Senin, 16 Juni 2014

Lika-liku Kejujuran

Lika-liku Kejujuran

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  15 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Kamis, 11 Juni 2014 yang baru lalu, saya semimbar dengan Busyro Muqoddas, wakil ketua KPK (aslinya beliau adalah dosen UII, Yogyakarta) dalam acara “Seminar Intervensi Perilaku Korupsi Sejak Dini”, yang diselenggarakan oleh mahasiswa-mahasiswa Program Pascasarjana Psikologi Intervensi Sosial, Fakultas Psikologi UI, di Kampus UI, Depok.

Dalam ceramahnya yang sangat memikat, ada tiga hal yang menarik perhatian saya yang ingin saya jadikan masukan untuk tulisan kali ini. Yang pertama adalah rekaman percakapan antara seorang saksi dan terdakwa sebagai berikut: “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” “Mau menyampaikan, Pak.” “Ya, silakan.” “Kami belum bisa menyiapkan yang 10%, kalau 5% sudah siap.” “Astagfirullahalazhim... kenapa?” Dan seterusnya.

Yang menarik di sini adalah digunakannya jargon-jargon agama (yang semuanya bermakna doa dan kebaikan), dalam percakapan tentang suatu hal yang sudah jelas dan sudah dipahami oleh yang bersangkutan sebagai hal yang diharamkan oleh agama itu sendiri. Yang kedua. Dari penelitian terhadap para tersangka, ditemukan bahwa semua tersangka (termasuk yang sudah terpidana) tanpa terkecuali melibatkan keluarga dalam perilaku korupsi. Yang pasti anak, dan istri. Ada kalanya juga termasuk menantu, dan ponakan (keponakan).

Jadi kalau disingkat AMPI (anak, menantu, ponakan, dan istri). Sekarang ditambah lagi dengan office boy (OB), jadi AMPIO. Bahkan, ada yang kawin lagi dua atau tiga istri untuk pencucian uangnya. Nilai-nilai dan gaya hidup keluarga langsung berubah ketika seseorang terlibat korupsi. Nilai-nilai moral digeser oleh nilai-nilai yang mengutamakan uang.

Dan yang ketiga (bukan yang terakhir, karena masih banyak yang menarik, tetapi tidak saya muat di sini karena keterbatasan halaman) adalah bahwa korupsi di Indonesia sudah sistemik. Bahkan, ada undang-undang yang dibuat untuk melegalkan korupsi. Pantaslah jika begitu banyak anggota DPR yang mampu memiliki properti dan juga sejumlah istri (resmi dan siri) yang melebihi batasbatas akal dan budi.

Dalam Ilmu Filsafat Etika, ada teori yang mengatakan bahwa hukum seharusnya mencerminkan moral. Moral yang tidak dilandasi hukum seperti macan ompong yang tidak punya gigi. Karena itu, hukum pidana dibuat untuk melindungi masyarakat dari perbuatan kejahatan yang bertentangan dengan moral.

Undang-Undang Antiteror dan Undang-Undang Antinarkoba adalah untuk menangkal kejahatan yang terkait dengan terorisme dan penyalahgunaan obat yang juga amoral. Tetapi yang lebih mengerikan adalah hukum yang dibuat tanpa landasan moral, karena bisa digunakan secara sewenangwenang oleh penguasa. Hukum apartheid di Afrika Selatan (sebelum Nelson Mandela), atau Undang-Undang Perbudakan di Amerika sebelum Perang Saudara, atau Hukum Tanam Paksa yang dibuat ketika pemerintah Hindia Belanda masih menguasai Indonesia, adalah contoh dari hukum-hukum yang dibuat penguasa semata-mata untuk melindungi kepentingannya sendiri.

Masalahnya, mengapa pejabat- pejabat pemerintah dan anggota-anggota DPR/D di negara Indonesia yang ber-Pancasila sampai melegalkan berbagai hal yang sebetulnya kejahatan? Misalnya berbagai peraturan dan perundangan yang mengatur pertambangan, perikanan, kehutanan, pelayanan masyarakat. Ternyata agama sudah bukan alat pencegahan, apalagi penanggulangan yang manjur. Terbukti, pelaku-pelaku korupsi saling menyapa dan berdialog dengan menggunakan ungkapan-ungkapan agama. Padahal, pelaku-pelaku korupsi di Kementerian Agama juga pastinya orang-orang yang menguasai ilmu agama tingkat tinggi.

Dulu, seorang kriminolog bernama Cesarre Lombrosso sangat terkenal dengan teorinya Delinquento Nato, artinya: kejahatan adalah watak yang dibawa sejak lahir. Karena itu, wajah penjahat bisa dibedakan dengan mudah dari wajah orang baik-baik. Misalnya tampang yang seram, berjenggot, berkumis dan beralis tebal, tulang pipi menonjol. Tetapi melihat penghuni-penghuni rumah tahanan atau penjara KPK sekarang, kita tidak bisa lagi menemukan wajah- wajah tipikal Lombrosso itu.

Pencuri-pencuri uang rakyat yang mencapai nilai ratusan miliar itu berwajah tampan, terpelajar, dengan jemari yang halus karena tidak pernah dipakai untuk bekerja keras, bahkan ada yang mantan Putri Indonesia. Karena itu, hari ini teori Lombrosso tersebut sudah tidak valid lagi. Namun, Dr Busyro justru menemukan hal yang baru dalam pengamatannya di KPK, yaitu tetap sumber kejahatan korupsi itu berawal dari keluarga dan bermuara di keluarga juga. Bukan dalam arti biologik atau genetik, melainkan dalam konteks budaya, sosial, dan psikologi.

Misalnya, seorang ayah melarang anaknya memberi tahu bahwa dia sedang ada di rumah, kepada pak RW yang datang untuk menagih iuran bulanan kebersihan kampung. Ayah sudah mengajarkan kebohongan, dan sebuah kebohongan akan diteruskan dengan kebohongan kedua, ketiga, dan seterusnya, sehingga akhirnya yang bersangkutan bingung sendiri dengan kebohongan-kebohongan yang telah diciptakannya sendiri (apalagi pada suami-suami yang hobi selingkuh). Pada gilirannya, anak yang disuruh berbohong itu akan menjadi pembohong juga di masa depannya.

Jangan heran kalau kemudian kebohongan (lawan kata dari kejujuran), makin lama makin membudaya dan sistemik di Indonesia. Apalagi, budaya bohong itu sudah menular pula ke sekolahsekolah. Pada tahun 2011, di SD Negeri 2, Gadel, Surabaya, siswa terpandai kelas VI, bernama Alif, dipaksa oleh kepala sekolah untuk memberi contekan jawaban soal-soal UN kepada teman- temannya sesekolah (disiapkan guru tertentu untuk bertugas sebagai kurir untuk mendistribusikan jawaban soal dari Alif ke peserta-peserta ujian yang lain).

Targetnya memang: seluruh siswa di SD itu harus lulus dengan nilai baik. Pokoknya PGPS (pandai goblok penilaian sama). Ketika Alif mengadu kepada ibunya dan ibu melapor kepada kepala sekolah, malah ibu itu diadili oleh Persatuan Orang Tua Murid dan Guru, dan akhirnya keluarga Alif diusir dari kampung itu, karena dianggap telah memalukan warga.
Tidak heran kalau korupsi di Indonesia sekarang menjadi sistemik, dan salah satu cara untuk mengatasinya bisa dimulai dari pendidikan kejujuran di lingkungan keluarga. Korupsi harus ditangkal dari hulunya (keluarga), tidak cukup hanya i kenai sanksi di hilirnya (KPK).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar