Lika-liku
Kejujuran
Sarlito
Wirawan Sarwono ; Guru
Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 15 Juni 2014
Kamis,
11 Juni 2014 yang baru lalu, saya semimbar dengan Busyro Muqoddas, wakil
ketua KPK (aslinya beliau adalah dosen UII, Yogyakarta) dalam acara “Seminar Intervensi Perilaku Korupsi Sejak
Dini”, yang diselenggarakan oleh mahasiswa-mahasiswa Program Pascasarjana
Psikologi Intervensi Sosial, Fakultas Psikologi UI, di Kampus UI, Depok.
Dalam
ceramahnya yang sangat memikat, ada tiga hal yang menarik perhatian saya yang
ingin saya jadikan masukan untuk tulisan kali ini. Yang pertama adalah
rekaman percakapan antara seorang saksi dan terdakwa sebagai berikut: “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam
warahmatullahi wabarakatuh.” “Mau menyampaikan, Pak.” “Ya, silakan.” “Kami
belum bisa menyiapkan yang 10%, kalau 5% sudah siap.”
“Astagfirullahalazhim... kenapa?” Dan seterusnya.
Yang
menarik di sini adalah digunakannya jargon-jargon agama (yang semuanya
bermakna doa dan kebaikan), dalam percakapan tentang suatu hal yang sudah
jelas dan sudah dipahami oleh yang bersangkutan sebagai hal yang diharamkan
oleh agama itu sendiri. Yang kedua. Dari penelitian terhadap para tersangka,
ditemukan bahwa semua tersangka (termasuk yang sudah terpidana) tanpa
terkecuali melibatkan keluarga dalam perilaku korupsi. Yang pasti anak, dan
istri. Ada kalanya juga termasuk menantu, dan ponakan (keponakan).
Jadi
kalau disingkat AMPI (anak, menantu, ponakan, dan istri). Sekarang ditambah
lagi dengan office boy (OB), jadi AMPIO. Bahkan, ada yang kawin lagi dua atau
tiga istri untuk pencucian uangnya. Nilai-nilai dan gaya hidup keluarga
langsung berubah ketika seseorang terlibat korupsi. Nilai-nilai moral digeser
oleh nilai-nilai yang mengutamakan uang.
Dan yang
ketiga (bukan yang terakhir, karena masih banyak yang menarik, tetapi tidak
saya muat di sini karena keterbatasan halaman) adalah bahwa korupsi di
Indonesia sudah sistemik. Bahkan, ada undang-undang yang dibuat untuk
melegalkan korupsi. Pantaslah jika begitu banyak anggota DPR yang mampu
memiliki properti dan juga sejumlah istri (resmi dan siri) yang melebihi
batasbatas akal dan budi.
Dalam
Ilmu Filsafat Etika, ada teori yang mengatakan bahwa hukum seharusnya
mencerminkan moral. Moral yang tidak dilandasi hukum seperti macan ompong
yang tidak punya gigi. Karena itu, hukum pidana dibuat untuk melindungi
masyarakat dari perbuatan kejahatan yang bertentangan dengan moral.
Undang-Undang
Antiteror dan Undang-Undang Antinarkoba adalah untuk menangkal kejahatan yang
terkait dengan terorisme dan penyalahgunaan obat yang juga amoral. Tetapi
yang lebih mengerikan adalah hukum yang dibuat tanpa landasan moral, karena
bisa digunakan secara sewenangwenang oleh penguasa. Hukum apartheid di Afrika
Selatan (sebelum Nelson Mandela), atau Undang-Undang Perbudakan di Amerika
sebelum Perang Saudara, atau Hukum Tanam Paksa yang dibuat ketika pemerintah Hindia
Belanda masih menguasai Indonesia, adalah contoh dari hukum-hukum yang dibuat
penguasa semata-mata untuk melindungi kepentingannya sendiri.
Masalahnya,
mengapa pejabat- pejabat pemerintah dan anggota-anggota DPR/D di negara
Indonesia yang ber-Pancasila sampai melegalkan berbagai hal yang sebetulnya
kejahatan? Misalnya berbagai peraturan dan perundangan yang mengatur
pertambangan, perikanan, kehutanan, pelayanan masyarakat. Ternyata agama
sudah bukan alat pencegahan, apalagi penanggulangan yang manjur. Terbukti,
pelaku-pelaku korupsi saling menyapa dan berdialog dengan menggunakan
ungkapan-ungkapan agama. Padahal, pelaku-pelaku korupsi di Kementerian Agama
juga pastinya orang-orang yang menguasai ilmu agama tingkat tinggi.
Dulu,
seorang kriminolog bernama Cesarre Lombrosso sangat terkenal dengan teorinya
Delinquento Nato, artinya: kejahatan adalah watak yang dibawa sejak lahir.
Karena itu, wajah penjahat bisa dibedakan dengan mudah dari wajah orang
baik-baik. Misalnya tampang yang seram, berjenggot, berkumis dan beralis
tebal, tulang pipi menonjol. Tetapi melihat penghuni-penghuni rumah tahanan
atau penjara KPK sekarang, kita tidak bisa lagi menemukan wajah- wajah
tipikal Lombrosso itu.
Pencuri-pencuri
uang rakyat yang mencapai nilai ratusan miliar itu berwajah tampan,
terpelajar, dengan jemari yang halus karena tidak pernah dipakai untuk
bekerja keras, bahkan ada yang mantan Putri Indonesia. Karena itu, hari ini
teori Lombrosso tersebut sudah tidak valid lagi. Namun, Dr Busyro justru
menemukan hal yang baru dalam pengamatannya di KPK, yaitu tetap sumber
kejahatan korupsi itu berawal dari keluarga dan bermuara di keluarga juga.
Bukan dalam arti biologik atau genetik, melainkan dalam konteks budaya,
sosial, dan psikologi.
Misalnya,
seorang ayah melarang anaknya memberi tahu bahwa dia sedang ada di rumah,
kepada pak RW yang datang untuk menagih iuran bulanan kebersihan kampung.
Ayah sudah mengajarkan kebohongan, dan sebuah kebohongan akan diteruskan
dengan kebohongan kedua, ketiga, dan seterusnya, sehingga akhirnya yang
bersangkutan bingung sendiri dengan kebohongan-kebohongan yang telah
diciptakannya sendiri (apalagi pada suami-suami yang hobi selingkuh). Pada
gilirannya, anak yang disuruh berbohong itu akan menjadi pembohong juga di
masa depannya.
Jangan
heran kalau kemudian kebohongan (lawan kata dari kejujuran), makin lama makin
membudaya dan sistemik di Indonesia. Apalagi, budaya bohong itu sudah menular
pula ke sekolahsekolah. Pada tahun 2011, di SD Negeri 2, Gadel, Surabaya,
siswa terpandai kelas VI, bernama Alif, dipaksa oleh kepala sekolah untuk
memberi contekan jawaban soal-soal UN kepada teman- temannya sesekolah
(disiapkan guru tertentu untuk bertugas sebagai kurir untuk mendistribusikan
jawaban soal dari Alif ke peserta-peserta ujian yang lain).
Targetnya
memang: seluruh siswa di SD itu harus lulus dengan nilai baik. Pokoknya PGPS
(pandai goblok penilaian sama). Ketika Alif mengadu kepada ibunya dan ibu
melapor kepada kepala sekolah, malah ibu itu diadili oleh Persatuan Orang Tua
Murid dan Guru, dan akhirnya keluarga Alif diusir dari kampung itu, karena
dianggap telah memalukan warga.
Tidak
heran kalau korupsi di Indonesia sekarang menjadi sistemik, dan salah satu
cara untuk mengatasinya bisa dimulai dari pendidikan kejujuran di lingkungan
keluarga. Korupsi harus ditangkal dari hulunya (keluarga), tidak cukup hanya
i kenai sanksi di hilirnya (KPK). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar