Tentang
TRIMS
Iwan
Pranoto ; Guru Besar Matematika ITB
|
KOMPAS,
20 Juni 2014
PEMISAHAN
dan pemagaran IPA, IPS, teknologi, dan seni menjadi bukan saja cara berpikir
usang, melainkan juga merugikan. Saat ini, seni merupakan elemen utama dalam
gelombang inovasi.
Perusahaan
kamera klasik Leica adalah satu contoh perusahaan yang tetap berkembang meski
terkena gempuran revolusi digital. Pabrik pembuat kamera yang digunakan para wartawan
ternama ini mampu bertahan. Tidak saja karena foto klasik Che Guevara yang
terkenal itu diambil dengan kamera Leica, tetapi pabrik kamera ini juga tetap
berinovasi sampai hari ini.
Beberapa
pekan lalu, Leica merayakan 100 tahun kiprahnya dalam fotografi dengan
menciptakan desain kamera baru. Inovasi tersebut hasil kolaborasi lintas
disiplin. Keunggulan Leica dalam sains dan teknologi perlensaan, keindahan
sentuhan seni perancang mobil Audi, dan kemudahan tatap muka sistem operasi
buatan rekayasawan Apple berkolaborasi. Kolaborasi itu merupakan ilustrasi
bagaimana ilmu pengetahuan, teknologi, rekayasa, dan seni berpadu menggagas
inovasi hari ini.
Seni dan ilmu kemanusiaan
Pada
awal milenium telah disadari bahwa iptek dan matematika akan menjadi motor
pengembangan ekonomi dan pembangunan. Khususnya gagasan yang diberi nama STEM
(science, technology, engineering, and
mathematics) yang diajukan Presiden Qualcomm Inc, Harvey White.
Gagasan
ini mendorong lahirnya rangkaian kebijakan nasional di beberapa negara maju.
Salah satunya adalah dorongan penguatan pendidikan bidang matematika dan IPA
mulai dari SD sampai pendidikan tinggi. Di AS, misalnya, Presiden George W
Bush pada 2007 mengesahkan perundangan STEM
Initiative. Dan, dalam skala antarnegara, organisasi ekonomi OECD melalui
Programme for International Student
Assessment (PISA) membangun kesadaran atas perlunya STEM. Hal ini karena
semua industri mulai dari konstruksi, keuangan, pelestarian lingkungan,
sampai bidang jasa makin hari kian butuh kepakaran STEM.
Namun,
empat tahun lampau, Harvey White mengoreksi STEM. Seperti Steve Jobs, beliau
yakin bahwa STEM tak cukup. Inovasi dan kreativitas membutuhkan unsur seni
dan ilmu kemanusiaan. Harvey White mengusulkan menambahkan arts sehingga STEM
menjadi STEAM. Ini bukan sekadar jargon baginya. Di perusahaan berteknologi
tinggi yang dikelolanya, seni bukan sekadar pelengkap. Pekerjanya secara
eksplisit disyaratkan untuk belajar seni, selain sains.
Dalam
tulisan ini, STEAM diterjemahkan sebagai teknologi, rekayasa, ilmu
pengetahuan, matematika, dan seni (TRIMS).
Dalam
pendidikan klasik, kegiatan berkesenian merupakan unsur yang tak terpisahkan.
Seperti dalam pendidikan liberal arts, yang bertujuan agar pelajar
mengembangkan dirinya untuk menjadi warga negara yang berpikir merdeka dan
peduli, seni adalah salah satu wahananya.
Ke dalam
diri murid, seni efektif menyuburkan kreativitas murid dan sikap inovatifnya.
Adapun bagi dunia iptek kreativitas dari kegiatan berkesenian berdampak
terhadap peningkatan penemuan baru dalam iptek. Seperti kata Carl Sagan,
tumbukan antara kreativitas dan rasa skeptis yang menghasilkan penemuan tak
terduga dalam sains.
Jika
kreativitas dan pemikiran kritis telah disadari merupakan kemampuan utama
hari ini, berkesenian harus merasuk di semua jenjang pendidikan. Seni bukan
disiplin pelengkap. Meski tak perlu ada pembelajaran khusus yang memadukan
seni dan sains, iklim berkesenian harus merasuk ke pelajaran lain. Sains
membutuhkan ”kegeniusan dan
kesintingan” seni. Sebaliknya seni perlu berani dirasuki ”kedeterministikan” sains alam. Iptek
dan matematika butuh unsur estetika dan sebaliknya seni butuh unsur
rasionalitas.
Bagi
Indonesia sekarang, kebijakan pendidikan umum yang menyegregasi keilmuan dan
menomorduakan pendidikan seni perlu dikenali, dihentikan, dan dikoreksi.
Secara
khusus, di tingkat pendidikan menengah perlu dipertanyakan apakah kebijakan
pemisahan atau penjurusan di SMA tak terlalu dini untuk dunia hari ini. Jika
kebijakan pemisahan ini bertentangan dengan kecenderungan dunia yang
membutuhkan jenis manusia baru, seperti pengacara yang menguasai UU, paham
bermatematika sekaligus kreatif menulis kontrak, sebaiknya kebijakan usang
itu ditinjau ulang. Kebijakan yang memberikan porsi matematika lebih kecil
daripada IPS dibanding IPA teramat absurd. Hari ini, ilmu ekonomi sampai ilmu
politik melibatkan matematika yang tak kurang dari ilmu biologi. Kebijakan
sejenis ini dan dampaknya perlu direnungkan lebih dalam.
Di
pendidikan tinggi, perguruan tinggi di Indonesia yang merumahi TRIMS dan
sudah mengelola kolaborasinya teramat sedikit. Lulusan TRIMS yang generalis
sama dibutuhkannya dengan yang spesialis karena permasalahan dunia semakin
kompleks membutuhkan lintas perspektif. Karena itu, program studi (prodi) S-1
di perguruan tinggi yang terlalu spesialis sempit perlu ditinjau. Prodi S-1
sebaiknya bersifat generalis agar lulusannya mudah menyeberang dan membangun
karya hasil perpaduan antardisiplin.
Namun,
jenjang S-2 dan S-3 memang sifatnya harus spesialis, apalagi S-2 keprofesian.
Kita tetap ingin dilayani apoteker yang spesialis. Garda depan riset
perguruan tinggi pada jenjang pascasarjana, bukan S-1, demikian ditekankan
mantan Mendikbud Wiranto Arismunandar.
Prodi
S-1 yang terlalu spesialis akan merugikan dan menyusahkan lulusannya. Mereka
sulit menyesuaikan dan menemukan pekerjaan di dunia kerja yang senantiasa
berubah cepat. Jenis pekerjaan yang benar-benar baru dan belum dikenal
sebelumnya, seperti manajer media sosial, pakar generasi milenium, pakar sustainabilitas (keberlanjutan) bermunculan di dekade
terakhir ini. Lulusan S-1 harus ”siap belajar” memasuki lahan pekerjaan baru
tersebut dan yang akan bermunculan lainnya. Moto lulusan ”siap kerja” menjadi
absurd karena mustahil perguruan tinggi hari ini menyiapkan kecakapan khusus
untuk pekerjaan yang baru muncul 10 tahun mendatang.
Inovatif lintas disiplin
TRIMS
bukanlah tentang mengajarkan semua disiplin, melainkan juga upaya sistematis
membangun budaya inovatif, berpikir kreatif, berperspektif jamak, dan mau
melintas disiplin dalam memahami permasalahan dunia dan menyelesaikannya.
Akademisi di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia sudah memelopori kegiatan
yang menjalin komunikasi antar-keilmuan dasar, kemanusiaan, dan rekayasa.
Kolaborasi untuk inovasi ini perlu disuarakan lebih luas.
Dalam
buku Creating Innovators (Wagner, 2012) dikemukakan, sikap
berinovasi tumbuh melalui kegiatan yang mengutamakan play, passion, and purpose, (bermain,
kasmaran, dan bermakna). Artinya,
setiap pembelajaran perlu dijiwai kehendak bermain, didorong kasmaran belajar
seperti keingintahuan, dilandasi keyakinan kebermaknaan seperti keyakinan
diri dapat membuat sebuah perubahan. Ilustrasi terbaik untuk kebermaknaan
adalah bagaimana Steve Jobs memilih kata-katanya guna mengungkapkan
cita-citanya dalam berkarya. Dia ingin membuat a ding in the universe atau membuat sebuah ”cuilan” di semesta. Karyanya diharapkan mampu ”mencuil” semesta.
Sementara
itu, ke dalam, pendidikan TRIMS memfasilitasi proses pemanusiaan diri dan
pengembangan sikap. Melalui pendidikan TRIMS, murid mengembangkan sikap
kolaborasi sebagai lawan dari pencapaian individu, pemberdayaan diri sebagai
lawan dari penyerap pengetahuan, pemberani mengambil risiko sebagai lawan
dari penghindar risiko, dan bermotivasi intrinsik sebagai lawan dari belajar
untuk lulus ujian dan menyembah indeks prestasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar