Politik
Kecemasan
Munawir Aziz ; Peneliti
|
TEMPO.CO,
22 April 2014
Panggung
politik Indonesia saat ini menggunakan kecemasan sebagai lakon. Kecemasan
hadir sebagai metafora untuk membayangkan sebuah bangsa yang gelisah,
masyarakat yang gundah. Bagaimana tidak? Di tengah kepungan janji-janji,
isu-isu tentang gerakan untuk menggagalkan pemilu bergulir. Usaha penggagalan
ini adalah kontestasi antara kekuatan yang saling menyimpan dendam. Dua poros
utama saling bertikai di panggung kekuasaan: mereka yang merebut dan mereka
yang mempertahankan kekuasaan.
Tentu
saja, selalu ada kelompok yang kalah di tengah pertarungan. Selalu ada
kelompok yang berusaha memenangi pertandingan. Tapi politik juga menyimpan
kemungkinan bahwa mereka yang kalah belum tentu menjadi gagal. Dan mereka
yang menang belum tentu merayakan kesuksesan. Artinya apa? Situasi chaos
merupakan penanda bahwa dinamika politik menjadi instrumen utama dalam
perebutan kekuasaan.
Pemilu
legislatif sudah usai digelar pada 9 April lalu. Peta penguasa berubah,
partai yang dalam satu dekade mendominasi kekuasaan harus rela berada di
deretan tengah. Sebaliknya, partai yang pada dua periode pemerintahan kemarin
menjadi oposisi masuk sebagai petarung utama. Selalu saja ada
konsekuensi-konsekuensi dari pertarungan politik. Pada titik inilah
pertarungan sesungguhnya terjadi. Kekuasaan selalu memberi ruang untuk
kompromi. Pada celah inilah koalisi menemukan maknanya.
Satu
dekade kekuasaan partai biru menghasilkan sejarah tentang dinamika masa
reformasi. Mereka yang pernah menjadi panglima saat ini harus rela menjadi
prajurit, bahkan tidak boleh lagi ikut berlaga dalam gelanggang. Mereka yang
tersingkir inilah yang kemudian mengalami stres dan kehilangan spirit.
Bahkan, di sisi lain, mereka menghimpun kekuatan untuk mengacaukan peta
kekuasaan. Inilah akar dari kekisruhan politik dalam lima abad terakhir, dari
masa Majapahit, Demak, Pajang, hingga kekuasaan Mataram. Yang tersingkir akan
berusaha membalas dendam dan mengerahkan keributan. Dan tentu saja, politik
tidak ditujukan bagi orang-orang yang kalah dan menyerah.
Kecemasan
lahir dari upaya untuk mengacaukan keamanan, menggoyang stabilitas politik.
Kecemasan menjadi efek samping dari pertarungan kekuasaan yang tak pernah
berakhir. Kekuatan-kekuatan militer, intelijen, ekonomi, dan kultural menjadi
bagian dari instrumen yang kemudian dipanggungkan sebagai episode politik.
Dari kekuatan itulah politikus saling menyerang dengan menggunakan
amunisinya.
Jika
direnungkan secara mendalam, sejatinya politik adalah alat (wasilah), bukan tujuan (ghayah). Mereka yang salah membedakan
alat dan tujuan akan kehilangan visi. Kemudian, visi yang tak tepat sasaran
akan menghasilkan eksekusi yang gagal. Jika demikian, yang muncul adalah
politikus-politikus tanpa ide. Politikus yang bingung untuk memainkan
perannya, karena gagal menginspirasi, akan memiliki konsep yang tanpa isi dan
kalap dalam eksekusi.
Inilah
wajah politik kita saat ini? Semoga barisan politikus yang menduduki kuasa
legislatif dan eksekutif adalah mereka yang "waras di zaman edan". Bukan sebaliknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar