Air
Bre Redana ; Kolumnis “UDAR RASA” Kompas
|
KOMPAS,
02 Februari 2014
Di kediaman Romo Kirdjito
di lingkungan Paroki Kebonarum, Klaten, Jawa Tengah, kemasan air dalam botol terdapat
di mana-mana. Di ruang tamu, tempat kerja, dapur, dan lain-lain. Air itu
hasil penguraian senyawa lewat proses elektrolisa. Sifat asam dan basa air
dipisahkan. Dalam kadar yang pas, air yang bersifat basa memiliki tabiat
bagus bagi kesehatan. Ia juga mengandung antioksidan, semacam penangkal
racun. Romo Kir kini tak perlu minum banyak obat seperti sebelumnya, semenjak
sehari-hari mengonsumsi air ini.
Ia tularkan teknologi
sederhana itu pada orang-orang sekitarnya. Sekarang, lebih dari 200 rumah tangga
di desanya membuat instalasi sederhana tersebut. Sehari-hari mereka
mengonsumsi air hasil proses elektrolisa—sebuah pelajaran di SMP zaman dulu.
”Di sini air
melimpah-ruah. Kita bikin sendiri air minum, tak perlu beli air kemasan,”
kata Romo Kir. Orang harus melakukan sesuatu seberapa pun kecilnya. Etosnya
produksi, bukan melulu konsumsi.
Terlebih menyangkut air.
Air hujan pun sangat berguna. Natal lalu, dia mengadakan ritual ”Ngunduh
Banyu Udan” (Mengunduh Air Hujan) bersama masyarakat setempat dan teman-temannya
lintas agama. Guyub dan mengharukan.
Semangat memelihara air
inilah yang makin terkikis oleh perkembangan zaman. Seorang teman masa kecil
di Salatiga, kini menjadi pengusaha sumur bor. ”Ini pekerjaan yang mengandung
ironi untuk kota kita,” ucapnya tertawa. ”Dulu air melimpah ruah. Belik (mata
air kecil) terdapat di mana-mana.”
Ia sebut eksistensi kota
kami yang sejatinya tak bisa dipisahkan dengan air. Nama-nama desa bermula
dengan kata ”kali” yang berarti sungai. Kalitaman, Kalioso, Kalibodri, Kalinongko,
dan seterusnya. Desa pacar dulu Banyubiru.
Kini? ”Dibor puluhan meter
pun belum tentu air keluar,” ucapnya.
Bersama saudara
seperguruan bernama Richard Wendt, warga Australia yang tinggal di Bali, kami
juga berbincang-bincang mengenai air. Ia prihatin dengan banjir di Jakarta
yang dia lihat lewat pemberitaan media massa. Selama puluhan tahun dia
menekuni apa yang diistilahkan sebagai permaculture (dari kata permanent agriculture). Asasnya
adalah pengelolaan alam secara berkelanjutan. Alam dipahami secara konkret
berikut sifat-sifatnya.
Menyangkut air, air yang
tumpah dari langit harus dikembalikan kepada bumi. Maka prinsip
pengelolaannya: slow, spread,
sink (lambat, menyebar,
meresap). Sistem pertanian subak di Bali yang berundak-undak misalnya, dibuat
untuk memperlambat aliran air. Air tidak langsung menggelontor dari
ketinggian bukit-bukit.
Di beberapa daerah
pertanian di Jawa Barat hal serupa dilakukan. Bahkan air ditahan dengan
tanaman akar wangi, yang akar-akarnya dipercaya mampu menahan laju air.
Dengan itu air tidak menggelontor deras dengan membawa lapisan tanah yang
berinti kesuburan. Kalau toh ada aliran atau kanal, aliran dibuat lebar,
tanpa dibeton. Selain diharapkan mengalir lambat, air berkesempatan untuk
menyebar dan meresap. Wali Kota Bandung, Pak Ridwan Kamil, tabik untuk usaha
Anda menyemaikan kebudayaan air dengan memasyarakatkan lubang-lubang biopori.
Prinsip spread itulah yang antara lain mendasari
sejumlah aktivisme yang menentang pembangunan dam atau waduk. Salah satu
tokohnya yang terkenal Arundhati Roy dari India. Selain alasan-alasan
ekologis, terdapat sejumlah alasan sosial mengapa kelompok ini menentang
pembangunan dam-dam besar, yang umumnya didukung lembaga-lembaga donor
internasional. Duit besar berpotensi dikorupsi. Apalagi di Indonesia.
Koruptor telah bermutasi menjadi mutant mengerikan.
Anda tahu, sekitar 200
situ di Jabodetabek, lebih dari separuhnya merana tak terurus. Kita
barangkali bisa membangun lagi, entah situ, waduk, laguna, atau nirwana
sekalipun. Soal proyek, kita cepat tanggap. Hanya saja, buat apa membangun
kalau tidak pandai memelihara?
Tubuh kita terdiri dari
unsur air, api, tanah, logam, dan kayu. Modernitas membuat kita makin jauh
dari sifat-sifat alam termasuk unsur-unsur dalam diri sendiri. Mudah-mudahan
bencana segera berlalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar