Senin, 16 Juni 2014

Janji Capres dan Realitas Ekonomi

Janji Capres dan Realitas Ekonomi

A Prasetyantoko  ;   Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta
KOMPAS,  16 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
MENIKMATI debat calon presiden-calon wakil presiden tentang pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial menyadarkan kita pada sederet dilema. Paradoks realitas begitu terasa, baik karena besaran pertumbuhan yang terus terkoreksi maupun kualitasnya yang merosot. Pada triwulan I-2014, ekonomi hanya tumbuh 5,21 persen. Untuk mencapai 5,5 persen pada akhir tahun, perlu kerja ekstrakeras. Rasio gini sebagai indikator ketimpangan meningkat dalam lima tahun terakhir dari 0,39 pada 2009 menjadi 0,41 pada 2013.

Selain tak menjamin pemerataan, pertumbuhan tinggi juga butuh prasyarat berat. Jika tidak, pertumbuhan justru menimbulkan instabilitas. Perekonomian kita mudah kepanasan karena tak punya kapasitas untuk tumbuh cepat. Untuk menjaga pertumbuhan 5,5 persen saja sudah menimbulkan ”ketidakseimbangan” eksternal dan internal. Ketidakseimbangan eksternal terjadi saat defisit neraca transaksi berjalan di atas 2,5 persen produk domestik bruto dan secara internal defisit anggaran di atas 3 persen. Tidak heran jika suku bunga acuan BI relatif tinggi (7,5 persen) dan anggaran kementerian/lembaga dipotong Rp 100 triliun.

Rentannya neraca transaksi berjalan salah satunya karena merosotnya kinerja perdagangan. Setelah surplus pada triwulan I, neraca perdagangan April kembali defisit hingga 1,96 miliar dollar AS. Meski triwulan I neraca perdagangan surplus 3,5 miliar dollar AS, neraca transaksi berjalan tetap defisit 4,19 miliar dollar AS. Sebab, neraca jasa defisit 2,2 miliar dollar AS dan pendapatan bersih (net income) defisit 6,4 miliar dollar AS. Secara umum, defisit neraca transaksi berjalan menunjukkan ketidakmampuan kita tumbuh dengan sumber daya internal sehingga harus menjadi net-borrower dari luar. Kita tak punya kemandirian ekonomi.

Di tengah neraca barang berfluktuasi, neraca jasa dan pendapatan selalu defisit. Defisit terbesar pada neraca pendapatan mencerminkan kewajiban kita membayar dividen, gaji, dan pendapatan lain akibat investasi, baik portofolio maupun investasi asing langsung (FDI) di pasar domestik. Sejak 2011, defisit pendapatan kita tembus 6-7 miliar dollar AS per triwulan. Pada periode 2005-2008 defisitnya 2-3 miliar dollar AS dan periode 2008-2010 defisit 3-4 miliar dollar AS per triwulan. Inilah ”harga” dari peningkatan pertumbuhan kita yang mencapai puncaknya pada 2011, yakni 6,5 persen.

Pelonggaran likuiditas di negara maju (quantitative easing) telah mendorong masuknya modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Kita menikmati investasi asing karena memompa pertumbuhan, tetapi lupa mendorong produktivitas domestik. Pertumbuhan tinggi yang tak disertai kemandirian ekonomi hanya menciptakan ketidakstabilan lewat pola pertumbuhan rapuh yang berkelanjutan. Kita butuh ”revolusi kebijakan”.

Pertama, dari sisi lalu lintas barang harus mendorong daya saing ekspor nonmigas, selain menekan impor bahan baku lewat pembangunan industri penghasil bahan baku domestik. Impor energi dan bahan pangan jelas membebani neraca perdagangan sehingga perlu pembenahan. Kedua, dari sisi neraca jasa, kita kehilangan momentum cukup panjang karena tak pernah membangun sektor jasa secara baik.

Sektor pariwisata yang dikembangkan bersama ekonomi kreatif berbasis budaya berpotensi menekan defisit neraca jasa. Namun, butuh pengembangan infrastruktur kawasan wisata dari berbagai aspek, keamanan, kenyamanan, dan kesehatan wisatawan. Pengembangan jasa asuransi dan pengapalan produk ekspor layak diprioritaskan mengingat peranannya besar dalam menyumbang defisit neraca jasa.

Ketiga, guna menekan defisit pendapatan, dalam jangka pendek perlu insentif untuk meredam repatriasi modal dan menanamkannya kembali di pasar domestik. Namun, dalam jangka panjang, agendanya adalah meningkatkan kapasitas investasi domestik melalui mobilisasi modal domestik (saving) dan penguasaan teknologi. Keempat, untuk meningkatkan transfer diperlukan diferensiasi pengiriman tenaga kerja terampil ke luar negeri. Sejak 2005, besaran current transfer stagnan pada nilai 1 miliar dolar AS. Selama ini kita hanya mengandalkan penerimaan dari uang (remittance) pekerja biasa di luar negeri.

Ada dua hal yang harus segera dikonsolidasikan. Pertama, mengkaji perundang-undangan dan peraturan pemerintah (juga pemerintah daerah) untuk mendorong produktivitas di berbagai lini, mulai dari ketenagakerjaan, daya inovasi, kelembagaan, hingga infrastruktur. Kedua, reformasi anggaran agar punya daya ungkit bagi produktivitas nasional. Subsidi energi hingga Rp 392 triliun (30 persen APBN) tahun ini menjadi warisan pertama yang harus segera dibenahi.

Secara sistematis, subsidi energi harus dialihkan ke subsidi kesehatan, infrastruktur, dan pertanian. Jangka menengah, subsidi energi tak melebihi 10 persen total anggaran. Pekerjaan berat menanti pemerintahan baru nanti.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar