Memulihkan
Hak-hal Alam
Mimin Dwi Hartono ; Dewan Pengurus Yayasan Wana Mandhira Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 20 Januari 2014
“Banjir disebabkan daya dukung
ekologi yang semakin turun.”
Di saat banjir menerpa
sebagian wilayah Jakarta dan sekitarnya yang berakibat pada tewasnya lima
orang, banjir menerjang Kota Manado. Banjir telah merusak ribuan
rumah, infrastruktur publik, dan menenggelamkan wilayah permukiman.
Lingkungan alam berontak karena hak-haknya telah dilanggar oleh manusia (environment rights).
Ribuan orang mengungsi di tempat
pengungsian sementara dengan fasilitas secukupnya. Sampai dengan 16 Januari
2013, 13 orang dikabarkan meninggal di Manado. Dampak banjir lainnya adalah
munculnya berbagai penyakit yang diderita para pengungsi, minimnya
ketersediaan air bersih dan sanitasi, serta pangan yang terbatas.
Banjir disebabkan daya dukung
ekologi (carrying capacity) yang
semakin turun akibat alih fungsi lahan tak terkendali, baik untuk rumah,
gedung perkantoran, kawasan bisnis, dan perkebunan. Hal ini diperparah
minimnya kapasitas masyarakat dan pemerintah dalam mengantisipasi dan
memitigasi banjir. Jika kapasitas masyarakat dan pemerintah memadai, dampak
banjir bisa diminimalkan, dan sebaliknya.
Banjir, khususnya di Jakarta,
sudah sering terjadi, namun kita selalu tidak mau belajar dari pengalaman dan
kesalahan.
Bahkan, ada yang menganggap banjir
sebagai takdir dan mengambing-hitamkan alam dan curah hujan sebagai
penyebabnya. Padahal, banjir tidak serta-merta terjadi, pasti melewati sebuah
proses sebab akibat yang bisa diidentifikasi sejak awal untuk menyusun
langkah-langkah penanggulangan.
Curah hujan yang tinggi
menjadi salah satu early warning system
akan potensi terjadinya banjir. Namun, hal tersebut tidak menjadi soal ketika
daya dukung alam terpenuhi, misalnya kapasitas sungai yang cukup dan kawasan
resapan air yang memadai.
Saat ini, yang terjadi adalah
sebaliknya, kapasitas sungai dan kawasan resapan telah berkurang drastis,
sehingga air mencari jalan sendiri untuk bergerak ke tempat yang lebih
rendah.
Air pun berontak karena
"rumahnya" telah dirusak oleh manusia, digantikan dengan rumah,
gedung, mal, kantor, dan sebagainya. Alhasil, air menduduki kawasan yang
dihuni manusia, untuk "merebut" kembali hak-haknya yang telah
diabaikan atau direbut manusia untuk pembangunan.
Pelanggaran terhadap hak-hak
lingkungan ini diperparah kebijakan pemerintah yang melegitimasi perubahan
tata ruang. Syarat minimal 30 persen kawasan resapan tidak terpenuhi, bahkan
di Jakarta hanya tinggal 9 persen. Alih fungsi lahan di Puncak diperkirakan
seluas 10.000 ha per tahun.
Jika manusia punya hak untuk
membangun dan meningkatkan kesejahteraan, lingkungan alam pun punya hak,
yaitu untuk mencari keseimbangan diri dan berkembang.
Banjir, tanah longsor, dan
bencana alam lainnya adalah bentuk dari "protes" alam atas ulah
manusia yang semena-mena terhadapnya. Berbeda dengan manusia, ketika
hak-haknya dilanggar bisa mengadu dan menempuh proses secara hukum, maka lain
dengan alam yang tidak mampu bersuara (voiceless).
Alam tidak bisa bersuara
untuk dirinya sendiri. Menjadi tugas manusia untuk membela hak-hak lingkungan
alam ketika terjadi perusakan. Khususnya, menjadi kewajiban pemerintah untuk
melindungi dan membela alam.
Di dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup,
organisasi lingkungan diberikan hak untuk mewakili suara alam (legal standing). Yurisprudensi ini pernah terjadi sekitar 1980-an
ketika majelis hakim menyetujui legal standing Walhi yang menggugat
pemerintah atas nama lingkungan alam.
Alam di Jakarta dan sekitarnya,
serta kota-kota lain, telah rusak parah. Ibarat barang, perlu diperbaiki
secara menyeluruh dan mendalam, tidak bisa sepotong-sepotong. Perlu upaya dan
tindakan sistematis untuk memulihkan hak-hak lingkungan alam. Berikan hak
lingkungan alam secara proporsional sehingga antara pembangunan dan
kelestarian alam berjalan secara harmonis.
Banjir adalah pertanda bahwa alam
telah rusak. Oleh karenanya, harus diidentifikasi komponen-komponen penting
dari alam untuk pemulihannya, di antaranya mengembalikan kawasan resapan air
menjadi minimal 30 persen.
Pemerintah harus serius dan tegas
menindak pelanggaran tata ruang, membongkar dan menuntut pihak yang telah
membangun di kawasan resapan air. Pembongkaran vila-vila di Puncak baru
langkah awal, harus ada tindakan yang lebih besar lagi. Pengembalian kawasan
resapan harus dilakukan di hulu dan hilir secara terintegrasi.
Pendekatan berbasis ekosistem
layak diterapkan untuk melihat sebab dan akibat banjir dalam satu kesatuan
ruang ekologi dengan menghilangkan sekat administrasi, politik, sosial, dan
ekonomi. Ekosistem Jakarta adalah satu ruang dengan ekosistem Bogor, Puncak,
dan Cianjur, sehingga saling bergantung dan memengaruhi.
Kembalikan hak
lingkungan yang berada di dalam kesatuan ekosistem yang sama, jangan pisahkan
mereka atas dasar batas kewilayahan dan egopolitik.
Lebih lanjut adalah menertibkan
permukiman di bantaran sungai melalui langkah-langkah relokasi ke hunian yang
lebih aman dan nyaman. Dengan demikian, kapasitas sungai akan terpulihkan
untuk menampung air dan hak air untuk mempunyai “rumah” sebagai penampungan
dan alur sungai untuk mengalir tersedia secara memadai.
Banjir yang selalu berulang
seharusnya menyadarkan kita bahwa melestarikan lingkungan adalah sebuah
tuntutan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Banjir bukan fenomena alam
an-sich, tetapi buah dari keserakahan manusia dan kebijakan negara yang telah
mengabaikan hak-hak lingkungan alam yang mempunyai hak untuk berkembang dan
mencari keseimbangan diri. Jika kita menginginkan terpenuhinya hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat, kita wajib menghormati hak-hak alam agar berfungsi
secara baik untuk keberlanjutan kehidupan manusia dan pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar