Selasa, 21 Januari 2014

Banjir dan Politik-Ekonomi Keadilan Sosial

Banjir dan Politik-Ekonomi Keadilan Sosial

Fachry Ali   ;   Salah satu pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)
KOMPAS,  21 Januari 2014
                                                                                                                        


SEJAK Sabtu (18/1/2014) pagi hingga sore, televisi meliput banjir Jakarta dan Bekasi. Dari berbagai pemandangan, dua hal tampak menonjol: jembatan yang digenangi air (seperti terlihat di Kampung Pulo, Jatinegara) dan separuh gantungan pakaian terendam banjir (seperti terlihat di Pejaten, Pasar Minggu).

Sebagai ”anak Betawi” yang besar di Ragunan, Pasar Minggu, sejak 1960-an saya melihat banjir yang melanda beberapa wilayah seperti Kampung Melayu atau Pondok Karya (dekat Mampang) dan beberapa tempat lainnya adalah pemandangan biasa. Namun, banjir di Pejaten adalah sesuatu yang tak berpreseden. Karena korban banjir pada umumnya kalangan miskin, yang di Jakarta hingga 18 Januari sore telah menelan tujuh korban dan 10.000 orang mengungsi, semua ini menimbulkan pertanyaan tentang strategi pembangunan dan keadilan sosial.

Kecuali tahun-tahun belakangan ini melanda beberapa kawasan mewah seperti Kelapa Gading atau kawasan Menteng, banjir di Indonesia pada esensinya mengungkap ketakadilan struktural: efek destruktif strategi pembangunan yang didasarkan pada logika ekonomi penawaran dan permintaan. Karena keuntungan ekonomis aktivitas penduduk  di wilayah maju (kota) bersifat segera menghasilkan dan nyata, sebagian besar sumber daya negara tertuju pada pembangunan infrastruktur dan kelengkapan hidup di daerah itu.

Sementara itu, wilayah terbelakang (pedesaan dan pedalaman) menerima sumber daya negara dalam bentuk tetesan.

Menunggu berjam-jam penyeberangan rakit di Kecamatan Gelombang, Aceh Selatan, pada 1987, kepada saya, kepala Bapeda kabupaten ini mengeluhkan minimnya penduduk di wilayah itu yang menyebabkan kecilnya alokasi dana Bappenas untuk pembangunan infrastruktur.

Pemisahan wilayah modal

Hasil logika strategi pembangunan ini adalah sebuah pemisahan wilayah modal yang radikal. Ini bukan saja menandai ketimpangan fasilitas dan kesempatan antara wilayah kota dan desa serta kota produktif secara ekonomi dan yang tak produktif, melainkan juga memengaruhi watak mobilisasi penduduk.

Tanpa disengaja, strategi pembangunan ini telah berpihak kepada kaum pemodal dan mendorong ketakmerataan distribusi kekayaan serta kesempatan (untuk berkembang). Maka banjir, dalam konteks struktural, adalah efek destruktif investasi dan ekspansi kapital atas wilayah maju tanpa tanggung jawab dan perencanaan matang.

Untuk memahaminya, kita harus melihat dua hal pokok dalam sejarah: ”keluhan” sosiolog Belanda WF Wertheim dalam Indonesian Society in Transition (1956) tentang kecilnya jumlah penduduk kota Indonesia bahkan sampai dengan 1930-an dan 1870 sebagai tahun decisive dalam sejarah ekspansi kapital.

Sementara ”keluhan” Wertheim terkait dengan lambannya modernisasi dan kesadaran nasionalisme rakyat Indonesia, sejarawan Inggris Furnivall dalam Netherlands India: A Study of Plural Economy (1944) mencatat 1870 sebagai era kemenangan pandangan ”pasar” atas ekonomi dipimpin negara di parlemen Belanda. Keduanya, seperti akan dilihat, membantu memahami fenomena banjir dewasa ini.

Tahun 1870 bukan saja berkaitan dengan pembubaran Sistem Tanam Paksa yang dimulai sejak 1830, melainkan dimulainya gelombang kehadiran kapital swasta raksasa ke Hindia Belanda atas dasar ekonomi perkebunan dan ekstraktif. Sesuai dengan sifat ekonomi itu, penanaman modal ”global” itu terkonsentrasi di wilayah pedesaan, bahkan di kawasan hutan belantara. Secara struktural, proses ini menciptakan kutub-kutub kekuasaan otonom di tangan pemilik atau manajer sistem perkebunan dan industri pertambangan di kawasan pedalaman jauh dari pusat administrasi pemerintahan.

Untuk kebutuhan administrasi dan pelayanan ekspor-impor dan yang berkaitan dengan itu, kaum kapitalis yang berpusat di pedalaman membutuhkan kota. Dengan demikian, kota adalah efek belaka ekspansi kapital pedalaman. Dan, ini penting, kota hanya berfungsi sebagai ”pelayan”.

Tak mengherankan, catat sejarawan Australia Anthony Reid dalam The Blood of the People (1979), para manajer perkebunan di Sumatera Utara memandang rendah pejabat praja kolonial yang mengatur pemerintahan. Ini sekaligus menjelaskan mengapa pertumbuhan penduduk kota-kota berlangsung lamban. Karena modal berada di pedalaman, kota tak menawarkan insentif material bagi migrasi penduduk desa. Dengan kata lain, kedatangan modal global pertama sejak 1870 itu justru menyebar di pedalaman, bukan di pusat administrasi pemerintahan.

Karena Revolusi Nasional (1945-1949), ”politik nasionalisasi” (1957-1958), dan ”politik isolasi” (1963-1966), modal global tak singgah dalam Indonesia merdeka. Hanya dalam periode Orde Baru (1967-1998) negara (kembali) mampu menarik modal global. Namun, berbeda dengan periode 1870, sebagian besar investasi modal global masa Orde Baru tertuju pada sektor yang berhubungan dengan industri perkotaan, baik untuk konsumsi domestik maupun ekspor.

Maka, strategi pembangunan yang ditandai oleh membiaknya kawasan manufaktur atau pengolahan ini secara struktural bersifat segera menghasilkan dan didasarkan pada logika penawaran dan permintaan. Tepat di titik ini, dengan alasan kelengkapan infrastruktur dan kebutuhan menelurkan hasil yang segera, strategi pembangunan itu lebih berpihak ke wilayah perkotaan daripada pedesaan dan kawasan pedalaman.
Inilah yang menyebabkan sumber daya negara terkonsentrasi di wilayah maju atau kota dengan efek berganda. Jika pada periode ekonomi perkebunan dan ekstraktif kota adalah ”pelayan”, kini menjadi ”panglima”. Infrastruktur kota yang kian lengkap, ramifikasi efek industri manufaktur pada varian aktivitas ekonomi telah melipatgandakan mekanisme penawaran dan permintaan terhadap berbagai kebutuhan barang dan pelayanan.

Efek berantai

Efek berantainya bukan saja selalu timbul sumber-sumber ekonomi baru di perkotaan bersifat segera menghasilkan, melainkan juga meningkatkan pendapatan per kapita penduduk. Maka, di samping meningkatnya kemampuan konsentrasi akumulasi modalnya, proses ini kian melancip pada radical spatial capital segregation antara kota dengan wilayah pedesaan dan pedalaman. Kota, pada akhirnya, menjadi sumber paling utama dinamika ekonomi nasional.

Namun, ”kemajuan-kemajuan” inilah yang menjadi sumber utama banjir yang dialami setiap tahun justru di kawasan perkotaan. Pertama, konsentrasi sumber daya negara di wilayah-wilayah maju telah mengabaikan pembangunan infrastruktur dan ekonomi kawasan pedesaan dan pedalaman. Kedua, ”kemajuan” ekonomi kota melahirkan kerakusan terhadap ruang. Seperti kita lihat di pusat dan pinggiran perkotaan, pembangunan perumahan dan mal serta pabrik manufaktur telah berlangsung di atas dan menghabiskan lahan pertanian, termasuk daerah resapan air.

Ketiga, akibat spatial capital segregation, kawasan desa dan pedalaman kekurangan pasokan kapital dan mendorong migrasi penduduk ke wilayah perkotaan. Di samping menjelaskan tingginya pertumbuhan penduduk kota dewasa ini, migrasi ini menambah rumit penanganan banjir. Hadir ke wilayah kota tanpa andalan keterampilan memadai, sebagian besar kelompok terakhir ini mendiami lahan milik negara: kawasan resapan banjir dan daerah tepi atau berdekatan dengan sungai. Kita tahu, semua ini kian mempersulit penanganan banjir.

Pada akhirnya secara konseptual haruslah disadari bahwa masalah banjir bukanlah fenomena teknis, melainkan sesuatu yang menyangkut ketidakadilan distribusi sumber daya negara pada tingkat nasional dan strategi pembangunan. Semua ini mengarah pada tuntutan politik-ekonomi keadilan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar