Senin, 02 Desember 2013

Korrie

Korrie
Putu Fajar Arcana dan Lukas Adi Prasetya  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  01 Desember 2013
  


Papan nama ”Rumah Sastra Korrie Layun Rampan” di halaman terhalang semak belukar. Bahkan rumah kediaman sastrawan Korrie Layun Rampan (60), yang menyerupai kastil tua, telah ditumbuhi pohon-pohon liar di sana-sini. Tak ada pagar, tak ada teras. Dari halaman kita bisa langsung ke ruang tamu yang kecil.

Sungguh tak mudah menghubungi Korrie. Beberapa minggu sebelum berangkat ke Melak, Kutai Barat (Kubar), Kalimantan Timur, kami telah mengontak telepon selulernya. Tak ada jawaban. Bahkan kami menulis di laman FaceBook Korrie dan Hermiana, istrinya, bahwa kami ingin bertemu di Sendawar, ibu kota Kubar, di mana sekarang Korrie memilih tinggal. Tak ada jawaban juga. Sampai dua hari kami menginap di Melak, kota kecamatan kecil, 15 kilometer dari Sendawar, sebuah pesan masuk via telepon, malam hari. ”Ini hp sy. sy baru pulang dari hutan. Korrie.” Setelah menanyakan kapan bisa bertemu, kira-kira 15 menit kemudian Korrie mengirim pesan lagi dalam huruf-huruf seperti ini, ”Besok boleh, di rumah, biar tahu rmh sy. DI JL POROS BARONG TONGKOK-SEK DARAT, DEPANNYA ADA PLANG RUMAH SASTRA KORRIE LAYUN RAMPAN.”

Singkat cerita kami akhirnya bertemu di Kampung Sekolaq Joleq, RT 005, Kecamatan Sekolaq Darat, Jalan Poros Barong Tongkok, Sendawar. Di kampung ini rumah jarang-jarang. Sebagian besar wilayahnya berupa semak belukar dan hutan.

”Di sini sinyal telepon naik-turun. Jadi kalau saya terima sms belum tentu bisa langsung dijawab. Saya harus pergi ke jalan untuk membalasnya,” kata penulis 357 judul buku ini. Kami membayangkan berapa kali Korrie harus keluar ke jalan raya ”hanya” untuk membalas pesan-pesan kami via telepon.
”Kami minta maaf, telah merepotkan Anda.”

”Ya begitulah. Ini pedalaman, terpencil dari peradaban, sampai sinyal pun sulit,” balas sastrawan yang memulai karier bersastranya saat kuliah di Yogyakarta. Sekitar tahun 1970-an bersama Emha Ainun Nadjib dan (alm) Linus Suryadi AG, Korrie menjadi peserta aktif komunitas sastra yang dipimpin penyair Umbu Landu Paranggi di kawasan Malioboro.
Mengapa memilih menyepi di kampung?

Mencari kekayaan? Sudah lewat itu. Saya mau meninggalkan nama baik kalau saya sudah tidak ada. Biar ada yang tahu, oooh Pak Korrie itu orangnya baik. Itu saja….

Anda pernah jadi anggota DPRD Kubar periode 2004-2009, itukah semangat membangun kampung halaman?

Enggak kuat saya di DPR, itu bukan tempat saya. Tempat saya itu menulis, saya ini sastrawan. Saya darah tinggi itu karena di DPR. Kita berjuang melawan orang banyak yang bodoh-bodoh. Mereka pakai tangan, kita pakai otak. Siapa yang mendukung Pak Korrie, satu-dua orang angkat tangan, yang pintar-pintar. Siapa yang mendukung sini, selain Korrie, semua angkat tangan….

Maksud Anda angkat tangan itu mekanisme voting?

Ya. Kita melawan tangan, bukan melawan otak. Nah, itu sebabnya saya turun dari DPR, enggak tahan terlalu lama. Otak saya ini saya pergunakan untuk yang sebenarnya. Mereka yang lain memakai tangan mereka. Mereka proyek ini-itu, saya tidak mau. Gaji di DPR itu kecil, kalau enggak mau kecil ya berhenti. Wong gaji Rp 4 juta, saya setor ke partai Rp 2,5 juta. Tinggal Rp 1,5 juta buat makan, bisa enggak hidup? Sementara itu orang tahu, kan, anggota DPR itu kaya raya. Banyak uang, banyak proyek, satu orang bisa dapat proyek Rp 1 miliar, Rp 10 miliar, dan Rp 100 miliar. Saya tidak sesen pun…Lebih baik saya turun. Dulu itu sakit-sakitan....

Sekarang Anda merasa bebas dan karena itu sehat?
Saya sekarang menulis, bersenang-senang. Enjoy betul saya. Sudah banyak karya yang siap diterbitkan….

(Korrie menceritakan setidaknya ia memiliki lima novel yang siap diterbitkan jika ada penerbit yang bersedia. Itu belum termasuk kumpulan cerpen, serta buku-buku lain yang juga siap diterbitkan juga. Sampai sekarang ia masih memikirkan tulisan-tulisannya yang hilang bersama laptop yang digondol pencuri di rumahnya. ”Habis barang-barang saya, terutama laptop yang berisi tulisan-tulisan yang belum diterbitkan,” katanya. Ruang kerjanya sempit, kurang dari 3 x 3 meter. Korrie harus menulis dengan duduk di lantai menghadapi meja rendah, di mana di sebelahnya terdapat kamar mandi. Punggungnya mulai bongkok, bahkan kakinya tak terlalu kuat menyangga tubuhnya, yang sebenarnya beperawakan kecil).

Masyarakat Dayak

Lewat pesan singkat Anda bilang baru pulang dari hutan, apa yang Anda kerjakan sebenarnya?

Saya baru pulang dari Malinau, itu di Kalimantan Utara, hulunya Mahakam. Mobil saya sampai rontok-rontok. Kalau jalan bagus bisa ditempuh 2-3 jam, tetapi ini jalannya jelek, bisa 2-3 hari tiba di sana. Di sana saya mengajarkan warga menanam sayur. Orang Dayak itu (banyak) buta huruf, tidak punya tradisi menanam. Dan karena itulah harga sayur mahal karena dikirim dari Samarinda atau bahkan dari Jawa….

Tetapi mereka memiliki tradisi berladang, kan?

Berladang itu pasti padi. Itu yang banyak disalahpahami. Orang Dayak tak pernah membakar hutan, tetapi membakar ladang. Mereka tidak akan membuka ladang baru karena sistem berladangnya memutar di sekitar lamin (rumah panjang). Sebelum membakar ladang, mereka membuat ladeng. Ini gunanya untuk mencegah api merambat ke rumah atau hutan. Semua ada ritualnya sebelum perladangan dimulai. Jadi kalau ada yang mengatakan orang Dayak membakar hutan karena peladang berpindah, itu orang bodoh yang tidak tahu kebudayaan Dayak.

Bagaimana sebenarnya orang Dayak memandang alam ini?

Umumnya mereka menganggap alam itu memiliki napas, memiliki kehidupan, sehingga melihat segala sesuatunya sebagai mitra. Sungai adalah mitra untuk berjalan ke sana-kemari. Hutan sebagai mitra untuk mendapatkan penghasilan. Kalau mereka berladang itu secukupnya saja. Mereka tidak pernah mengambil lebih dari yang mereka butuhkan. Ini juga mungkin sebabnya mengapa mereka tidak punya tradisi menanam sayur. Semuanya tinggal mengambil di hutan.

Sampai sekarang sebagian orang Dayak masih melakukan ritual belian, apa inti dari seluruh ritual itu?

Orang Dayak memandang orang hidup itu ada marwahnya. Roh orang hidup itu disebut jus, roh orang mati disebut liau. Kalau ada orang sedang sakit, biasanya jus-nya pergi dari badannya ke tempat lain. Itu harus diambil dan dikembalikan ke badannya, lewat upacara belian itu.

Kemudian liau itu sudah terpisah. Badan hancur dalam tanah, tetapi roh itu ada dan akan kembali ke surga. Bagi orang Dayak surga itu ada tingkatannya. Ada yang tingkatnya paling bawah dan paling tinggi. Nah liau itu terdiri dari dua roh, yakni roh badan dan roh kepala.

Jadi upacara selalu kepada roh?

Tentang orang yang masih hidup ataupun mati selalu perlu upacara. Kalau orang yang sudah mati pemberiannya kepada dewa-dewa dia. Pemberian diberikan kepada roh-roh tertinggi di surga agar mereka terpelihara. Jadi orang-orang yang sudah mati terpelihara di surga mereka. Tinggi rendahnya tempat surga yang didiami liau tergantung kepada besar-kecilnya upacara yang diadakan. Kalau orang miskin, ibaratnya ya surganya di pinggiran, karena enggak bisa membuat upacara besar. Sementara itu kalau orang kaya bisa masuk surga beneran karena jumlah kerbaunya banyak. Upacara besar bisa menyembelih puluhan kerbau….

(Korrie melihat pandangan antropologis yang mengaitkan upacara yang hampir selalu bersifat materialistik, karena mengukur tingkatan surga dengan besar-kecilnya materi yang bisa dipersembahkan, mungkin tidak selalu benar. Konsep upacara pada orang Dayak adalah berbagi dengan mempersembahkan apa yang dia miliki. Karena itu dalam upacara belian, belontang, patung perwujudan leluhur, selalu diberikan makanan sebagaimana juga yang dimakan orang Dayak pada umumnya).

”Ada beras yang disuapkan kepada belontang. Satu butir beras atau disebut mumu disuapkan itu sudah cukup. Itu kan konsepnya berbagi,” katanya. Jika hal itu kelihatan menjadi rada materialistik, jelas yang berperan adalah faktor manusia yang selalu ditekan oleh keinginan menyatakan kelas sosial di masyarakat.

Tanya yang agak lain. Mengapa tidak banyak, bahkan tidak ada restoran dengan menu masakan Dayak?

Orang Dayak itu konsepnya, ya, itu tadi berbagi. Mereka juga tidak mau mengambil lebih dari apa yang mereka butuhkan sehari-hari. Sehabis berburu, daging selalu dibagi-bagi. Di luar faktor itu, penduduk Kalimantan ini, kan sedikit, orang Dayaknya juga sedikit sekali. Siapa yang mau beli kalau mereka membuka restoran dengan masakan Dayak.

(Korrie juga melihat ada faktor batas-batas religiusitas yang tidak mudah ditembus. Mereka yang tidak makan babi, tidak akan pernah menyentuh makanan orang Dayak, karena dinilai banyak mengandung unsur babi. Babi dalam tradisi Dayak juga menjadi satu persembahan kepada dewa, selain sapi dan kerbau).

Anda bahagia menjadi orang Dayak dan kembali ke kampung?

Saya beruntung karena sejak zaman ayah saya, kami baru bisa bersekolah. Dulu ada semacam perjanjian antara Kerajaan Sentawar dan Kerajaan Kutai, di antara mereka tidak boleh saling melintasi batas-batas kerajaan. Itu karena anak raja Sentawar memperistri adik raja Kutai. Akibatnya Sentawar terisolasi, tidak bisa berhubungan dengan dunia luar karena letaknya lebih di hulu dibanding Kutai. Ini semacam penjajahan lokal. Kakek saya masih mengantarkan upeti kepada raja Kutai di Tenggarong setiap ada upacara erau. Itu satu bukti penaklukan. Di mana pun penjajahan lokal itu lebih kejam.

Itulah yang antara lain menyebabkan banyak orang Dayak buta huruf sampai sekarang. Jadi saya lebih mengapresiasi penjajahan Belanda, karena mereka membawa sekolah dan kesehatan. Penjajahan lokal tidak memberi apa-apa selain upeti.

Kini, di kampungnya yang damai tetapi terpencil, Korrie sedang menyusun kamus lima bahasa: bahasa Benuaq, Indonesia, Tonyooi, Kutai, dan Inggris. Sastrawan yang mengaku menguasai puluhan bahasa asing, ini juga sedang merampungkan lima novelnya sekaligus. Ia pernah mengalami masa-masa sulit ketika mengalami kebutaan karena katarak. Itu pun tak urung menjadi inspirasi dalam periode menulisnya. Ia menyebutnya sebagai ”Menulis dalam Gelap”, ”Karena yang nulis anak saya, saya diktekan ceritanya,” katanya.

Di dinding ruang tamu terdapat penggalan puisi dengan gambar Korrie berbunyi, ”Kami terbelenggu dalam pusaran kabut/Mencari matahari/ Tersesat dalam cinta yang kusut/Mencoba membuka dinding pagi/. 

Barangkali itulah tugasnya, mengapa ia memilih menyepi di kampung halamannya yang jauh…. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar