Dalam
Pilihan, Selalu Ada Alasan
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Januari 2014
TAHUN 2014 merupakan tahun
politik, begitu kesimpulan seluruh media, politikus, dan sebagian masyarakat
yang melek politik. Namun, menurut saya, setiap tahun bahkan setiap hari,
selalu ada saja nuansa politik yang menjadi sumber berita sekaligus sumber
masalah. Tepat di tahun politik ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menulis buku putih, setidaknya dari kover buku yang berwarna putih berjudul
Selalu Ada Pilihan. Dapat diduga, hingga launching bukunya dilakukan di
tengah Jakarta yang sedang dilanda banjir pun, tetap ada alasan yang
diberikan SBY; Gedung JCC hanya tersedia hari itu.
Apa yang membedakan pilihan dengan
alasan? Kata ‘selalu ada pilihan’ secara psikologi bahasa menandakan bahwa
seseorang hanya memiliki kemampuan untuk menghadapi sebuah kejadian atau
peristiwa yang sudah terjadi, kemudian dia memilih respons yang tepat dan
sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi tertentu. Dalam bahasa yang lebih
sederhana, kemampuan itu sesungguhnya merupakan naluri yang selalu dimiliki
setiap orang, yaitu menetralisasi akibat (effect) dari suatu peristiwa atau
kejadian. Yang jarang ialah kemampuan seseorang untuk berpikir soal sebab
(cause) sebuah kejadian, agar bisa mengantisipasi peristiwa yang tidak
diinginkan di masa depan. Dalam konteks itulah, kebutuhan seorang pemimpin
yang bisa membuat program kebijakan yang dapat mengantisipasi kejadian buruk
diperlukan.
Dalam dunia pendidikan, setiap
pilihan memang seharusnya diikuti sebuah alasan. Begitulah proses belajar-mengajar
seharusnya terjadi. Namun, higher order
thinking hampir tidak muncul dalam proses pendidikan, karena anak-anak
kita tidak pernah di-bombong, bukan dibimbing seperti selama ini terjadi di
sekolah, untuk menjadi anak-anak yang berani mengantisipasi apa yang akan
terjadi pada kehidupan mereka di masa datang. Dalam proses membimbing,
anak-anak selalu dalam kondisi yang konsumtif, menunggu instruksi dan arahan
dari para guru mereka. Padahal, proses pendidikan seharusnya dapat
menumbuhkan semangat dan keberanian anak untuk melakukan praktik-praktik
kekaryaan yang kreatif dan produktif. Karena itulah mereka membutuhkan
‘pembombongan’ dari para guru yang juga berani dan kreatif.
Di tengah hiruk pikuk tahun
politik seperti sekarang ini, ada baiknya kita mengingat kembali apa
janji-janji SBY ketika masa kampanye empat tahun lalu, yang nampaknya tidak
cukup berani ditulis secara lugas dalam Selalu Ada Pilihan. Tendensi
kebijakan pendidikan pada era SBY seperti lupa akan keharusan yang
berorientasi pada kebutuhan masyarakat, yang dalam bahasa kebijakan SBY
disebut sebagai usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat, memperkuat proses
demokratisasi, serta berkeadilan. Penting dan pastilah tidak mudah untuk
dirumuskan visi pendidikan yang mengacu pada tiga kebutuhan tersebut, yang
antara fokus dan lokus ketiganya dalam praktik kebijakan pendidikan sering
kali kabur dan dikaburkan birokrasi.
Kegaduhan politik
Ini artinya, jangan-jangan, SBY memang
tidak memiliki niat yang kuat dalam menjalankan keinginannya tersebut dalam
bentuk program yang terencana dengan baik dan dilakukan secara jelas, termasuk
di bidang pendidikan. Selama periode SBY, yang banyak muncul ialah kegaduhan politik
yang tidak sehat. Sehingga masyarakat seperti sedang diajak menonton dagelan politik tingkat
tinggi. Dari klaim satu ke bentuk klaim lainnya, dari sesumbar yang satu ke
sesumbar lainnya dan berujung pada sikap saling menjelekkan, menuding, dan
tidak sedikit rasa fi tnah. Jika kita mau jujur, sebenarnya perilaku para
penyelenggara negara di era SBY seperti sedang menggambarkan tingkat
pendidikan dan emosional bangsa ini sesungguhnya.
Problem banyaknya partai politik
(parpol) peserta pemilu tahun ini pasti akan mengganggu banyak rencana
kebijakan, apalagi jika presiden terpilih nanti tidak didukung koalisi besar
dan kuat yang dapat menjamin program-programnya direalisasikan. Belum lagi
jika parpol itu sendiri juga tidak mempunyai platform yang jelas dan terukur
untuk merealisasikan program pendidikan nasional. Dengan begitu, kesulitan
selanjutnya pasti akan terjadi, yaitu pecahnya konsentrasi birokrasi atau
eksekutif dalam menjalankan program-program yang berorientasi pada
peningkatan kualitas. Sebab baik bagi para politisi maupun capres/cawapres,
mengobral janji atau berbicara tidak memiliki beban ongkos (murah),
sebaliknya nanti ketika mereka terpilih mereka akan ditunggangi beban politis
yang sangat berat dan berongkos mahal.
Karena itu, di sisa masa
kepemimpinannya, ada baiknya SBY mengupayakan semacam konsensus nasional
bidang pendidikan agar apa yang sudah dilakukan sejauh ini tidak akan diubah
kembali oleh pemerintahan mendatang. Contoh paling hangat dari isu yang
berkembang dalam pendidikan ialah masalah kurikulum 2013 dan pelaksanaan
ujian nasional. Melacak kedua isu itu dan mengembangkan pendekatan yang
kompromistis dan berkelanjutan merupakan bagian penting dari sebuah
konsensus. Konsensus dalam bidang pendidikan sangat diperlukan dalam rangka
mengetahui harapan (expectations)
masyarakat terhadap suatu isu dan menyepakati (consensus) bagaimana melakukannya, dengan tidak lupa memberi peran
(tasks) kepada mereka untuk
terlibat secara langsung dalam memecahkan masalah tersebut.
Apa yang menjadi janji-janji para
politikus dan birokrat dalam menangani kedua isu pendidikan tersebut dapat
dievaluasi dan diawasi secara bersama. Tinggal tugas dan peran politisi dan
birokrat menunjukkan sumber daya (resources)
yang memungkinkan sebuah isu dapat diselesaikan secara bersama-sama (Charles Perrow, 1979).
Dengan cara itu pemilihan presiden di masa
depan mungkin akan memiliki nilai tambah karena mereka akan menghargai peran
serta masyarakat. Selain itu, kebutuhan terhadap jaminan keberlangsungan
program dalam bidang pendidikan tidak dilihat SBY dalam konteks pilihan, tapi
memperlakukan kedua isu tersebut sebagai alasan ketercapaian kualitas
pendidikan Indonesia di masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar