Keajaiban
Samuel Mulia ; Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 04 Januari 2015
Saya sungguh
tertarik dengan status BBM seorang teman. Keajaiban hadir bukan karena
beruntung, melainkan datang bagi mereka yang mau bertarung.
Bertarung
Di suatu
malam, saya datang ke sebuah rumah sakit untuk memeriksa kesehatan. Dari
sejak satu hari sebelumnya sampai waktu saya mendaftar ulang, petugas rumah
sakit telah mengingatkan bahwa saya mendapat giliran nomor sepuluh.
Sampai
kira-kira setengah tujuh malam, klinik dokter belum juga dibuka, dalam hati
saya berkata, ”Duh, kalau jam segini aja belum dibuka, sementara aku dapat
nomor sepuluh, jam berapa, ya, pulang?”
Tidak berapa
lama setelah itu, dokter datang dan klinik dibuka. Maka giliran pasien dipanggil.
Dan nama saya dipanggil nomor satu. Awalnya saya tidak bergerak dari tempat
duduk karena dalam pemikiran, giliran saya baru nomor sepuluh.
Ah... mungkin
ada pasien lain yang kebetulan namanya sama seperti saya. Setelah nama saya
dipanggil tiga kali dan tak ada pasien yang berdiri, saya langsung berdiri
dan masuk ke dalam klinik dokter.
Kalau Anda
seperti teman saya mengatakan itu pasti ada kesalahan, saya sendiri berpikir
demikian. Tetapi kenyataannya, apa pun kesalahan yang telah dibuat, saya mendapat
giliran nomor satu. Buat saya, kejadian itu sebuah bentuk keajaiban dan saya
beruntung.
Kejadian di
klinik dokter itu juga mengingatkan pada peristiwa saat saya hendak melakukan
transplantasi ginjal. Saya hanya membutuhkan waktu tiga jam saja dari saat
mendarat di rumah sakit, untuk bisa mendapatkan ginjal baru tanpa harus
menunggu berbulan lamanya. Semua orang yang mendengar cerita ini mengatakan
itu sebuah keajaiban.
Selama
perjalanan hidup yang setengah abad lebih ini, saya terbiasa untuk bertarung.
Saya berpikir selama saya bertarung, maka selama itu saya akan beruntung.
Karena buat saya bertarung itu sama dengan orang rajin, kerja keras, tidak
malas, berusaha.
Dan karena
saya rajin dan bla-bla-bla itu,
maka saya berhak menerima keberuntungan. Jadi, seperti status BBM di atas,
keajaiban hanya untuk saya yang bertarung, yang tidak tinggal diam.
Pertarungan
sering kali dianggap yang mendatangkan kesuksesan, meski tak memungkiri bahwa
akal yang digunakan untuk bertarung dimanfaatkan untuk sebuah pertarungan
yang bertujuan mulia atau tidak mulia sama sekali.
Tidak bertarung
Bertarung itu
mengandung banyak hal. Perjuangan, menyusun strategi, melakukan penilaian,
dan sejuta hal lainnya. Bertarung itu melelahkan. Sementara beruntung itu
tidak melakukan usaha apa pun, tak mengharap apa pun, tak memasang strategi
apa pun.
Beruntung
tidak menuntut dan dituntut. Beruntung itu tidak dipikirkan akan terjadi.
Berharap itu mengandung sebuah keinginan, beruntung tidak mengandung apa pun.
Beruntung itu bukan sebuah pertarungan, itu sebuah pemberian.
Keajaiban
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ada beberapa arti, dan di antaranya
berarti yang tidak dapat diterangkan dengan akal. Nah, karena tidak dapat
diterangkan dengan akal, maka keajaiban itu tampaknya terjadi bukan sebagai
sebuah reward bagi saya yang sudah bertarung tanpa henti, atau tidak
bertarung sama sekali. Namun terjadi karena tanpa adanya persyaratan.
Keajaiban itu sebuah kasih karunia.
Baru saja
saya mau mengakhiri tulisan ini, nurani saya nyeletuk seperti biasa tanpa
ba-bi-bu. ”Emang siapa yang nyuruh elo bertarung dalam hidup ini? Bertarung
itu, kan, maunya elo. Emang elo pikir kalau elo bertarung itu sama dengan
kerja keras? Sama dengan manusia yang rajin? Sama dengan berhasil?”
Nurani itu terus
bernyanyi. ”Emang kalau elo udah bertarung, elo pikir elo pasti menang? Pasti
akan mendapati apa yang elo mau? Enggak selalu kan? Nah, kalau elo tahu
enggak selalu, kenapa elo selalu bertarung?”
Saya benar
kesal dengan nyanyian nurani itu. Kemudian setelah itu, saya jadi berpikir.
Bertarung itu mungkin nyaris tak memberikan saya kesempatan untuk berdiam
diri.
Tidak
bertarung itu tidak berarti malas, ia bisa memberi kesempatan seseorang untuk
merendahkan hati dan mencelikkan mata agar mampu melihat bagaimana yang tak
bisa dicerna akal itu terjadi.
Mungkin hidup
ini seyogianya dilakoni seperti bunga. Ia hanya memiliki kewajiban untuk
tumbuh dan kemudian mekar. Ia tak pernah berniat untuk bertarung melawan
bunga lainnya. It just blooms!
Saya memiliki
kewajiban untuk bertanggung jawab atas apa yang saya terima, melakukan yang
terbaik berdasarkan kemampuan. Karena kalau semua dilakukan berdasarkan
kemampuan, saya tak perlu sampai harus bertarung. Karena bertanggung jawab
itu tidak sama dengan bertarung.
Dan kalaupun
keajaiban tidak terjadi karena saya sudah bertanggung jawab, tak berarti saya
harus melakukan pertarungan yang lebih sengit. Yang perlu saya ingat,
keajaiban itu adalah bukan reward, itu adalah kasih
karunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar