Papan nama ”Rumah Sastra Korrie Layun Rampan” di halaman
terhalang semak belukar. Bahkan rumah kediaman sastrawan Korrie Layun
Rampan (60), yang menyerupai kastil tua, telah ditumbuhi pohon-pohon liar
di sana-sini. Tak ada pagar, tak ada teras. Dari halaman kita bisa langsung
ke ruang tamu yang kecil.
Sungguh tak mudah
menghubungi Korrie. Beberapa minggu sebelum berangkat ke Melak, Kutai Barat
(Kubar), Kalimantan Timur, kami telah mengontak telepon selulernya. Tak ada
jawaban. Bahkan kami menulis di laman FaceBook Korrie dan Hermiana,
istrinya, bahwa kami ingin bertemu di Sendawar, ibu kota Kubar, di mana
sekarang Korrie memilih tinggal. Tak ada jawaban juga. Sampai dua hari kami
menginap di Melak, kota kecamatan kecil, 15 kilometer dari Sendawar, sebuah
pesan masuk via telepon, malam hari. ”Ini hp sy. sy baru pulang dari hutan.
Korrie.” Setelah menanyakan kapan bisa bertemu, kira-kira 15 menit kemudian
Korrie mengirim pesan lagi dalam huruf-huruf seperti ini, ”Besok boleh, di
rumah, biar tahu rmh sy. DI JL POROS BARONG TONGKOK-SEK DARAT, DEPANNYA ADA
PLANG RUMAH SASTRA KORRIE LAYUN RAMPAN.”
Singkat cerita
kami akhirnya bertemu di Kampung Sekolaq Joleq, RT 005, Kecamatan Sekolaq
Darat, Jalan Poros Barong Tongkok, Sendawar. Di kampung ini rumah
jarang-jarang. Sebagian besar wilayahnya berupa semak belukar dan hutan.
”Di sini sinyal
telepon naik-turun. Jadi kalau saya terima sms belum tentu bisa
langsung dijawab. Saya harus pergi ke jalan untuk membalasnya,” kata
penulis 357 judul buku ini. Kami membayangkan berapa kali Korrie harus
keluar ke jalan raya ”hanya” untuk membalas pesan-pesan kami via telepon.
”Kami minta maaf,
telah merepotkan Anda.”
”Ya begitulah. Ini
pedalaman, terpencil dari peradaban, sampai sinyal pun sulit,” balas
sastrawan yang memulai karier bersastranya saat kuliah di Yogyakarta.
Sekitar tahun 1970-an bersama Emha Ainun Nadjib dan (alm) Linus Suryadi AG,
Korrie menjadi peserta aktif komunitas sastra yang dipimpin penyair Umbu
Landu Paranggi di kawasan Malioboro.
Mengapa memilih
menyepi di kampung?
Mencari kekayaan?
Sudah lewat itu. Saya mau meninggalkan nama baik kalau saya sudah tidak
ada. Biar ada yang tahu, oooh Pak Korrie itu orangnya baik. Itu saja….
Anda pernah jadi
anggota DPRD Kubar periode 2004-2009, itukah semangat membangun kampung
halaman?
Enggak kuat saya
di DPR, itu bukan tempat saya. Tempat saya itu menulis, saya ini sastrawan.
Saya darah tinggi itu karena di DPR. Kita berjuang melawan orang banyak
yang bodoh-bodoh. Mereka pakai tangan, kita pakai otak. Siapa yang
mendukung Pak Korrie, satu-dua orang angkat tangan, yang pintar-pintar.
Siapa yang mendukung sini, selain Korrie, semua angkat tangan….
Maksud Anda angkat
tangan itu mekanisme voting?
Ya. Kita melawan
tangan, bukan melawan otak. Nah, itu sebabnya saya turun dari DPR, enggak
tahan terlalu lama. Otak saya ini saya pergunakan untuk yang sebenarnya.
Mereka yang lain memakai tangan mereka. Mereka proyek ini-itu, saya tidak
mau. Gaji di DPR itu kecil, kalau enggak mau kecil ya berhenti. Wong gaji
Rp 4 juta, saya setor ke partai Rp 2,5 juta. Tinggal Rp 1,5 juta buat
makan, bisa enggak hidup? Sementara itu orang tahu, kan, anggota DPR itu
kaya raya. Banyak uang, banyak proyek, satu orang bisa dapat proyek Rp 1
miliar, Rp 10 miliar, dan Rp 100 miliar. Saya tidak sesen pun…Lebih baik
saya turun. Dulu itu sakit-sakitan....
Sekarang Anda
merasa bebas dan karena itu sehat?
Saya sekarang
menulis, bersenang-senang. Enjoy betul saya. Sudah banyak karya
yang siap diterbitkan….
(Korrie
menceritakan setidaknya ia memiliki lima novel yang siap diterbitkan jika
ada penerbit yang bersedia. Itu belum termasuk kumpulan cerpen, serta buku-buku
lain yang juga siap diterbitkan juga. Sampai sekarang ia masih memikirkan
tulisan-tulisannya yang hilang bersama laptop yang digondol pencuri di
rumahnya. ”Habis barang-barang saya, terutama laptop yang berisi
tulisan-tulisan yang belum diterbitkan,” katanya. Ruang kerjanya sempit,
kurang dari 3 x 3 meter. Korrie harus menulis dengan duduk di lantai
menghadapi meja rendah, di mana di sebelahnya terdapat kamar mandi.
Punggungnya mulai bongkok, bahkan kakinya tak terlalu kuat menyangga
tubuhnya, yang sebenarnya beperawakan kecil).
Masyarakat Dayak
Lewat pesan
singkat Anda bilang baru pulang dari hutan, apa yang Anda kerjakan
sebenarnya?
Saya baru pulang
dari Malinau, itu di Kalimantan Utara, hulunya Mahakam. Mobil saya sampai
rontok-rontok. Kalau jalan bagus bisa ditempuh 2-3 jam, tetapi ini jalannya
jelek, bisa 2-3 hari tiba di sana. Di sana saya mengajarkan warga menanam
sayur. Orang Dayak itu (banyak) buta huruf, tidak punya tradisi menanam.
Dan karena itulah harga sayur mahal karena dikirim dari Samarinda atau
bahkan dari Jawa….
Tetapi mereka
memiliki tradisi berladang, kan?
Berladang itu
pasti padi. Itu yang banyak disalahpahami. Orang Dayak tak pernah membakar
hutan, tetapi membakar ladang. Mereka tidak akan membuka ladang baru karena
sistem berladangnya memutar di sekitar lamin (rumah panjang). Sebelum
membakar ladang, mereka membuat ladeng. Ini gunanya untuk mencegah api
merambat ke rumah atau hutan. Semua ada ritualnya sebelum perladangan
dimulai. Jadi kalau ada yang mengatakan orang Dayak membakar hutan karena
peladang berpindah, itu orang bodoh yang tidak tahu kebudayaan Dayak.
Bagaimana
sebenarnya orang Dayak memandang alam ini?
Umumnya mereka
menganggap alam itu memiliki napas, memiliki kehidupan, sehingga melihat
segala sesuatunya sebagai mitra. Sungai adalah mitra untuk berjalan ke
sana-kemari. Hutan sebagai mitra untuk mendapatkan penghasilan. Kalau
mereka berladang itu secukupnya saja. Mereka tidak pernah mengambil lebih
dari yang mereka butuhkan. Ini juga mungkin sebabnya mengapa mereka tidak
punya tradisi menanam sayur. Semuanya tinggal mengambil di hutan.
Sampai sekarang
sebagian orang Dayak masih melakukan ritual belian, apa inti dari seluruh
ritual itu?
Orang Dayak
memandang orang hidup itu ada marwahnya. Roh orang hidup itu
disebut jus, roh orang mati disebut liau. Kalau ada orang sedang
sakit, biasanya jus-nya pergi dari badannya ke tempat lain. Itu harus
diambil dan dikembalikan ke badannya, lewat upacara belian itu.
Kemudian liau itu
sudah terpisah. Badan hancur dalam tanah, tetapi roh itu ada dan akan
kembali ke surga. Bagi orang Dayak surga itu ada tingkatannya. Ada yang
tingkatnya paling bawah dan paling tinggi. Nah liau itu terdiri
dari dua roh, yakni roh badan dan roh kepala.
Jadi upacara
selalu kepada roh?
Tentang orang yang
masih hidup ataupun mati selalu perlu upacara. Kalau orang yang sudah mati
pemberiannya kepada dewa-dewa dia. Pemberian diberikan kepada roh-roh
tertinggi di surga agar mereka terpelihara. Jadi orang-orang yang sudah
mati terpelihara di surga mereka. Tinggi rendahnya tempat surga yang
didiami liau tergantung kepada besar-kecilnya upacara yang
diadakan. Kalau orang miskin, ibaratnya ya surganya di pinggiran, karena
enggak bisa membuat upacara besar. Sementara itu kalau orang kaya bisa
masuk surga beneran karena jumlah kerbaunya banyak. Upacara besar
bisa menyembelih puluhan kerbau….
(Korrie melihat
pandangan antropologis yang mengaitkan upacara yang hampir selalu bersifat
materialistik, karena mengukur tingkatan surga dengan besar-kecilnya materi
yang bisa dipersembahkan, mungkin tidak selalu benar. Konsep upacara pada
orang Dayak adalah berbagi dengan mempersembahkan apa yang dia miliki.
Karena itu dalam upacara belian, belontang, patung perwujudan leluhur,
selalu diberikan makanan sebagaimana juga yang dimakan orang Dayak pada
umumnya).
”Ada beras yang
disuapkan kepada belontang. Satu butir beras atau
disebut mumu disuapkan itu sudah cukup. Itu kan konsepnya
berbagi,” katanya. Jika hal itu kelihatan menjadi rada materialistik, jelas
yang berperan adalah faktor manusia yang selalu ditekan oleh keinginan
menyatakan kelas sosial di masyarakat.
Tanya yang agak
lain. Mengapa tidak banyak, bahkan tidak ada restoran dengan menu masakan
Dayak?
Orang Dayak itu
konsepnya, ya, itu tadi berbagi. Mereka juga tidak mau mengambil lebih dari
apa yang mereka butuhkan sehari-hari. Sehabis berburu, daging selalu
dibagi-bagi. Di luar faktor itu, penduduk Kalimantan ini, kan sedikit,
orang Dayaknya juga sedikit sekali. Siapa yang mau beli kalau mereka
membuka restoran dengan masakan Dayak.
(Korrie juga
melihat ada faktor batas-batas religiusitas yang tidak mudah ditembus.
Mereka yang tidak makan babi, tidak akan pernah menyentuh makanan orang
Dayak, karena dinilai banyak mengandung unsur babi. Babi dalam tradisi
Dayak juga menjadi satu persembahan kepada dewa, selain sapi dan kerbau).
Anda bahagia
menjadi orang Dayak dan kembali ke kampung?
Saya beruntung
karena sejak zaman ayah saya, kami baru bisa bersekolah. Dulu ada semacam
perjanjian antara Kerajaan Sentawar dan Kerajaan Kutai, di antara mereka
tidak boleh saling melintasi batas-batas kerajaan. Itu karena anak raja
Sentawar memperistri adik raja Kutai. Akibatnya Sentawar terisolasi, tidak
bisa berhubungan dengan dunia luar karena letaknya lebih di hulu dibanding
Kutai. Ini semacam penjajahan lokal. Kakek saya masih mengantarkan upeti
kepada raja Kutai di Tenggarong setiap ada upacara erau. Itu satu
bukti penaklukan. Di mana pun penjajahan lokal itu lebih kejam.
Itulah yang antara
lain menyebabkan banyak orang Dayak buta huruf sampai sekarang. Jadi saya
lebih mengapresiasi penjajahan Belanda, karena mereka membawa sekolah dan
kesehatan. Penjajahan lokal tidak memberi apa-apa selain upeti.
Kini, di
kampungnya yang damai tetapi terpencil, Korrie sedang menyusun kamus lima
bahasa: bahasa Benuaq, Indonesia, Tonyooi, Kutai, dan Inggris. Sastrawan
yang mengaku menguasai puluhan bahasa asing, ini juga sedang merampungkan
lima novelnya sekaligus. Ia pernah mengalami masa-masa sulit ketika
mengalami kebutaan karena katarak. Itu pun tak urung menjadi inspirasi
dalam periode menulisnya. Ia menyebutnya sebagai ”Menulis dalam Gelap”,
”Karena yang nulis anak saya, saya diktekan ceritanya,” katanya.
Di dinding ruang
tamu terdapat penggalan puisi dengan gambar Korrie berbunyi, ”Kami
terbelenggu dalam pusaran kabut/Mencari matahari/ Tersesat dalam cinta yang
kusut/Mencoba membuka dinding pagi/.
Barangkali itulah tugasnya, mengapa ia
memilih menyepi di kampung halamannya yang jauh…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar