Rabu, 23 Oktober 2013

Perppu Genting Penyelamatan MK

Perppu Genting Penyelamatan MK
Denny Indrayana  ;   Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
KORAN SINDO, 22 Oktober 2013


Mana yang lebih tepat untuk menyingkat peraturan pemerintah pengganti undang-undang? Perppu atau perpu? Bagi saya bisa keduanya, tidak perlu diperdebatkan. 

Bukan suatu hal yang sangat penting, apalagi genting. Kalaupun saya memilih menggunakan kata “perpu” karena singkatan itulah yang disebutkan di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. 

Tapi persoalan penulisan perpu yang tidak genting tentu berbeda dengan alasan penerbitan perpu yang justru harus memenuhi syarat konstitusional “kegentingan yang memaksa” berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Syarat itulah yang dipenuhi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 terkait Mahkamah Konstitusi (MK). 

“Kegentingan yang Memaksa” Substansial 

Putusan MK Nomor 138/ PUU-VII/2009 memutuskan ada tiga kondisi yang termasuk klasifikasi “kegentingan yang memaksa”: (1) adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak, untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, (2) undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang, tetapi tidak memadai, dan (3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 

Lebih jauh MK memutuskan, perpu ditetapkan berdasarkan penilaian subjektivitas Presiden, yang objektivitas politiknya dinilai oleh DPR. Maka, siapa pun bisa berbeda pandangan tentang kegentingan yang memaksa, tetapi penetapan perpu adalah kewenangan konstitusional Presiden yang diberikan oleh UUD 1945. Yang bisa membatalkan perpu termasuk tidak setuju alasan “kegentingan yang memaksa” hanyalah DPR. 

Mari kita patuhi aturan main yang telah terang-benderang diatur dalam UUD 1945 tersebut. Apakah ada kegentingan yang memaksa? Yang pasti, saya belum pernah membaca dalam sejarah republik ini ataupun di dunia ada ketua MK ataupun ketua lembaga peradilan tertinggi yang diduga menerima suap dan ditangkap oleh aparat penegak hukum. Kejadian penangkapan Ketua MK nonaktif Akil Mochtar jelas merupakan suatu peristiwa luar biasa yang mengguncangkan sendi-sendi kehidupan berdemokrasi dan pilar negara hukum di Tanah Air. 

Kecuali Anda berpandangan penangkapan ketua MK adalah kejadian biasa, kejadian yang sering terjadi, kejadian yang normal-normal saja, maka kita nyata-nyata berbeda pendapat. Lebih jauh, kita semua paham bahwa tertangkapnya Pak Akil Mochtar tidak hanya berdampak kepada beliau secara pribadi, tetapi juga kepada MK sebagai institusi. 

Telah banyak analisis yang mengatakan, tertangkapnya Pak Akil menyebabkan runtuhnya kepercayaan publik kepada MK. Di tengah begitu strategisnya kewenangan MK untuk menjaga demokrasi kita, apakah keruntuhan wibawa hukum itu adalah hal yang normal, bukan situasi yang genting? Memang betul, persidangan MK masih dapat berjalan. Delapan hakim yang masih ada tetap memenuhi syarat kuorum sidang pleno hakim konstitusi. 

Tapi, apakah kegentingan yang memaksa hanya dibaca sebagai syarat prosedural persidangan demikian saja? Padahal ada hal lebih substansial yang harus dipenuhi dan dipulihkan ketimbang hanya persidangan yang masih berjalan, yaitu kepercayaan publik yang menurun drastis. Apalagi, jangan dilupakan, dalam waktu kurang dari 6 bulan lagi, pada 5 April 2014, kita akan memiliki agenda ketetanegaraan yang mahapenting, yaitu pemilihan umum legislatif, yang kemudian dilanjutkan pula dengan pemilihan presiden. 

Pada perhelatan akbar demokrasi tersebut, peran MK yang dipercaya penuh oleh rakyat sangatlah penting. Tidak boleh kita biarkan, keterpurukan kepercayaan publik akibat tertangkapnya Ketua MK nonaktif berdampak pada runtuhnya pula legitimasi pemilu, yang sengketa hasilnya merupakan kewenangan MK untuk mengadili. 

Terakhir, perpu atau produk hukum apa pun tidak hanya berpijak pada kepastian hukum yang kaku, tetapi juga pada rasa keadilan dan kemanfaatan. Maka Perpu Nomor 1 Tahun 2013 bukan hanya dikeluarkan untuk memenuhi kepastian kegentingan yang memaksa saja, tetapi juga sebagai pesan dan catatan sejarah yang mahapenting bahwa moral keadilan bangsa ini pernah terlukai sangat parah karena tertangkapnya Ketua MK yang diduga memperjualbelikan keadilan dalam sengketa pilkada. 

Semua pertimbangan dan kebutuhan di atas tidak akan cukup jika hanya dipenuhi dengan melalui prosedur normal ataupun cara biasa-biasa saja. Dalam kondisi biasa, perubahan UU MK saja memang memadai, tetapi tidak dalam hal tertangkapnya Ketua MK, salah satu pimpinan tertinggi pemegang palu keadilan. Pesan moral yang nyaring dan keras harus disuarakan dengan prosedur lebih cepat, dengan substansi yang lebih tepat. 

Dalam sudut pandang memberikan pesan yang nyaring, pesan yang tidak normal, pesan yang bukan biasa-biasa saja itulah Presiden SBY menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2013. Tujuannya jelas bukan hanya untuk mengatasi prosedural persidangan di MK, yang memang masih berjalan. 

Targetnya jelas lebih jauh dari itu, untuk menyelesaikan persoalan yang lebih substansial, yaitu membantu memulihkan kepercayaan publik kepada MK. Bahkan lebih penting lagi, tidak hanya untuk menyelamatkan Pemilu 2014, tetapi juga untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia. 

Tiga Substansi Inti Perpu 

Berangkat dari nawaitudemikian, Perpu Nomor 1 Tahun 2013 disusun dengan membuka ruang partisipasi dan menerima masukan dari para guru besar hukum tata negara, mantan hakim konstitusi, ahli pembuat peraturan perundangan, dan praktisi hukum. Presiden SBY, meskipun paham benar perpu adalah hak konstitusional yang melekatpada dirinya, tetapingin menghasilkan perpu yang memang efektif melakukan tugasnya, bukan hanya menyelamatkan MK, Pemilu2014, tetapijuga demokrasi dan negara hukum Indonesia. 

Maka, dirumuskanlah tiga hal menjadi inti materi perpu: (1) penambahan syarat hakim konstitusi, (2) perbaikan mekanisme seleksi hakim konstitusi, dan (3) penyempurnaan mekanisme pengawasan hakim konstitusi. Semuanya dirumuskan dengan tetap menghormati independensi MK, bahkan dengan menjadikan putusanputusan MK sebagai pertimbangan utama yang tidak disimpangi sedikit pun. 

Penambahan syarat calon hakim konstitusi yang tidak boleh menjadi anggota partai politik dalam rentang tujuh tahun adalah sejalan dengan logika konstitusional yang dibangun MK sendiri. Dalam putusan nomor 81/PUU-IX/2011 terkait UU Penyelenggara Pemilu, MK menegaskan kemandirian KPU harus dijaga, salah satunya dengan menutup kesempatan anggota parpol untuk langsung dapat menjadi anggota KPU. 

MK berpendapat hal itu penting untuk menjaga kemandirian penyelenggara pemilu yang ditegaskan UUD 1945. Berangkat dari logika pikir yang sama dengan putusan MK tersebut, Perpu Nomor 1 Tahun 2013 juga berpandangan, kewenangan MK yang banyak bersinggungan dengan kepentingan partai politik, utamanya dalam sengketa hasil pemilu, harus dijaga netralitasnya. 

Bahkan, MK punya kewenangan konstitusional yang lebih banyak dan strategis jika dibandingkan dengan KPU. Karena itu, syarat jeda waktu calon hakim konstitusi dibuat lebih panjang, bukan lima tahun, tetapi tujuh tahun. Mekanisme seleksi yang lebih baik, dengan melibatkan panel ahli yang melakukan uji kelayakan dan kepatutan bagi setiap calon hakim konstitusi, disusun untuk lebih memperjelas prinsip proses seleksi yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. 

Pelibatan panel ahli tidakmenghilangkankewenangan para pengusul hakim konstitusi (MA, DPR, dan Presiden) karena ketiganya tetap diberi kewenangan mengusulkan calon hakim konstitusi yang akan diuji kelayakannya oleh panel ahli. Lebih jauh, yang mempunyai kata pemutus akhir siapakah yang menjadi hakim konstitusi tetaplah ketiga lembaga pengusul tersebut, bukan panel ahli. 

Berkait dengan pengawasan hakim konstitusi, pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang permanen sebenarnya sejalan dengan Dewan Etik permanen yang direncanakan MK sendiri. Prinsipnya Perpu Nomor 1 Tahun 2013 memandang perlu pengawas eksternal yang tetap menghormati independensi MK, maka pembentukan MKHK dibuat melibatkan KY dan MK sendiri. 

Rumusan demikian disetujui tentu setelah mempertimbangkan putusan MK yang melarang pengawasan hakim konstitusi oleh KY. Karenanya MKHK tidak ada sama sekali unsur dari KY meskipun sekretariatnya dirancang berkedudukan di KY. Dengan tiga substansi tersebut, Perpu Nomor 1 Tahun 2013 diyakini dapat membantu percepatan pulihnya kepercayaan kepada MK di mata publik. 

Karena Perpu Nomor 1 Tahun 2013 bukan hanya soal prosedural persidangan di MK, tetapi lebih substansial dari itu karena perpu memang harus menjawab persoalan kegentingan. Meski MK masih bisa bersidang, tertangkapnya Ketua MK oleh KPK bukankah persoalan biasa-biasa saja yang bisa direspons dengan cara-cara normal perubahan UU saja. 

Bangsa ini harus memaknai tertangkapnya Ketua MK oleh KPK sebagai hal luar biasa bagi kehidupan negara hukum, situasi yang abnormal, situasi yang genting, yang perlu dijawab dengan lahirnya perpu ataupun perppu. Demi pesan nyaring Indonesia yang antikorupsi, Indonesia yang lebih baik. Keep on fighting for the better Indonesia.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar