofolio. Pemerintahan yang lalu terobsesi dengan rasio
utang luar negeri rendah sehingga segala cara dilakukan guna mencapai target
sekitar 25 persen utang luar negeri terhadap PDB. Sementara investasi asing
hanya terkonsentrasi pada beberapa sektor unggulan, seperti pertambangan,
mengingat infrastruktur dan sistem logistik selama 10 tahun terakhir
diabaikan. Sejak beberapa tahun terakhir, investasi di pertambangan dan
energi nyaris tak terjadi seiring menurunnya harga komoditas global.
Rendahnya
kontribusi modal domestik tecermin dari kemampuan perbankan membiayai kredit.
Rasio kredit terhadap PDB pada 2012 hanya sekitar 35 persen. Bandingkan
dengan Malaysia yang sudah berada pada kisaran 120-an persen dan Thailand
140-an persen. Langkanya likuiditas juga tercermin dari suku bunga tinggi
dibandingkan dengan negara tetangga. Tingginya suku bunga bank di Tanah Air
paling tidak disebabkan dua hal pokok. Pertama, ketergantungan pada modal
asing sehingga penurunan suku bunga akan mendorong pelarian modal, paling
tidak sebagian. Kedua, tingginya inflasi akibat buruknya sistem logistik.
Lagi-lagi,
kusutnya nilai tukar merupakan refleksi atas kusutnya persoalan perekonomian
kita, terutama akibat tersumbatnya pembangunan infrastruktur. Dan, terkait
dengan kompleksitas persoalan ekonomi domestik tersebut, apakah dinamika
rupiah belakangan ini juga mengindikasikan semakin surutnya kepercayaan
investor terhadap kemampuan pemerintah mengurai benang kusut perekonomian
domestik. Terpuruknya rupiah bisa diartikan sebagai sinyal peringatan (early warning) agar pemerintah lebih
sigap menyelesaikan benang kusut perekonomian melalui program kerja yang
solid. Bukan secara parsial dan sporadis seperti sekarang ini. Jangan tunggu
kepercayaan merosot lebih jauh lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar