Rabu, 23 Oktober 2013

Memutus Kecanduan Impor Pangan

Memutus Kecanduan Impor Pangan
Andi P Gumilang  ;   Peneliti dan Mahasiswa Program Pascasarjana IPB,
Pegiat Jaringan Petani Sehat Indonesia (JPSI)
SINAR HARAPAN, 21 Oktober 2013


Negeri ini memiliki banyak ironi. Inilah negeri dengan sebutan agraris namun masih mengimpor pangan. Di antara tanaman pangan, impor paling besar adalah gandum. Setiap tahunnya, Indonesia mengimpor sekitar 7 juta ton gandum.

Selain gandum, Indonesia juga pernah mengimpor beras, bawang putih, buah-buahan, kedelai, dan kebutuhan pangan lainnya. Negeri ini juga dilanda kurangnya tenaga kerja pertanian. Hasil sensus pertanian tahun 2013 menunjukkan, jumlah rumah tangga petani menurun dari 31,17 juta rumah tangga pada 2003 menjadi 26,13 juta rumah tangga pada 2013.

Ini berarti Indonesia telah kehilangan 5,07 juta rumah tangga petani dalam 10 tahun (Sinar Harapan, 17/10/2013). Selain itu Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 60 Tahun 2012 menyebutkan ada 20 jenis produk hortikultura yang importasinya diatur pemerintah.
Impor tanaman pangan tahun 2012 mencapai nilai sekitar Rp 80 triliun. Tahun ini, jika pemerintah tidak memiliki kebijakan tegas untuk mengendalikan impor pangan secara simultan, diperkirakan nilainya dapat tembus Rp 95 triliun.
Impor pangan hanya menuai banyak persoalan. Hal ini diindikasikan adanya kasus impor pangan di negeri ini yang semakin terkuak. Kongkalikong antara pemberi dan penerima kuota impor diduga terjadi, bahkan menciptakan kartel dan mafia impor.
Aparat penegak hukum perlu memberi sanksi yang berat bagi spekulan dan importir nakal. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan hendaknya menjadi landasan hukum bagi pemerintah, agar dapat menjerat orang yang dengan sengaja menimbun dan menyebabkan harga pangan tinggi dan merugikan masyarakat. Sanksi administrasi, denda, dan pidana perlu ditegakkan secara tegas untuk memberi efek jera.
Setiap tahun produk-produk pangan impor di Indonesia semakin tidak terbendung dan sudah pada tahap kronis. Hampir 65 persen dari semua kebutuhan pangan dalam negeri kini dipenuhi dari impor. Pada sisi lain, Data Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) menyatakan 70 persen bahan produk pangan berasal dari impor. Bahan tambahan pangan (BTP) yang ada di Indonesia, 80 persen juga masih impor.
Kalangan pengusaha umumnya mendatangkan bahan pangan dari kawasan Eropa, Amerika, dan China. Membanjirnya produk impor pangan karena pemenuhan suplai dalam negeri terus berkurang akibat produksi rendah. Faktor lemahnya riset penelitian dan inovasi menjadi salah satu penyebab produktivitas selalu rendah.
Mengakhiri Kecanduan
Pemerintah seharusnya segera mengakhiri kecanduan terhadap bahan pangan impor. Pasalnya, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat menentukan tingkat kesehatan, kecerdasan, dan kualitas SDM suatu bangsa. Sangat tepat meminjam pidato Presiden Soekarno tahun 1957 yang mengatakan, pertanian dan pangan adalah hidup-matinya bangsa Indonesia.
Setelah 40 tahun (1997), hasil penelitian FAO mengonfirmasi kebenaran pernyataan profetik Bung Karno tersebut, bahwa sebuah negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa, tidak mungkin bisa menjadi maju dan makmur bila pemenuhan kebutuhan pangan domestiknya bergantung pada impor.
Kondisi stok pangan yang kian terbatas, sementara kebutuhannya terus meningkat akibat pertumbuhan jumlah penduduk, seharusnya merupakan peluang bagi Indonesia untuk menggenjot produksi sejumlah komoditas pangan yang dapat diproduksi di dalam negeri, baik untuk memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor.
Lebih dari itu, karena Indonesia masih memiliki lahan pertanian, perkebunan, serta perikanan cukup luas dan berpotensi untuk meningkatkan produksi pangan, pemerintah tidak perlu terus-menerus kecanduan impor pangan.
Di sisi lain, pemerintah perlu mengatur dan mengelola lahan pertanian produktif agar tidak beralih fungsi. Zona lahan pertanian abadi perlu diwujudkan untuk meningkatkan produksi.
Tingkatkan Produksi
Kebijakan impor bahan pangan, selain menghamburkan devisa juga membunuh produsen pangan dalam negeri dan mengancam kedaulatan pangan nasional. Untuk mewujudkan kemandirian pangan nasional dan mengakhiri kecanduan impor pangan, subsistem produksi, industri pascapanen, distribusi, pemasaran, dan konsumsi perlu dibenahi.
Pada subsistem produksi, pemerintah mesti meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha dengan menerapkan teknologi budi daya pertanian mutakhir yang ramah lingkungan dan sesuai daya dukung wilayah, pada lahan usaha yang ada serta melakukan ekstensifikasi usaha budi daya pada lahan-lahan baru yang potensial.
Setiap unit usaha perlu diupayakan agar memenuhi skala ekonomi. Infrastruktur usaha budi daya komoditas pangan yang ada mesti dirawat dan diperbaiki, serta membangun yang baru di setiap kabupaten/kota sesuai kebutuhan wilayah di seluruh Indonesia.
Pemerintah perlu meningkatkan inovasi dan penelitian produk pertanian agar menghasilkan daya saing dan nilai tambah. Industri pascapanen perlu dikembangkan.
Prasarana jalan, pelabuhan laut, bandara, jaringan komunikasi, dan listrik juga harus lebih disempurnakan guna menunjang sistem serta mekanisme distribusi yang lebih handal, sehingga masyarakat memiliki akses yang baik untuk mendapatkan setiap komoditas pangan yang dibutuhkan. Ini juga akan meningkatkan efisiensi ekspor komoditas pangan ke seluruh dunia.
Pada subsistem konsumsi, pola konsumsi pangan perlu diatur. Misalnya, menurunkan konsumsi beras dari 139 kilogram per tahun menjadi minimal 100 kilogram per kapita per tahun dalam 10 tahun. Dengan demikian, program diversifikasi pangan non-beras merupakan alternatif penanggulangan yang perlu dikerjakan saat ini secara bertahap.
Pada subsistem pemasaran, perlunya meningkatkan pemasaran produksi pangan nasional secara ramah lingkungan (organik) dan berkelanjutan, untuk setiap komoditas pangan yang bisa diproduksi di dalam negeri.

Akhirnya, berbagai kebijakan pemerintah perlu melindungi petani kecil demi terwujudnya tujuan kemandirian pangan nasional, gerakan konsumsi pangan dan buah lokal dalam negeri perlu diaplikasikan secara nyata untuk memutus kecanduan impor pangan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar