Prahara
atas Keberatan Pajak
Jamal Wiwoho ; Pembantu Rektor II, Guru Besar FH Universitas Sebelas Maret
|
MEDIA
INDONESIA, 23 April 2014
DI tengah-tengah hiruk pikuk
soal rencana koalisi pemilihan presiden pascapemilu legislatif 9 April dan
perpecahan di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), pada Senin (21/4)
petang publik dikejutkan dengan keterangan dari Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang menetapkan Hadi Poernomo (HP) sebagai tersangka. Penetapan tersebut
bersamaan dengan hari ulang tahun HP sekaligus berakhirnya masa tugas (pensiun)
pria kelahiran Pamekasan itu sebagai pegawai negeri sipil di Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK).
Penetapan HP sebagai tersangka memang
tidak ada kaitannya dengan jabatan dia sebagai Ketua BPK. Jika ditelusuri, kasus
tersebut bermula dari keberatan yang diajukan Bank Central Asia (BCA)
terhadap SKP nihil PPh WP badan tahun pajak 1999 sebesar Rp 5,7 triliun, dan
atas SKP nihil tersebut BCA pada Juni 2003 mengajukan keberatan atas pajak penghasilan
badan sebesar Rp375 miliar.
Secara normatif ketentuan keberatan
pajak diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU KUP yang menyatakan wajib pajak dapat
mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak atas suatu surat ketetapan pajak
kurang bayar, SKPKB tambahan, surat ketetapan pajak nihil, surat ketetapan pajak
lebih bayar, dan pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan perundang-undangan perpajakan. Ketentuan Pasal 25 ayat (1) tersebut
selanjutnya juga disandingkan dengan Pasal 36 ayat (1) khususnya huruf d UU
KUP, yakni Dirjen Pajak karena jabatannya atau atas permohonan WP dapat membatalkan
hasil pemeriksaan pajak atau ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang
dilaksanakan tanpa menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan.
Atas dasar tersebut HP yang menjabat
Dirjen Pajak 2002-2004 mengeluarkan keputusan menerima keberatan BCA. Dampak
keputusan tersebut BCA tidak perlu membayar Rp375 miliar ke negara.
Implementasi ketentuan pasal
tersebut memang berpotensi untuk adanya penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan
melawan hukum sehingga merugikan negara Rp375 miliar. Oleh karena itulah,
patut diduga HP melakukan tindak pidana yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 55 KUH Pidana yang berkenaan
dengan penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang
lain sehingga merugikan keuangan negara.
Walau demikian, penetapan dengan UU
Tindak Pidana Korupsi dan KUHP tersebut karena cukup banyak dan kompleksnya cakupan
kejahatan keuangan negara, patut dipertimbangkan juga pengenaan pidana dengan
pasal-pasal UU Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundry)
Adakah aktor lain?
Ada benarnya ungkapan yang
menyatakan pembuktian semua kejahatan keuangan tidak mudah dan hanya orang-orang
tertentu atau badan tertentu yang bisa membongkarnya. Jika kita menitik dari kasus
tersebut, tepat kiranya kehati-hatian KPK hanya ‘untuk sementara’ menetapkan satu
tersangka, yakni HP. Namun, dalam pengembangan perkara keberatan pajak yang
nilainya lebih dari Rp 5 miliar (saat itu) menjadi otoritas Dirjen Pajak, hasil
telaah keberatan dari Direktur PPh, yakni adakah ketidakpatuhan baik formal maupun
material dari wajib pajak dalam proses pengajuan keberatan, harus menjadi
pintu masuk.
Dari hasil telaah tersebut tentulah
bisa tergambar apakah hal itu dilakukan sendiri atau bersama-sama. Dari hasil
kajian penelaah keberatan itulah bisa diketahui apakah telah terjadi
penyalahgunaan kewenangan atau tidak. Rambu yang digunakan sebagai pijakan penelaahan
keberatan itu bisa dilihat dari SE Dirjen
Pajak No SE 68/PJ/1993 tanggal 22 Desember 1993 tentang petunjuk pelaksanaan
ketentuan Pasal 16, 26, dan 36 UUKUP pada angka 11 butir 3.1 yang menyebutkan
keputusan akan keberatan harus diambil berdasarkan pertimbangan yang teliti
dan cermat serta bersifat menyeluruh baik mengenai penilaian terhadap
syarat-syarat keberatan, kebenaran materi, maupun penentuan dasar pengenaan pajak
serta penerapan perundangan-undangan yang berlaku.
Selain itu, tindak pidana
korupsi hampir tidak mungkin berdiri sendiri. Dalam hal ini tentu pihak-pihak
yang terkait dengan pembayaran PPh badan utamanya wajib pajak tersebut sangat
mengetahui siapa saja yang ‘ikut bermain’ dalam pusaran penggerogotan keuangan
negara yang terjadi pada 2004 tersebut.
Penulis meyakini pengenaan HP
sebagai tersangka merupakan bola salju yang akan terus menggelinding. Hal itu
sekaligus menjadi pintu masuk untuk lebih banyak membongkar kasus-kasus penyelewengan
uang negara dari sektor yang paling besar proporsinya sebagai pendapatan
negara, baik dari petugas pajak maupun wajib pajak sendiri.
Sebagai penutup tulisan ini,
soal keberatan pajak ini akankah menjadi prahara karier HP yang cemerlang sewaktu
menjabat Dirjen Pajak dan sejak 26 Oktober 2009 menjadi Ketua BPK yang juga cukup
getol untuk memberikan data audit dan informasi hasil temuan BPK berkaitan
dengan Hambalang dan Bank Century? Hanya waktulah yang akan mampu
menjawabnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar