Rumor
dalam Pilpres 2014
M
Jamiluddin Ritonga ; Dosen
Komunikasi Universitas Esa Unggul Jakarta
|
TEMPO.CO,
17 Juni 2014
Rumor
atau desas-desus seputar calon presiden-calon wakil presiden marak
bermunculan di berbagai media. Kehadirannya tanpa diundang, nyelonong begitu
saja melalui berbagai arah. Kehadirannya sulit dicegah oleh siapa pun juga.
Tanpa permisi, rumor seputar capres-cawapres nyelonong ke rumah, kantor,
kantin, bus, halte, bahkan ke ruang intel yang paling disegani di negeri ini.
Berbagai
rumor itu paling marak mengemuka di media sosial. Pihak-pihak yang terlibat
dalam dukungan terhadap capres-cawapres intens memunculkan rumor, baik yang
positif maupun yang negatif. Rumor positif umumnya ditujukan bagi
capres-cawapres yang didukungnya. Sebaliknya, rumor negatif terus-menerus
diarahkan kepada capres-cawapres yang tidak didukungnya.
Kekhawatiran
terhadap rumor negatif tentu beralasan. penyebabnya, rumor pada umumnya
berisi informasi selentingan yang dikomunikasikan tanpa jaminan adanya bukti
nyata. Bagi masyarakat Indonesia yang masih kental budaya lisan, menjalarnya
rumor tentang capres-cawapres dimungkinkan lebih cepat lagi. Budaya gethok
tular kiranya dapat mempercepat bertebarannya rumor tersebut dalam
masyarakat.
Bertebarannya
rumor juga dapat dimulai dari minat. Bila inti persoalan rumor tentang
capres-cawapres tidak selaras dengan minat seseorang, ia tidak memiliki
alasan untuk mengembuskan rumor tersebut. Namun, bila informasi itu sesuai
dengan minat, ia akan tergoda untuk meneruskan rumor sesuai dengan versinya.
Jadi,
informasi yang dikandung rumor cenderung berubah saat beredar dari orang ke
orang. Walaupun tema umumnya tetap dipertahankan, rinciannya biasanya sudah
bertambah atau berkurang. Muatan informasinya bahkan kerap disaring dengan
menyusutkannya menjadi beberapa rincian pokok yang dapat diingat dan
diteruskan kepada orang lain. Hal itu terjadi karena orang per orang memilih
rincian rumor yang sesuai dengan minat dan pandangan mereka sendiri tentang
obyek yang dirumorkan.
Minat
untuk menebarkan rumor muncul karena adanya ketidakpastian dalam situasi
tertentu. Bila rumor negatif tidak mendapat kepastian dari setiap
capres-cawapres, lawan pendukungnya akan terdorong untuk menyebarluaskan
rumor tersebut. Sebaliknya, para pendukungnya akan merasa bingung atau kurang
memahami konteks situasinya karena tidak memadainya informasi. Akibatnya,
para pendukung melakukan reaksi bertahan agar situasi mereka lebih berarti
dan aman.
Cara
terbaik mengendalikan rumor biasanya adalah menanggulangi sumbernya atau
mengungkapkan fakta. Dengan diungkapkannya fakta yang sebenarnya,
ketidakpastian diharapkan dapat berkurang, sehingga tidak cukup peluang bagi
penyebaran rumor. Cara ini dapat membantu menjelaskan ketidakpastian dalam
pikiran setiap orang. Dan ini biasanya lebih disukai oleh orang-orang yang
merasa tidak pasti dan mengalami ketegangan jiwa.
Upaya
tersebut bukan berarti penangkal ampuh untuk meniadakan rumor sama sekali.
Rumor akan kembali muncul kala terjadi ketidakpastian. Karena itu, untuk
meminimalkan rumor, capres-cawapres idealnya dapat mempertahankan iklim yang
kondusif tentang diri mereka masing-masing. Iklim demikian biasanya dapat
terwujud jika capres-cawapres mau bersikap terbuka dan berempati terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Jadi, kata kuncinya adalah
keterbukaan dan kemampuan berempati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar