Sabtu, 25 Januari 2014

Kontroversi Asuransi Pertanian

Kontroversi Asuransi Pertanian

Darby Jusbar Salim   ;    Konsultan Keuangan dan Perbankan yang Banyak Bergerak di Sektor Pedesaan 
KOMPAS,  24 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
BARU-baru ini, Menteri Pertanian mencanangkan akan memberikan asuransi terhadap sektor tanaman pangan terkait dengan risiko gagal panen. Pesertanya adalah para petani padi dengan luas garapan kurang dari 2 hektar. Menurut Mentan, langkah ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Pasal 27, 28, dan 29 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Dari premi total Rp 180.000 per hektar (ha), petani hanya membayar Rp 36.000 dan sisanya disubsidi pemerintah. Menteri Pertanian (Mentan) telah mengalokasikan anggaran Rp 150 miliar untuk membayar premi lahan padi seluas 1 juta ha.

Apakah tindakan ini bermanfaat, sejauh mana pengaruhnya terhadap peningkatan produksi pangan? Mengapa hanya petani padi yang diasuransikan, apakah petani tanaman lain dianggap kurang penting?

Berdasarkan data Pusat Data, Statistik, dan Informasi Kementerian Pertanian (Pusdatin Kementan), total lahan panen pada tahun 2012 adalah 225,3 juta ha, terdiri dari tanaman pangan 19,9 juta ha dan hortikultura 205,4 juta ha. Adapun tanaman padi 13,5 juta ha, hanya 5,97 persen dari total lahan panen seluruhnya.

Yang sangat besar pangsanya adalah tanaman rempah, seperti jahe dan kunyit, sekitar 164,14 juta ha atau 79,9 persen; tanaman hias sekitar 17,2 persen; jagung dan kacang-kacangan sekitar 5,1 juta ha atau 2,3 persen. Adapun yang lain, seperti umbi-umbian, sayur-sayuran, dan buah-buahan, ketiga kelompok ini rata-rata sekitar 1,3 juta ha atau kontribusinya 0,6 persen.

Mengapa hanya petani padi yang dilindungi? Bukan hanya petani padi yang pernah gagal panen, petani sayuran juga, apalagi seperti yang dialami petani bawang merah di Brebes beberapa waktu lalu.

Petani sayuran seperti kol pun berisiko tinggi gagal panen. Belum lagi petani jagung dan ubi yang juga termasuk komoditas pangan.

Pahami masalah

Sebenarnya yang perlu dipahami Mentan adalah penyebab terjadinya gagal panen. Umumnya gagal panen banyak disebabkan oleh iklim, terlalu kering, atau juga serangan hama.

Kedua hal ini bisa diatasi bila pihak Kementan mau bekerja lebih keras dan tidak sekadar mencari jalan pintas, termasuk memanfaatkan Litbang Pertanian yang banyak membuat penelitian bersifat terapan.

Dalam hal mengatasi kekeringan, pihak Kementan seharusnya mencari solusi dalam hal teknologi pengadaan air untuk daerah-daerah yang sering dilanda kekeringan.
Bila mampu mengelola, Indonesia sebenarnya tidak perlu kekurangan air karena setiap tahun setidak-tidaknya ada enam bulan musim hujan. Apakah kita harus belajar dari Timur Tengah yang mampu melakukan penghijauan di area berpasir?
Demikian pula halnya dengan masalah serangan hama, yang berpangkal pada teknis budidaya dan ketersediaan obat pembasmi hama.

Maka yang seharusnya dilakukan Mentan adalah menyusun strategi budidaya yang jelas dalam pengembangan sektor pertanian.

Paling tidak ada tiga titik pengembangan yang harus diperhatikan dalam budidaya tanaman pangan ataupun hortikultura. Pertama, saat persiapan musim tanam harus ada jaminan ketersediaan bibit, pupuk, dan obat- obatan, dan petani tidak kesulitan mendapatkannya—dengan harga wajar.

Kedua, jaminan yang sama selama masa pemeliharaan untuk ketersediaan pupuk dan obat-obatan. Ketiga adalah ketika panen. Apakah harga yang diberlakukan kepada mereka cukup wajar dan dapat memberikan keuntungan yang memadai.

Bila jawabannya ”ya”, pada musim tanam berikutnya petani akan bergairah mempersiapkan tanamannya. Hal lain yang tidak kalah penting adalah pendampingan intensif dari petugas penyuluh lapangan (PPL).

Apakah masalah-masalah ini sudah ditangani dengan benar oleh Kementan? Kita ingat pada masa Orde Baru, sektor pertanian mengalami kejayaan.

Ketika itu seluruh titik pengembangan ditangani sebaik-baiknya oleh pemerintah. Pengadaan pupuk mudah dan murah, demikian pula obat-obatan, dan pendampingan intensif oleh PPL serta imbal harga yang wajar terhadap produk yang dihasilkan petani. Bila hal ini ditangani dengan benar, kemungkinan besar gagal panen dapat ditekan.

Eskapisme

Asuransi untuk lahan padi bukan jalan yang tepat karena sekadar eskapisme dari ketidakberdayaan. Ini merupakan upaya menutupi ketidakmampuan Kementan dalam melihat dan menangani persoalan yang dihadapi sektor pertanian.

Bahkan dengan tindakan ini, semakin tampak Mentan beserta jajarannya tidak mempunyaimasterplan yang jelas dalam mengembangkan sektor yang menjadi tanggung jawabnya.

Bila petani padi diberi asuransi, tentunya akan menimbulkan kecemburuan di kalangan petani lainnya. Padahal petani lainnya juga merasakan bagaimana gagalnya panen akibat serangan hama ataupun iklim yang sangat kering.

Artinya, Mentan telah melakukan diskriminasi terhadap petani lainnya. Inilah kontroversi pertanian itu. Asuransi pertanian bukan terapi yang tepat untuk pengembangan petani.

Dengan demikian, asuransi pertanian tidak diperlukan dan dana yang tersedia bisa digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat lainnya.

Dana seperti ini sangat rentan untuk disimpangkan, apalagi ini menjelang Pemilu 2014. Mentan hendaknya menghentikan kebijakannya yang menjurus ke malapraktik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar