Jumat, 13 Juni 2014

Masih Ada Masyarakat Sipil

Masih Ada Masyarakat Sipil

Mohamad Didit Saleh  ;   Peneliti Pendidikan, Bahasa,
dan Kebudayaan di Komunitas Kalimetro
KOMPAS,  09 Juni 2014

                                                                                         
                                                      
Gambaran kondisi pelayanan publik di Indonesia kebanyakan seperti ini: Pergi berobat ke rumah sakit, tidak punya uang, tetapi harus membayar uang jaminan. Tanpa uang, tidak ada pengobatan. Bahkan, setelah ada program jaminan sosial kesehatan, biaya pengobatan tidak otomatis menjadi mudah buat rakyat.

Pelayanan publik didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang menjadi tanggung jawab negara. Oleh karena itu, pemerintah wajib mendorong pelayanan publik yang lebih baik. Untuk itu, pada 18 Juli 2009, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Kenyataannya, selama hampir lima tahun UU Pelayanan Publik ditetapkan, masih banyak persoalan terkait pelayanan publik. Misalnya, transportasi yang belum berkualitas, kualitas jalan yang belum memadai bagi kelompok difabel, serta persoalan taman kota yang tidak layak menjadi ruang publik.

Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) pernah merilis satu kajian bahwa pasca ditetapkannya UU Pelayanan Publik pada 2009, hingga Desember 2013 ditemukan lebih dari 95 persen penyelenggara layanan publik yang tidak patuh terhadap UU Nomor 25/2009 itu. Indikator kajian ini berdasarkan lima mandat utama yang termaktub dalam UU Pelayanan Publik yang masih rendah tingkat pelaksanaannya.

Lima mandat tersebut adalah: (1) Penetapan standar pelayanan dan maklumat pelayanan; (2) Mekanisme pengaduan; (3) Penguatan penyelenggara layanan; (4) Partisipasi dan pengawasan masyarakat; dan (5) Pelayanan kelompok berkebutuhan khusus.

Membangun optimisme

Melihat temuan dan kondisi itu, tidak elok apabila kita bersikap pesimistis, bahkan apatis, terhadap masa depan kualitas pelayanan publik. Kita harus melihat potensi yang ada di sekitar yang bisa membantu mendorong layanan publik agar lebih berkualitas.

Di saat pemerintah belum mampu membangun kualitas layanan publik menjadi lebih baik, tidak sedikit kita jumpai entitas kelompok masyarakat sipil secara konsisten mengampanyekan isu-isu pelayanan publik. Misalnya, Koalisi Pejalan Kaki yang konsisten mendorong hak para pejalan kaki, Persatuan Tuna Netra Indonesia yang selalu mengampanyekan hak layanan yang mudah diakses oleh kaum difabel, hingga Asosiasi Toilet Indonesia yang secara serius mendorong perbaikan fasilitas layanan toilet umum.

Di tingkat daerah terdapat banyak komunitas masyarakat sipil yang memberi perhatian penuh dan berupaya mendorong pelayanan publik agar lebih baik. Misalnya, di Malang terdapat Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP) yang memantau penyelenggaraan pendidikan di Sulawesi Tenggara, dan Lombok Tengah, dengan aktivitas kader posyandu untuk mendampingi dan memperbaiki gizi anak.

Di saat pejabat pemerintah banyak dilanda korupsi, entitas masyarakat sipil masih mampu bangkit untuk mendorong perubahan layanan menjadi lebih baik. Mereka bangkit dengan kesadaran penuh dan bekerja karena panggilan jiwa.
Para pegiat komunitas yang tumbuh dan berkembang itu mempunyai mimpi yang sama untuk membangun pelayanan publik yang lebih baik. Pelayanan pendidikan yang adil, pengurusan hak identitas yang cepat dan murah, hingga pelayanan kesehatan yang tidak diskriminatif.

Muara dari perjuangan para pegiat masyarakat sipil ini tidak berbeda dengan cita-cita luhur pendiri bangsa. Sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 alinea keempat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Merawat konsistensi

Aktivitas komunitas masyarakat sipil yang tumbuh dan berkembang tersebut sudah sepatutnya mendapatkan apresiasi publik dan pemerintah. Dengan demikian, mereka dapat menjaga konsistensi para pegiat sosial, menginspirasi publik lebih luas, dan memperluas sikap optimisme bahwa masih ada jalan untuk menuju kesejahteraan.

Dengan demikian, ada beberapa poin alternatif yang harus dilakukan negara untuk merawat konsistensi masyarakat sipil dalam mendorong pelayanan publik menjadi lebih baik.

Pertama, negara tidak usah lagi mengatur komunitas masyarakat sipil dengan dalih akan mengganggu stabilitas politik dan ekonomi. Hal ini antara lain dilakukan dengan menetapkan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pengaturan ini justru akan mengganggu ruang ekspresi dari kehidupan komunitas yang tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, UU Nomor 17 Tahun 2013 seharusnya dibatalkan pemerintah.

Kedua, publik dan pemerintah sepatutnya memberikan ruang dialog kepada mereka untuk berbagi gagasan dan pengetahuan. Gagasan dan pengalaman mereka bisa menginspirasi publik luas dan menghilangkan ”stigma negatif” pemerintah terhadap aktivitas masyarakat sipil.

Momentum Pemilihan Presiden 2014 ini diharapkan mempertimbangkan kedua poin alternatif di atas sebagai salah satu agenda pemerintahan selanjutnya. Dengan demikian, kita bisa memiliki pemerintah yang demokratis, tanpa korupsi, dan mengapresiasi gagasan masyarakat sipil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar