Senin, 20 Januari 2014

Dalam Pilihan, Selalu Ada Alasan

Dalam Pilihan, Selalu Ada Alasan

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  20 Januari 2014
                                                                                                                       


TAHUN 2014 merupakan tahun politik, begitu kesimpulan seluruh media, politikus, dan sebagian masyarakat yang melek politik. Namun, menurut saya, setiap tahun bahkan setiap hari, selalu ada saja nuansa politik yang menjadi sumber berita sekaligus sumber masalah. Tepat di tahun politik ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menulis buku putih, setidaknya dari kover buku yang berwarna putih berjudul Selalu Ada Pilihan. Dapat diduga, hingga launching bukunya dilakukan di tengah Jakarta yang sedang dilanda banjir pun, tetap ada alasan yang diberikan SBY; Gedung JCC hanya tersedia hari itu.

Apa yang membedakan pilihan dengan alasan? Kata ‘selalu ada pilihan’ secara psikologi bahasa menandakan bahwa seseorang hanya memiliki kemampuan untuk menghadapi sebuah kejadian atau peristiwa yang sudah terjadi, kemudian dia memilih respons yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi tertentu. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kemampuan itu sesungguhnya merupakan naluri yang selalu dimiliki setiap orang, yaitu menetralisasi akibat (effect) dari suatu peristiwa atau kejadian. Yang jarang ialah kemampuan seseorang untuk berpikir soal sebab (cause) sebuah kejadian, agar bisa mengantisipasi peristiwa yang tidak diinginkan di masa depan. Dalam konteks itulah, kebutuhan seorang pemimpin yang bisa membuat program kebijakan yang dapat mengantisipasi kejadian buruk diperlukan.

Dalam dunia pendidikan, setiap pilihan memang seharusnya diikuti sebuah alasan. Begitulah proses belajar-mengajar seharusnya terjadi. Namun, higher order thinking hampir tidak muncul dalam proses pendidikan, karena anak-anak kita tidak pernah di-bombong, bukan dibimbing seperti selama ini terjadi di sekolah, untuk menjadi anak-anak yang berani mengantisipasi apa yang akan terjadi pada kehidupan mereka di masa datang. Dalam proses membimbing, anak-anak selalu dalam kondisi yang konsumtif, menunggu instruksi dan arahan dari para guru mereka. Padahal, proses pendidikan seharusnya dapat menumbuhkan semangat dan keberanian anak untuk melakukan praktik-praktik kekaryaan yang kreatif dan produktif. Karena itulah mereka membutuhkan ‘pembombongan’ dari para guru yang juga berani dan kreatif.

Di tengah hiruk pikuk tahun politik seperti sekarang ini, ada baiknya kita mengingat kembali apa janji-janji SBY ketika masa kampanye empat tahun lalu, yang nampaknya tidak cukup berani ditulis secara lugas dalam Selalu Ada Pilihan. Tendensi kebijakan pendidikan pada era SBY seperti lupa akan keharusan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat, yang dalam bahasa kebijakan SBY disebut sebagai usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat, memperkuat proses demokratisasi, serta berkeadilan. Penting dan pastilah tidak mudah untuk dirumuskan visi pendidikan yang mengacu pada tiga kebutuhan tersebut, yang antara fokus dan lokus ketiganya dalam praktik kebijakan pendidikan sering kali kabur dan dikaburkan birokrasi.

Kegaduhan politik

Ini artinya, jangan-jangan, SBY memang tidak memiliki niat yang kuat dalam menjalankan keinginannya tersebut dalam bentuk program yang terencana dengan baik dan dilakukan secara jelas, termasuk di bidang pendidikan. Selama periode SBY, yang banyak muncul ialah kegaduhan politik yang tidak sehat. Sehingga masyarakat seperti sedang diajak menonton dagelan politik tingkat tinggi. Dari klaim satu ke bentuk klaim lainnya, dari sesumbar yang satu ke sesumbar lainnya dan berujung pada sikap saling menjelekkan, menuding, dan tidak sedikit rasa fi tnah. Jika kita mau jujur, sebenarnya perilaku para penyelenggara negara di era SBY seperti sedang menggambarkan tingkat pendidikan dan emosional bangsa ini sesungguhnya.

Problem banyaknya partai politik (parpol) peserta pemilu tahun ini pasti akan mengganggu banyak rencana kebijakan, apalagi jika presiden terpilih nanti tidak didukung koalisi besar dan kuat yang dapat menjamin program-programnya direalisasikan. Belum lagi jika parpol itu sendiri juga tidak mempunyai platform yang jelas dan terukur untuk merealisasikan program pendidikan nasional. Dengan begitu, kesulitan selanjutnya pasti akan terjadi, yaitu pecahnya konsentrasi birokrasi atau eksekutif dalam menjalankan program-program yang berorientasi pada peningkatan kualitas. Sebab baik bagi para politisi maupun capres/cawapres, mengobral janji atau berbicara tidak memiliki beban ongkos (murah), sebaliknya nanti ketika mereka terpilih mereka akan ditunggangi beban politis yang sangat berat dan berongkos mahal.

Karena itu, di sisa masa kepemimpinannya, ada baiknya SBY mengupayakan semacam konsensus nasional bidang pendidikan agar apa yang sudah dilakukan sejauh ini tidak akan diubah kembali oleh pemerintahan mendatang. Contoh paling hangat dari isu yang berkembang dalam pendidikan ialah masalah kurikulum 2013 dan pelaksanaan ujian nasional. Melacak kedua isu itu dan mengembangkan pendekatan yang kompromistis dan berkelanjutan merupakan bagian penting dari sebuah konsensus. Konsensus dalam bidang pendidikan sangat diperlukan dalam rangka mengetahui harapan (expectations) masyarakat terhadap suatu isu dan menyepakati (consensus) bagaimana melakukannya, dengan tidak lupa memberi peran (tasks) kepada mereka untuk terlibat secara langsung dalam memecahkan masalah tersebut.

Apa yang menjadi janji-janji para politikus dan birokrat dalam menangani kedua isu pendidikan tersebut dapat dievaluasi dan diawasi secara bersama. Tinggal tugas dan peran politisi dan birokrat menunjukkan sumber daya (resources) yang memungkinkan sebuah isu dapat diselesaikan secara bersama-sama (Charles Perrow, 1979).

Dengan cara itu pemilihan presiden di masa depan mungkin akan memiliki nilai tambah karena mereka akan menghargai peran serta masyarakat. Selain itu, kebutuhan terhadap jaminan keberlangsungan program dalam bidang pendidikan tidak dilihat SBY dalam konteks pilihan, tapi memperlakukan kedua isu tersebut sebagai alasan ketercapaian kualitas pendidikan Indonesia di masa depan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar