Ensiklopedia
Kebudayaan Etnis
Kurnia JR ; Sastrawan
|
KOMPAS,
22 Januari 2015
SEJAK memimpin Kota Surakarta, lalu DKI Jakarta,
Joko Widodo menunjukkan kepeduliannya pada kepribadian bangsa lewat kesadaran
kebudayaan.
Kini pada level nasional, sebagai Presiden,
dia menunjukkan visi budayanya dengan tindakan tegas: menegakkan wibawa
bangsa di mata internasional. Sikap dan pandangan pemimpin ini harus dipahami
oleh segenap pembantunya untuk mengejawantahkan impian menjadi bangsa yang
sadar akan asal-usulnya, kekayaan seni, moralitas, dan falsafah hidupnya.
Kebudayaan bukan sekadar bagian dari pariwisata yang tak berjiwa, melainkan
sikap moral estetis yang religius, toleran, dan tidak korup.
Negeri ini
terbentuk dari konsensus berbagai suku bangsa dengan segala perbedaan
spesifik perikehidupan yang rentan konflik jika tidak dikelola dengan arif.
Kita melihat, antara lain, keberagaman aspek religiositas antaretnis yang
bisa memancing pandangan negatif jika tanpa pengetahuan memadai tentang
budaya etnis yang bersangkutan.
Dalam sistem
kepercayaan tradisional Sunda, misalnya, dikenal Rama Langit dan Ibu Bumi.
Dalam upacara mengawali pembangunan rumah panggung di Desa Ciporeat,
Kabupaten Bandung, dua tahun yang lalu, saya menyaksikan seorang sepuh
memimpin ritual adat. Dia mengawali mantra dengan bismillah, tetapi menyebut
kedua nama yang diagungkan itu.
Setiap suku
bangsa memiliki sistem kepercayaan yang berpangkal pada gagasan yang unik
tentang asal-usul manusia. Bahkan, setelah agama-agama samawi datang dan
menjadi mayoritas di muka bumi, perikehidupan spiritual etnik tidak pupus.
Banyak suku bangsa tetap memegang erat tradisi yang berkaitan dengan
kelahiran, kematian, pernikahan, pembangunan rumah. Wali Sanga, para penyebar
Islam di Jawa, memahami kecenderungan akulturasi orang Jawa sehingga mewarnai
Islam yang mereka ajarkan dengan dekorasi kultural setempat tanpa menodai
tauhid, seperti pada selamatan dan kesenian. Hal yang sama berjalan di tatar
Sunda.
Kebudayaan
tradisional merefleksikan kearifan etnik, fondasi perikehidupan komunitas
secara turun-temurun. Etos mental dan spiritual ini mengukuhkan ketahanan
hidup material. Aspek kultur tradisional dalam jiwa seseorang, disadari atau
tidak, menopang proyeksi kesejahteraan lahir-batinnya, individual dan sosial.
Tak
sepatutnya aspek kultur tradisional melulu dipandang sebagai antitesis bagi
modernitas. Yang pertama adalah pijakan bagi komunitas etnis untuk memahami
dirinya, asal-usul, pola pikir, yang telah membentuk weltanschauung etnik,
yang pada gilirannya melahirkan struktur kebudayaan yang unik. Adapun yang
kedua masukan warna yang berbeda dari bangsa lain dalam hal menanggapi
tantangan aktual secara teknologis atau dialektika pola pikir.
Dua faktor
ini tak sesederhana isu masa lalu versus masa kini. Perspektif Barat yang
memandang Timur sebagai barbar pada era penaklukan dan kolonialisme telah
menciptakan ”paradigma versus” demikian itu. Paradigma baru perlu diteguhkan
sebagai cara kita menghadapi agresi modernitas yang cenderung melecehkan pola
budaya tradisional.
Kultur
tradisional bukan benda mati yang bersifat statis, melainkan struktur
organisme yang luwes, kendati selalu ada batas-batas pemaknaan tertentu
berkenaan dengan waktu. Faktor teknologi dan ekonomi, misalnya, meringkas
pertunjukan wayang kulit/golek yang semalam suntuk menjadi beberapa jam saja,
plus teknik pencahayaan elektris; selamatan kelahiran atau pernikahan yang
rumit disederhanakan agar lebih murah.
Dengan
penyesuaian itu mereka merasa tetap menjaga warisan budaya meski tak
sesempurna yang dipatok oleh adat. Di sisi lain, fenomena itu bisa dinilai
sebagai erosi kultur tradisional. Kita memang selalu berada dalam konflik
kultural saat basis primordial dihadapkan dengan mode kontemporer berwatak Barat
yang cenderung merangsek tanpa peduli pada tradisi lokal.
Maka, kita
wajib merawat guna mempelajari dan menghayati pusaka budaya warisan leluhur.
Kita mendambakan progres, kesejahteraan ekonomi, tetapi tak bisa lepas dari
tuntutan akan kesejahteraan mental dan spiritual. Sebab, hal-hal inilah yang
membuat benang merah antara kita dan ”Rama Langit dan Ibu Bumi” dalam batin
tetap terjaga. Teknologi maritim dan pertanian nenek moyang, bahasa simbol
dan budaya tulis, falsafah tentang lingkungan hidup seperti termaktub dalam
Amanat Galunggung yang diterapkan Prabu Guru Dharmasiksa Luluhur Sunda adalah
sebagian dari nilai-nilai tersebut.
Peradaban
bisa langgeng sebagai khazanah intelektual dalam budaya tulisan. Budaya lisan
tak bisa melompati waktu tanpa korupsi lebih daripada satu generasi.
Penelitian, perekaman, dan penulisan, serta penyebarluasan khazanah
kebudayaan etnis dalam format ensiklopedia yang komprehensif dan terpadu
perlu dilakukan.
Sejak era
Pujangga Baru kaum intelektual telah berpolemik tentang kebudayaan nasional.
Bangsa ini sungguh kaya akan kebudayaan etnis. Sebelum tergerus zaman, kita
harus merekam segenap kebudayaan etnis sebagai bahan bagi setiap generasi
untuk mendefinisikan apa yang kita dambakan sebagai kebudayaan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar