Rabu, 18 Juni 2014

Melawan Keganasan Politik Uang

Melawan Keganasan Politik Uang

Triyono Lukmantoro  ;   Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
SINAR HARAPAN,  17 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) telah mengambil pilihan tepat pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Mereka membuka rekening bank yang dimaksudkan menerima dana dari masyarakat.

Ada hal radikal yang digulirkan. Jika selama ini telah berlangsung kutukan politik uang dalam bentuk pemberian uang tunai dari calon anggota legislatif kepada rakyat, mereka justru membalik logika itu.

Tentu saja, Jokowi-JK tidak sedang mengemis. Ia melawan keganasan politik uang yang terjadi secara sistematis. Jokowi-JK menggalang dana dengan cara-cara yang sangat partisipatoris, yakni melibatkan kemampuan riil rakyat.

Pasangan Jokowi-JK ingin mengembalikan pamor pernyataan vox populi, vox dei. Suara rakyat, suara Tuhan. Itulah prinsip demokrasi yang diakui kebenarannya hingga saat ini. Suara rakyat disepadankan dengan suara berdaulat Tuhan. Apa yang dikehendaki rakyat merupakan perintah Tuhan.

Namun, realitasnya, pernyataan itu tidak berlaku lagi dengan perkembangan demokrasi di negeri ini, ketika praktik politik uang demikian meluas. Aspirasi rakyat yang dapat disetarakan dengan kekuatan Tuhan itu tidak dapat dipegang kesahihannya karena politik uang begitu merajalela.

Sulit untuk menyatakan suara rakyat adalah suara Tuhan. Catatan amat penting yang harus dibuat untuk pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 adalah, politik uang telah dianggap kelaziman. Sistem yang diterapkan dalam pelaksanaan pemilihan umum saat ini adalah proporsional terbuka. Setiap calon legislatif bisa melenggang menjadi wakil rakyat bila mampu meraih suara terbanyak. Melalui mekanisme ini, sesama kandidat dalam satu partai politik pun harus bertarung.

Secara hiperbolis, fenomena itu disebut sebagai kanibalisasi politik. Seperti halnya dalam hukum rimba, sesama manusia harus saling memangsa untuk bertahan hidup serta pada akhirnya keluar sebagai pemenang.

Dalam perpolitikan, kanibalisasi itu seharusnya ditunjukkan dengan berbagai visi, misi, dan program yang mengundang ketertarikan masyarakat. Namun, semua hal yang berkaitan dengan problem ideologis yang serba menjulang itu lantas direduksi menjadi satu bentuk materi yang jelas nilainya: uang.

Kanibalisasi dalam pemilihan umum harus dimaknai pertarungan uang melawan uang. Uang yang nilainya lebih besar dipastikan mampu menjadi pemenang. Uang besar mencaplok uang kecil.

Kandidat wakil rakyat yang menggenggam modal lebih tebal sangat dimungkinkan mengalahkan calon lain yang bermodal tipis. Tidak heran jika ingin lolos menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), minimal harus punya uang Rp 3,5 miliar. Uang telah menjadi alat untuk saling menjegal.

Menjadi Budaya

Politik uang telah menjadi budaya dalam perpolitikan kita. Dalam setiap level kompetisi politik, dari pemilihan kepala desa, pemilihan bupati atau wali kota, dan pemilihan wakil rakyat di berbagai tingkatan, terlihat benar politik uang dipandang sebagai kewajaran. Bahkan, kalau politik uang dianggap sebagai praktik kejahatan, aksi kriminalitas itu dinilai sebagai perilaku banal.

Apa yang dimaksud dengan banalitas politik uang adalah ketidaknormalan yang dilakukan bersama, sehingga akhirnya menjadi kebiasaan yang diterima. Politik uang itu banal. Justru karena banal itulah maka dipandang sebagai normalitas sosial.

Pada titik banalitas dan normalitas itulah, politik uang menjadi budaya yang sulit dilawan. Budaya, mengikuti konsep yang dikemukakan Margaret L Andersen dan Howard F Taylor (Sociology: The Essentials, Sixth Edition, 2011), adalah sistem kompleks makna serta perilaku yang mendefinisikan satu kelompok orang atau masyarakat tertentu. Mengikuti pemikiran tersebut, setidaknya ada lima alasan yang mampu menjelaskan kenapa politik uang pantas dikategorikan sebagai budaya.

Pertama, politik uang telah diterima dalam pola-pola kebiasaan dalam setiap momentum perebutan jabatan publik. Politik uang secara kolektif telah dialami serta saat yang serentak telah pula disepakati.

Kedua, politik uang merupakan hasil dari pembelajaran. Keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik mengenai politik uang telah dipelajari, lebih tepat lagi ditanamkan secara sosial, dalam benak kesadaran para individu yang terlibat secara aktif pada kontestasi kekuasaan.

Apa yang pada awalnya dipraktikkan sebagai hal yang canggung karena menimbulkan rasa risih dan malu, akhirnya diberlakukan sebagai kewajiban. Itulah naturalisasi, suatu proses untuk melakukan pembiasaan terhadap politik uang yang berjalan mulus.

Ketiga, politik uang telah dipandang sebagai aksioma, kebenaran yang tidak memerlukan pembuktian dan argumentasi lagi. Akibatnya, tidak ada orang yang amat serius mempertanyakan atau menggugatnya.

Bahkan, jika ada pihak yang menyangkal praktik-praktik politik uang justru akan diperlakukan sebagai pihak yang lain. Mereka adalah orang luar (outsiders) yang tidak memahami secara baik tentang kebiasaan yang telah berlaku.

Keempat, politik uang adalah perwujudan dari pengungkapkan secara simbolik status yang melekat pada figur-figur yang terlibat di dalamnya. Uang sebagai simbol terlihat pada jumlah yang diberikan akan dilihat sebagai kepedulian.

Semakin besar jumlah uang yang diberikan, si pemberi dipandang memiliki kepedulian yang tinggi. Selain itu, jumlah uang yang tinggi menunjukkan kemampuan ekonomi pihak yang memberinya.

Telah tertanam cukup kuat dalam hidup keseharian, konsekuensi yang bisa dilihat adalah politik uang telah dianggap sebagai keunikan dalam wilayah perbandingan politik. Itulah ciri kelima yang menandai politik uang sebagai budaya. Kemungkinan saja bagi orang-orang yang telah menerima nilai-nilai demokrasi secara matang, politik uang dipandang sebagai aksi penyuapan.

Namun, dalam realitasnya, politik uang di sini sekadar dianggap sebagai pertukaran yang saling menguntungkan. Calon wakil rakyat yang memberi dilihat sebagai figur yang bermurah hati. Rakyat yang menerima uang menganggapnya sebagai limpahan rezeki.

Komodifikasi Jabatan

 Hanya saja, dalam perspektif pertukaran itulah dapat diungkapkan secara kritis bagaimana politik uang melahirkan komodifikasi jabatan politik. Merujuk ide yang dikemukakan kaum Marxis (Tom Bottomore [ed.], A Dictionary of Marxist Thought: Second Edition, 2001), uang memediasi pertukaran komoditas.

Pertukaran komoditas (barang dagangan) terjadi ketika komoditas itu dijual untuk mendapatkan uang. Pada saat bersamaan, komoditas itu dibeli juga dengan uang. Marx menggambarkannya dengan diagram C-M-C (Commodity-Money-Commodity). Komoditas dijual untuk mendapatkan uang. Seterusnya, uang yang didapatkan dari penjualan itu digunakan untuk membeli komoditas lainnya.

Dalam politik uang, apa yang disebut sebagai komoditas itu adalah jabatan publik, misalnya saja kedudukan sebagai wakil rakyat. Pada pertukaran itu terjadilah komodifikasi, yang berarti posisi wakil rakyat telah dijadikan barang dagangan belaka.

Pola pertukaran yang terjadi bukan lagi C-M-C, melainkan M-C-M (Money-Commodity-Money). Kalangan kandidat wakil rakyat menebarkan uang untuk membeli jabatan sebagai anggota DPR.

Setelah mereka mampu meraih jabatan itu, mereka mencari uang lagi, bahkan dalam jumlah lebih banyak. Aksi-aksi semacam itu telah melahirkan fetisisme komoditas. Jabatan politik begitu dipuja dan diberhalakan, sehingga kepentingan rakyat diabaikan.

Namun, di sisi lain, rakyat pun semakin tidak peduli dengan aneka proses politik yang berlangsung setelah uang diterima. Terlebih lagi berbagai proses politik yang terjadi memang tidak memberikan bukti dan harapan yang signifikan. Apakah anggota DPR berkinerja baik atau buruk bukan dianggap sebagai urusan rakyat lagi.

Masalah politik lantas dikemas secara ringkas dalam uang sebagai wujud pertukaran. Ketika Jokowi-JK membuka rekening untuk menerima dana dari masyarakat, apa yang mereka jalankan adalah keberanian untuk melawan keganasan politik uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar