Senin, 05 Januari 2015

Keajaiban

Keajaiban

Samuel Mulia  ;  Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
KOMPAS,  04 Januari 2015

                                                                                                                       


Saya sungguh tertarik dengan status BBM seorang teman. Keajaiban hadir bukan karena beruntung, melainkan datang bagi mereka yang mau bertarung.

Bertarung

Di suatu malam, saya datang ke sebuah rumah sakit untuk memeriksa kesehatan. Dari sejak satu hari sebelumnya sampai waktu saya mendaftar ulang, petugas rumah sakit telah mengingatkan bahwa saya mendapat giliran nomor sepuluh.

Sampai kira-kira setengah tujuh malam, klinik dokter belum juga dibuka, dalam hati saya berkata, ”Duh, kalau jam segini aja belum dibuka, sementara aku dapat nomor sepuluh, jam berapa, ya, pulang?”

Tidak berapa lama setelah itu, dokter datang dan klinik dibuka. Maka giliran pasien dipanggil. Dan nama saya dipanggil nomor satu. Awalnya saya tidak bergerak dari tempat duduk karena dalam pemikiran, giliran saya baru nomor sepuluh.

Ah... mungkin ada pasien lain yang kebetulan namanya sama seperti saya. Setelah nama saya dipanggil tiga kali dan tak ada pasien yang berdiri, saya langsung berdiri dan masuk ke dalam klinik dokter.

Kalau Anda seperti teman saya mengatakan itu pasti ada kesalahan, saya sendiri berpikir demikian. Tetapi kenyataannya, apa pun kesalahan yang telah dibuat, saya mendapat giliran nomor satu. Buat saya, kejadian itu sebuah bentuk keajaiban dan saya beruntung.

Kejadian di klinik dokter itu juga mengingatkan pada peristiwa saat saya hendak melakukan transplantasi ginjal. Saya hanya membutuhkan waktu tiga jam saja dari saat mendarat di rumah sakit, untuk bisa mendapatkan ginjal baru tanpa harus menunggu berbulan lamanya. Semua orang yang mendengar cerita ini mengatakan itu sebuah keajaiban.

Selama perjalanan hidup yang setengah abad lebih ini, saya terbiasa untuk bertarung. Saya berpikir selama saya bertarung, maka selama itu saya akan beruntung. Karena buat saya bertarung itu sama dengan orang rajin, kerja keras, tidak malas, berusaha.

Dan karena saya rajin dan bla-bla-bla itu, maka saya berhak menerima keberuntungan. Jadi, seperti status BBM di atas, keajaiban hanya untuk saya yang bertarung, yang tidak tinggal diam.

Pertarungan sering kali dianggap yang mendatangkan kesuksesan, meski tak memungkiri bahwa akal yang digunakan untuk bertarung dimanfaatkan untuk sebuah pertarungan yang bertujuan mulia atau tidak mulia sama sekali.

Tidak bertarung

Bertarung itu mengandung banyak hal. Perjuangan, menyusun strategi, melakukan penilaian, dan sejuta hal lainnya. Bertarung itu melelahkan. Sementara beruntung itu tidak melakukan usaha apa pun, tak mengharap apa pun, tak memasang strategi apa pun.

Beruntung tidak menuntut dan dituntut. Beruntung itu tidak dipikirkan akan terjadi. Berharap itu mengandung sebuah keinginan, beruntung tidak mengandung apa pun. Beruntung itu bukan sebuah pertarungan, itu sebuah pemberian.

Keajaiban menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ada beberapa arti, dan di antaranya berarti yang tidak dapat diterangkan dengan akal. Nah, karena tidak dapat diterangkan dengan akal, maka keajaiban itu tampaknya terjadi bukan sebagai sebuah reward bagi saya yang sudah bertarung tanpa henti, atau tidak bertarung sama sekali. Namun terjadi karena tanpa adanya persyaratan. Keajaiban itu sebuah kasih karunia.

Baru saja saya mau mengakhiri tulisan ini, nurani saya nyeletuk seperti biasa tanpa ba-bi-bu. ”Emang siapa yang nyuruh elo bertarung dalam hidup ini? Bertarung itu, kan, maunya elo. Emang elo pikir kalau elo bertarung itu sama dengan kerja keras? Sama dengan manusia yang rajin? Sama dengan berhasil?”

Nurani itu terus bernyanyi. ”Emang kalau elo udah bertarung, elo pikir elo pasti menang? Pasti akan mendapati apa yang elo mau? Enggak selalu kan? Nah, kalau elo tahu enggak selalu, kenapa elo selalu bertarung?”

Saya benar kesal dengan nyanyian nurani itu. Kemudian setelah itu, saya jadi berpikir. Bertarung itu mungkin nyaris tak memberikan saya kesempatan untuk berdiam diri.

Tidak bertarung itu tidak berarti malas, ia bisa memberi kesempatan seseorang untuk merendahkan hati dan mencelikkan mata agar mampu melihat bagaimana yang tak bisa dicerna akal itu terjadi.

Mungkin hidup ini seyogianya dilakoni seperti bunga. Ia hanya memiliki kewajiban untuk tumbuh dan kemudian mekar. Ia tak pernah berniat untuk bertarung melawan bunga lainnya. It just blooms!

Saya memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas apa yang saya terima, melakukan yang terbaik berdasarkan kemampuan. Karena kalau semua dilakukan berdasarkan kemampuan, saya tak perlu sampai harus bertarung. Karena bertanggung jawab itu tidak sama dengan bertarung.

Dan kalaupun keajaiban tidak terjadi karena saya sudah bertanggung jawab, tak berarti saya harus melakukan pertarungan yang lebih sengit. Yang perlu saya ingat, keajaiban itu adalah bukan reward, itu adalah kasih
karunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar