Kamis, 03 Oktober 2013

Iptek, Bekal Kemajuan Bangsa

Iptek, Bekal Kemajuan Bangsa
Naniek Afrilla Framanik  ;  Staf Pengajar
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten
SUARA KARYA, 02 Oktober 2013


Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan, sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia, berpotensi masuk dalam jebakan berpendapatan menengah (middle income trap). Selain Indonesia, negara-negara yang juga rawan adalah China, India, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.

Tanda-tanda Indonesia rawan masuk dalam jebakan itu, di antaranya rasio investasi yang rendah, pertumbuhan manufaktur yang lambat, diversifikasi industri yang terbatas, dan kondisi pasar tenaga kerja yang buruk. Juga, tak kalah pentingnya adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang masih rendah. Terbukti, pekerja di Indonesia masih didominasi pekerja tidak sekolah dan tamat SD (49,4 persen) serta berpendidikan menengah (42,5 persen). Sedangkan yang berpendidikan tinggi hanya 8,1 persen. Indikator kesehatan penduduk Indonesia juga lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga. (Kompas, 13/5/2013)

Indikator lain yang mengkhawatirkan adalah rapuhnya struktur ekspor nasional yang didominasi produk berbasis sumber daya alam, terutama batu bara dan minyak nabati, dengan kontribusi masing-masing 17,2 persen dan 13,3 persen terhadap ekspor nasional. Hal ini membuat neraca perdagangan nonmigas kita rentan terhadap perubahan harga. Kondisi ini menuntut perubahan mendasar dan segera. Dalam konteks itu, Indonesia harus memiliki visi bersama agar terhindar dari jebakan stagnasi negara berpendapatan menengah. Pemerintah harus segera menyiapkan cetak biru (blueprint).

Hal mendesak yang mesti dilakukan adalah membangun sistem pendidikan berkualitas tinggi untuk mendorong kreativitas dan inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Dalam hal ini, pemerintah perlu meningkatkan belanja riset dan pengembangan (R&D) serta pendidikan tinggi. Selain itu, pemerintah harus banyak berinvestasi di bidang infrastruktur. Dengan memiliki infrastruktur yang memadai, konektivitas ekonomi akan terjalin dan lebih efisien, sehingga biaya logistik bisa ditekan.

Di bidang industri, pemerintah mesti menaikkan level industri manufaktur dari industri berteknologi rendah ke teknologi tinggi. Produk-produk hasil inovasi iptek harus mampu menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional. Lebih dari itu, orientasi ekspor harus diubah dari produk mentah ke produk jadi yang bernilai tambah tinggi. Pemerintah juga mesti menjadikan tenaga kerja berbasis produktivitas dan inovasi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi nasional.

Dukungan lain yang tidak kalah penting adalah pemimpin yang kuat, cetak biru pembangunan yang baik dan menjadi visi bersama bangsa, serta tingkat korupsi yang rendah. Kita yakin bila pemerintah konsisten dan berkomitmen penuh menjalankan strategi transformasi ekonomi tersebut, negeri ini bakal terhindar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Jika tidak serius berbenah dari sekarang, cita-cita Indonesia untuk naik kelas menjadi negara maju hanya akan menjadi sebatas utopia.

Ekonomi Indonesia yang tumbuh di atas 6 persen ketika banyak negara lain dirundung krisis, acap kali membuat para pejabat kita cepat berpuas diri. Sikap seperti itu berbahaya, karena menganggap seolah-olah perekonomian kita baik-baik saja, tanpa kekurangan sesuatu apa pun. Akibatnya, kebijakan yang dirancang pun cenderung ala kadarnya, bersifat jangka pendek, dan business as usual. Padahal, Indonesia menghadapi segunung masalah perekonomian. Sebagian menuntut penanganan segera dan sebagian lagi membutuhkan strategi besar yang bersifat jangka panjang. Indonesia harus segera merumuskan transformasi ekonomi. Jika tidak, Indonesia akan semakin jauh tertinggal, bahkan terancam masuk dalam jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).

Bangsa Indonesia, dengan segala pencapaian yang diraihnya harus diakui masih terbelakang dalam bidang iptek. Meski lebih dari 140 juta pengguna telepon seluler, kita tidak menyumbang apa-apa dalam kemajuan teknologi seluler. Sebelum ini, dalam produk otomotif yang digandrungi masyarakat Indonesia juga tak banyak yang berasal dari karya putra bangsa. Merek mobil yang lalu lalang di jalanan masih dari negara lain. Artinya, bangsa ini hanya sebatas etalase bagi produk otomotif negara lain. Ironisnya lagi, kondisi itu terjadi bukan hanya untuk produk-produk yang secara teknologi Indonesia tidak mampu, tetapi juga untuk produk atau barang yang dalam negeri memproduksinya. Simak saja, betapa produk agribisnis telah memenuhi pasar-pasar kita.

Di luar produk konsumen, kita dihadapkan oleh realitas baru bahwa kita hidup di 'cincin api' yang setiap kali harus menghadapi gempa bumi dan letusan gunung api. Kita butuh banyak iptek kebumian. Kita butuh banyak iptek energi, penanggulangan pemanasan global, peningkatan produktivitas pertanian. Selain itu, bangsa ini juga seharusnya menguasai iptek peningkatan industri serta ketangguhan pertahanan dan keamanan negara. Bahkan, teknologi menjemput masa depan seperti teknologi nano belum menjadi concern negeri ini.

Penguasaan iptek berkembang menjadi faktor penentu daya saing. Kompetisi tidak lagi dilandasi oleh kemampuan memproduksi barang dan jasa secara lebih murah. Kompetisi memiliki dimensi yang lebih luas, terutama dalam hal kualitas dan manfaat yang dirasakan penggunanya. Lebih dari itu, menurut Hermawan Kertajaya, lakunya produk di pasaran dan kesetiaan klien banyak ditentukan oleh inovasi pada faktor-faktor emosional, seperti warna, bentuk, dan pelayanan, yang lebih mengutamakan kepuasan pembeli.


Contoh bentuk inovasi dalam pemasaran tersebut, banyak kita lihat pada produk-produk teknologi informasi (TI) dan elektronika. Perkembangan produk TI dan elektronika sangat cepat dibandingkan dengan produk non-elektronik karena pada dasarnya dunia TI dan elektronika lebih cepat melakukan inovasi sehingga selalu saja ada jenis dan fitur-fitur baru yang akan memanjakan penggunanya. 

Wallahu'alam bhis-shawwab. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar