Rabu, 26 Maret 2014

Mengkaji Istilah C(h)ina dan Republik Rakyat Tiongkok

Mengkaji Istilah C(h)ina dan Republik Rakyat Tiongkok

Novi Basuki  ;   Researcher pada Department of South East Asian Studies
Xiamen University, Tiongkok
JAWA POS,  26 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 Maret lalu menandatangani Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014. Melalui ini, SBY resmi mencabut dan menyatakan tidak berlaku Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 yang mengimbau untuk menggunakan istilah China dan meninggalkan istilah Tionghoa dan Tiongkok.

Dalam pertimbangannya, penggantian istilah Tionghoa/Tiongkok dengan Tjina dinilai telah "menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam relasi sosial yang dialami warga bangsa Indonesia yang berasal dari keturunan Tionghoa". Dengan berlakunya keppres tersebut, ''dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dan atau komunitas Tjina/China/Cina diubah menjadi orang dan atau komunitas Tionghoa dan untuk penyebutan negara People's Republic of China diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok".

Perjalanan Istilah C(h)ina         

Patut diketahui, di Tiongkok sendiri, soal apakah penggunaan istilah C(h)ina mengandung unsur diskriminasi atau tidak masih terus menjadi perdebatan hingga kini.

Para sejarawan Tiongkok mengakui bahwa kata C(h)ina berasal dari bahasa Sanskerta: cinastana dan/atau mahachinastana. Maha bermakna agung. Sthana berarti negara. China diyakini sebagai pelafalan dari kata Qin yang merujuk kepada Dinasti Qin (221 SM-206 SM). Dari kata tersebut, dapat diartikan: Negara Qin yang agung.

Pada zaman Dinasti Tang (618-907), agama Buddha maju pesat. Para biksu banyak menerjemahkan kitab-kitab klasik agama ini yang mereka bawa sepulang belajar dari India. Kata mahachinastana yang tercatat di sana kemudian secara transkripsi diterjemahkan menjadi mokezhina guo. Dalam buku Great Tang Records on the Western Regions yang ditulis pada 646 Masehi, misalnya, terdapat percakapan seperti ini, "Dinasti Tang itu di mana?", "Tang itu di tempat yang oleh India sebut sebagai mokezhina guo".

Belakangan, kata mokezhina guo diperpendek menjadi zhina saja. Liang Qichao (1873-1929), salah seorang tokoh reformis di masa akhir Dinasti Qing, dalam tulisan-tulisannya kerap menggunakan istilah ini. Pelajar-pelajar Tiongkok di Jepang kala itu juga menyertakan kata zhina pada nama perkumpulannya. Lebih dari itu, mereka lebih memilih menyebut dirinya sebagai Zhina Ren (orang Zhina) daripada Qing Ren (orang Qing) sebagai bentuk penolakan terhadap dinasti korup itu.

Penggunaan kata zhina masih terus digunakan sampai beberapa tahun setelah berdirinya Zhonghua Min Guo (Republic of China) pada 1912. Surat Sun Yatsen kepada Perdana Menteri Jepang Okuma Shigenobu pada 1914 tercatat 34 kali menggunakan kata zhina.

Baru ketika terjadi perang Tiongkok-Jepang sebelum dan selama Perang Dunia II, istilah zhina yang digunakan Jepang dianggap mengandung unsur penghinaan karena shina -pelafalannya dalam bahasa Jepang- dianggap berdekatan bunyi dengan huruf Kanji lainnya yang berarti boneka golek dan segera mampus.

Terkait istilah Tjina dan/atau C(h)ina yang dianjurkan penggunaannya melalui SE-06/Pred.Kab/6/1967 apakah mengandung unsur diskriminasi atau tidak, tentu perlu ditempatkan pada situasi yang melatarbelakangi keluarnya surat edaran tersebut. Yakni, meletusnya insiden G 30 S tahun 1965 yang ditengarai dimotori oleh PKI dan kecurigaan terhadap Tiongkok yang turut memberikan sokongan akan pemberontakan tersebut.

Republik Rakyat Tiongkok Kurang Tepat

Bahasa nasional Tiongkok -atau yang lazim dikenal dengan sebutan Putonghua-tidak mengenal istilah Tionghoa. Tionghoa hanya ada pada dialek Hokkien untuk melafalkan kata yang dalam Putonghua disebut zhonghua. Dialek Hokkien dipakai oleh orang-orang yang tinggal di Fujian, salah satu provinsi di pesisir selatan Tiongkok. Masyarakat di luar daerah ini, dapat dipastikan, tidak paham jika zhonghua dilafalkan sebagai Tionghoa mengingat mereka juga punya pengucapan tersendiri untuk itu.

Zhonghua merujuk pada tempat yang dihuni suku Huaxia. Tempat itu berada di sepanjang aliran Sungai Kuning. Peradaban Tiongkok bermula dari sana. Adalah suku Huaxia dan keturunan-keturunannya yang kemudian mendirikan dinasti-dinasti yang sekarang berubah bentuk menjadi sebuah negara bernama Zhonghua Renmin Gongheguo.

Zhonghua Renmin Gongheguo adalah People's Republic of China dalam Putonghua. Jika diterjemahkan per kata, zhonghua sama dengan Tionghoa; renmin berarti rakyat; gonghehuo bermakna republik. Dengan begitu, kalau mengikuti kaidah bahasa yang benar, kurang tepat bila People's Republic of China dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Republik Rakyat Tiongkok. Pasalnya, Tiongkok adalah dialek Hokkien dari zhongguo yang merupakan abreviasi dari Zhonghua Renmin Gongheguo -laiknya Republik Indonesia yang disingkat menjadi RI.

Berdasar itu, Zhonghua Renmin Gongheguo dalam bahasa Indonesia seharusnya disebut sebagai Republik Rakyat Tionghoa atau Tiongkok saja. Sebab, kalau memakai Republik Rakyat Tiongkok, sama halnya dengan menyebut Republik Indonesia sebagai Republik RI. Nah, loh?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar