|
Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan, sejumlah
negara di Asia, termasuk Indonesia, berpotensi masuk dalam jebakan berpendapatan
menengah (middle income trap). Selain Indonesia, negara-negara yang juga rawan
adalah China, India, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Tanda-tanda Indonesia rawan masuk dalam jebakan itu, di
antaranya rasio investasi yang rendah, pertumbuhan manufaktur yang lambat,
diversifikasi industri yang terbatas, dan kondisi pasar tenaga kerja yang
buruk. Juga, tak kalah pentingnya adalah kualitas sumber daya manusia (SDM)
Indonesia yang masih rendah. Terbukti, pekerja di Indonesia masih didominasi pekerja
tidak sekolah dan tamat SD (49,4 persen) serta berpendidikan menengah (42,5
persen). Sedangkan yang berpendidikan tinggi hanya 8,1 persen. Indikator
kesehatan penduduk Indonesia juga lebih rendah dibandingkan negara-negara
tetangga. (Kompas, 13/5/2013)
Indikator lain yang mengkhawatirkan adalah rapuhnya
struktur ekspor nasional yang didominasi produk berbasis sumber daya alam,
terutama batu bara dan minyak nabati, dengan kontribusi masing-masing 17,2
persen dan 13,3 persen terhadap ekspor nasional. Hal ini membuat neraca
perdagangan nonmigas kita rentan terhadap perubahan harga. Kondisi ini menuntut
perubahan mendasar dan segera. Dalam konteks itu, Indonesia harus memiliki visi
bersama agar terhindar dari jebakan stagnasi negara berpendapatan menengah.
Pemerintah harus segera menyiapkan cetak biru (blueprint).
Hal mendesak yang mesti dilakukan adalah membangun sistem
pendidikan berkualitas tinggi untuk mendorong kreativitas dan inovasi di bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Dalam hal ini, pemerintah perlu
meningkatkan belanja riset dan pengembangan (R&D) serta pendidikan tinggi.
Selain itu, pemerintah harus banyak berinvestasi di bidang infrastruktur.
Dengan memiliki infrastruktur yang memadai, konektivitas ekonomi akan terjalin
dan lebih efisien, sehingga biaya logistik bisa ditekan.
Di bidang industri, pemerintah mesti menaikkan level
industri manufaktur dari industri berteknologi rendah ke teknologi tinggi.
Produk-produk hasil inovasi iptek harus mampu menjadi penopang utama
pertumbuhan ekonomi nasional. Lebih dari itu, orientasi ekspor harus diubah
dari produk mentah ke produk jadi yang bernilai tambah tinggi. Pemerintah juga
mesti menjadikan tenaga kerja berbasis produktivitas dan inovasi sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi nasional.
Dukungan lain yang tidak kalah penting adalah pemimpin yang
kuat, cetak biru pembangunan yang baik dan menjadi visi bersama bangsa, serta
tingkat korupsi yang rendah. Kita yakin bila pemerintah konsisten dan
berkomitmen penuh menjalankan strategi transformasi ekonomi tersebut, negeri
ini bakal terhindar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Jika tidak
serius berbenah dari sekarang, cita-cita Indonesia untuk naik kelas menjadi
negara maju hanya akan menjadi sebatas utopia.
Ekonomi Indonesia yang tumbuh di atas 6 persen ketika
banyak negara lain dirundung krisis, acap kali membuat para pejabat kita cepat
berpuas diri. Sikap seperti itu berbahaya, karena menganggap seolah-olah
perekonomian kita baik-baik saja, tanpa kekurangan sesuatu apa pun. Akibatnya,
kebijakan yang dirancang pun cenderung ala kadarnya, bersifat jangka pendek,
dan business as usual. Padahal, Indonesia menghadapi segunung masalah
perekonomian. Sebagian menuntut penanganan segera dan sebagian lagi membutuhkan
strategi besar yang bersifat jangka panjang. Indonesia harus segera merumuskan
transformasi ekonomi. Jika tidak, Indonesia akan semakin jauh tertinggal,
bahkan terancam masuk dalam jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).
Bangsa Indonesia, dengan segala pencapaian yang diraihnya
harus diakui masih terbelakang dalam bidang iptek. Meski lebih dari 140 juta
pengguna telepon seluler, kita tidak menyumbang apa-apa dalam kemajuan
teknologi seluler. Sebelum ini, dalam produk otomotif yang digandrungi
masyarakat Indonesia juga tak banyak yang berasal dari karya putra bangsa.
Merek mobil yang lalu lalang di jalanan masih dari negara lain. Artinya, bangsa
ini hanya sebatas etalase bagi produk otomotif negara lain. Ironisnya lagi,
kondisi itu terjadi bukan hanya untuk produk-produk yang secara teknologi
Indonesia tidak mampu, tetapi juga untuk produk atau barang yang dalam negeri
memproduksinya. Simak saja, betapa produk agribisnis telah memenuhi pasar-pasar
kita.
Di luar produk konsumen, kita dihadapkan oleh realitas baru
bahwa kita hidup di 'cincin api' yang setiap kali harus menghadapi gempa bumi
dan letusan gunung api. Kita butuh banyak iptek kebumian. Kita butuh banyak
iptek energi, penanggulangan pemanasan global, peningkatan produktivitas
pertanian. Selain itu, bangsa ini juga seharusnya menguasai iptek peningkatan
industri serta ketangguhan pertahanan dan keamanan negara. Bahkan, teknologi
menjemput masa depan seperti teknologi nano belum menjadi concern negeri ini.
Penguasaan iptek berkembang menjadi faktor penentu daya
saing. Kompetisi tidak lagi dilandasi oleh kemampuan memproduksi barang dan
jasa secara lebih murah. Kompetisi memiliki dimensi yang lebih luas, terutama
dalam hal kualitas dan manfaat yang dirasakan penggunanya. Lebih dari itu,
menurut Hermawan Kertajaya, lakunya produk di pasaran dan kesetiaan klien
banyak ditentukan oleh inovasi pada faktor-faktor emosional, seperti warna,
bentuk, dan pelayanan, yang lebih mengutamakan kepuasan pembeli.
Contoh bentuk inovasi dalam pemasaran tersebut, banyak kita
lihat pada produk-produk teknologi informasi (TI) dan elektronika. Perkembangan
produk TI dan elektronika sangat cepat dibandingkan dengan produk
non-elektronik karena pada dasarnya dunia TI dan elektronika lebih cepat
melakukan inovasi sehingga selalu saja ada jenis dan fitur-fitur baru yang akan
memanjakan penggunanya.
Wallahu'alam
bhis-shawwab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar