Wanito
Oetomo
Parni Hadi ; Wartawan, Aktivis Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 22 April 2014
Kemarin, 21 April, kita memperingati Hari Kartini. Sekalipun
tidak semeriah setengah abad yang lalu, peringatan hari kelahiran Raden Ajeng
(RA) Kartini sebagai perintis dan tokoh pejuang perempuan Indonesia itu tetap
melestarikan ciri khasnya. Apa itu? Ibu-ibu, remaja putri, dan murid-murid
perempuan mengenakan kain batik panjang dan kebaya dengan atau tanpa konde.
Perempuan berpakaian seperti itu untuk mengingatkan kita pada
penampilan Kartini dan tokoh-tokoh pergerakan perempuan prakemerdekaan
Indonesia. Semangat Kartini meningkatkan derajat dan martabat perempuan
melalui pendidikan telah menginspirasi lahirnya sejumlah organisasi
perempuan.
Satu di antaranya Wanito Oetomo yang artinya perempuan utama.
Sekilas ini kedengaran mirip atau ada hubungannya dengan Boedi Oetomo,
organisasi pergerakan kebangkitan nasional yang didirikan pada 20 Mei 1908?
Anda betul. Wanito Oetomo, kita singkat WO, memang didirikan
para istri anggota Boedi Oetomo (BO). Inisiator WO adalah Nyonya Aisah
Bintang Abdulkadir (1899-1990), istri dokter RM Abdulkadir, pengurus BO
Yogyakarta.
Rumah dr Abdulkadir di Sosrokusuman, Yogyakarta, pada 1921
sering dipakai untuk pertemuan pengurus BO dari Yogyakarta, Batavia
(Jakarta), Bandung, Solo, Semarang, dan Surabaya. Melihat kesibukan dan
keakraban para suami, Aisah Bintang menjadi iri dan ingin berkenalan dengan
istri-istri para bapak yang selalu rapat di rumahnya.
Ia kemudian mengusulkan bapak-bapak mengajak serta istri
mereka di rapat-rapat berikutnya. Usul itu hanya disambut senyuman oleh
bapak-bapak.
Aisah penasaran, lalu mengusulkan langsung kepada pengurus BO
Yogyakarta. Bak gayung bersambut, para istri pengurus BO Yogya mendukung ide
itu.
Bertepatan dengan peringatan Hari Kartini pada 1921, diadakan
pertemuan pertama para istri pengurus BO di Sosrokusuman, mengundang beberapa
perempuan lain. Dari sana, terbentuklah organisasi yang mereka idamkan dengan
nama Wanito Oetomo. Demikian catatan Aisah Bintang Abdulkadir dalam memoarnya
yang kemudian dirangkum dalam buku Secercah Cahaya dari Abad Silam.
Dengan bantuan para suami, ibu-ibu itu dapat belajar
berorganisasi tanpa mempersoalkan politik. Anggota WO masih sedikit jumlahnya
dan cara berpikir mereka masih sederhana. Rapat-rapat berlangsung dalam
bahasa Jawa, demikian pula Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga
(ART) WO disusun dalam bahasa Jawa.
Tujuan WO, seperti tertulis dalam AD-nya, adalah memajukan
kaum perempuan sebagai 1. Seorang perempuan sejati, 2. Istri pendamping
suami, 3. Ibu dan pendidik anak-anaknya, dan 4. Kepala rumah tangga yang
dapat mengatur rumah dan keuangan keluarga dari hasil kerja suami.
Cambuk bagi Kaum
Laki-laki.
Pendirian WO didahului pidato Aisah Bintang yang cukup panjang
dan disiarkan surat kabar Boedi Oetomo, pada 27 April 1921. Hal yang menarik
adalah komentar di bagian akhir pidato yang dimuat lengkap itu.
Untuk menangkap semangat zaman waktu itu, berikut adalah
komentar itu (ejaan disesuaikan).
“Pada penghabisan pidato
itu, riuhlah suara bertepuk tangan dari pihak laki-laki yang sama
mendengarkan dengan sungguh. Mudahan Wanito Oetomo lulus hidupnya dengan
subur dan mendapat sokongan pihak laki-laki yang merasa berkewajiban menuntun
istrinya ke lapang keutamaan. Kemajuan kaum istri adalah menjadi penyokong
atau lebih tegas menjadi cambuk bagi kaum laki-laki. Sungguh benar Raden Ayu
dokter Abdulkadir, sesuatu bangsa itu tidak tersebut maju bila kaumnya perempuan
masih belum maju.”
Ketua WO adalah RA Rio Gondoatmodjo, sedangkan Aisah Bintang,
sang pemrakarsa, terpilih sebagai bendahara. Ia adalah pengurus termuda.
Untuk kemajuan anggotanya dan perempuan pada umumnya, WO
menyelenggarakan berbagai kursus, seperti memasak, menjahit, merajut,
menyulam, membatik, menabuh gamelan, dan menari. Ada pula kursus bahasa Jawa
Kuno, Kawi, tembang, bahasa Indonesia, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris.
Bagi yang belum bisa membaca dan menulis, diadakan kursus buta
huruf. Perlu diingat, para istri waktu itu masih disebut konco wingking
(teman belakang), selalu tinggal di rumah, tidak mudah diajak keluar.
WO mendapat dukungan dari Sultan Hamengkubuwono VIII.
Kebetulan, Abdulakdir adalah dokter keraton Yogyakarta dan yang mengkhitan
BRM Dorojatun yang kemudian menjadi Hamengkubuwono IX. Sastrawan besar India,
Rabindranath Tagore, pun pernah mengunjungi kegiatan WO dan memberikan pujiannya.
Tanggal 22 Desember 1928, WO berhasil mengadakan kongres
perempuan seluruh Indonesia di Yogyakarta. Hadir wakil dari Wanita Taman
Siswa, Wanita Katolik, dan Wanita Aisiyah (Muhammadiyah).
Kongres itu menghasilkan kesepakatan untuk menyatukan seluruh
organisasi perempuan dengan nama Persatoean Perempuan Indonesia (PPI),
selanjutnya menjadi Persatoean Perkoempoelan Isteri Indonesia (PPII).
Organisasi inilah yang mengilhami lahirnya Kowani (Kongres Wanita Indonesia),
kemudian 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu.
Aisah Bintang tidak berpendikikan tinggi, hanya lulusan
sekolah dasar Belanda. Setamat sekolah, ia langsung menikah dengan dr
Abdulkadir yang usianya 23 tahun lebih tua.
Sekalipun demikian, ia berpikiran cemerlang dan berhasil membangun
keluarga yang harmonis, serta menjadi organisator dan aktivis sosial sampai
menjelang tutup usia. Ia mendukung profesi suaminya dengan memproduksi jamu
yang diberi nama Podo Slamete (Sama-sama
Selamat), yang masih diproduksi hingga kini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar