Masa
Depan Sastra
Bre Redana ; Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas
|
KOMPAS, 04 Januari 2015
Di balik
ingar-bingar meninggalkan yang lama dan menyongsong yang baru, old and new orang-orang kota
menyebutnya, betapa mudah sebenarnya orang mengabaikan, melupakan,
meninggalkan yang lama. Menyongsong milenium ketiga 15 tahun lalu, orang
heboh, takut kehilangan pegangan ketika seluruh sistem digital konon akan
bermasalah. Dokumentasi digital dan non-digital dispekulasikan akan hilang,
dalam problem yang disebut problem Y2K. Peradaban sejatinya semata-mata
pendokumentasian dan pewarisan memori. Kalau seluruh dokumentasi hilang,
artinya akan terputus risalah peradaban.
Nyatanya? Tak
ada problem digital waktu itu. Yang diam-diam terjadi kemudian: orang
perlahan-lahan melupakan tradisi paling penting milenium kedua, yakni
membaca. Media cetak, buku, literatur, yang memungkinkan manusia
mengeksplorasi kekayaan ekspresi, kognisi, dan imajinasi dalam bahasa, menuju
proses diabaikan. Sejumlah koran dan majalah, termasuk majalah internasional
terkenal, menamatkan riwayatnya di dunia cetak, beralih menjadi media
digital.
Langkah itu,
terutama bagi pihak yang mengelola media sebagai semata-mata urusan bisnis,
dianggap langkah paling masuk akal. Buat apa mempertahankan media cetak,
kalau rugi, begitu alasan mereka. Kita memang semakin dikepung oleh rezim
pemikiran untung-rugi. Terhadap rezim seperti itu, percuma bicara soal
tradisi, kebudayaan, dan sivilisasi. Kategori-kategori semacam itu dianggap
tak bisa dikuantifikasi dalam nilai uang. Investasi peradaban, oleh mereka
telah disempitkan sebagai kapitalisasi modal.
Dunia
literatur, sastra, meredup. Hakikat kontemplatif sastra digantikan oleh semangat
dunia digital yang memiliki sifat harus serba aktual, cepat, mudah, enteng,
segera, trendy (maka ada istilah trending topic), ramai. Keramaiannya
seperti dunia sepak bola. Tak diperlukan kritikus, karena semua orang bisa
berkomentar. Mereka bersorak-sorai melalui beragam modus instrumen digital.
Kritikus, apalagi yang berotak, akan dihujat oleh barisan para penggemar yang
agresivitasnya serupa kelompok hooligan. Pernah terjadi, seseorang
berkomentar mengenai keraguannya tentang penerjemahan sebuah novel Indonesia
ke dalam bahasa asing, orang ini diancam hendak dipidanakan oleh si pengarang
novel. Ini era pengacara, bukan sastrawan.
Dalam situasi
seperti itu, bagaimana dunia kritik hendak hidup? Adakah Anda menemukan
kritik yang berbobot sekarang, entah terhadap sastra, film, dan lain-lain?
Dunia kritik telah mati. Dengan matinya kritik, pada gilirannya akan menyusul
mati penciptaan kreatif.
Itulah
persoalan bagi masyarakat yang terbawa arus perubahan tanpa terlibat dalam
proses yang melahirkan perubahan itu sendiri. Di Barat, masyarakat masuk ke
era modernisme karena proses industrialisasi. Di sini, dan sebagian
masyarakat negara berkembang, terikut dalam proses itu semata-mata sebagai
konsumen.
Dulu
masyarakat industrial Barat mematangkan diri dengan membaca. Anda pasti
melihat sendiri, orang Eropa atau Amerika, liburan pun membaca buku. Kalau
kami orang Indonesia bepergian membawa buku, akan ada saja yang berkomentar:
kayak bule saja.... Orang Indonesia baiknya belanja saja.
Begitulah,
dari fase dan tradisi agraris, sebelum melewati fase dan tradisi industrial,
tradisi literer, tiba-tiba kita memasuki tradisi visual. Sebelum membaca
menjadi kebiasaan banyak orang, televisi keburu masuk ke seluruh rumah tangga
sampai kampung-kampung. Tak perlu heran kalau televisi kita kampungan.
Empati, tepa selira, tidak ada. Anda lihat bagaimana mereka mewawancarai
keluarga korban kecelakaan pesawat. Sebagai wartawan saya malu.
Sitor
Situmorang, sastrawan penting kita, berpulang akhir tahun lalu. Dalam
perubahan yang berlangsung cepat sekarang, saya merasa ada sesuatu yang
hilang. Apa yang hilang? Hal-hal, yang hanya bisa diberikan oleh dunia
sastra.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar