Rabu, 16 Oktober 2013

Hukum dan Hakim

Hukum dan Hakim
Sulistyowati Irianto  Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
KOMPAS, 16 Oktober 2013


BAGAIMANAKAH penjelasan akademik tentang problematika hakim di Indonesia yang berimplikasi pada buruknya putusan?

Mengapa tidak banyak putusan hakim bernilai keadilan tinggi dan luhur? Malah sebaliknya, ada begitu banyak yang buruk karena cacat integritas dan berdampak merugikan orang banyak. Apa yang salah?

Mulut undang-undang   

Hakim di Indonesia masih memegang kuat adagium: ”Hakim adalah mulut undang-undang”. Diadopsi dari hukum Belanda, hal ini dipercaya sebagai konsekuensi sistem hukum kodifikasi (Kontinental). Inilah penyebab ”kemandekan” hukum kita. Hakim tidak berani melakukan terobosan ketika undang-undang tidak lagi menampung rasa keadilan masyarakat. Atas nama teks undang-undang, hakim lebih 
mementingkan terpenuhinya standar dan prosedur.

Kurang disadari para hakim bahwa keadilan hukum tidak identik dengan keadilan substansial. Keadilan hukum ”sekadar” memenuhi standar dan prosedur, sedangkan keadilan substansial adalah terpenuhinya rasa keadilan masyarakat.

Logika keadilan hukum berpotensi memunculkan korban hukum, terutama orang miskin yang melakukan kriminal kecil. Sangat mudah membuktikan ”kejahatan” orang miskin hanya dengan mencocokkan hasil penyidikan polisi, tuduhan jaksa, tersedianya barang bukti, dan bunyi undang-undang.

Sebaliknya pembuktian materiil dan terpenuhinya standar dan prosedur hukum itu bisa sangat manipulatif, apabila dimuati kepentingan dan uang. Terlalu banyak contoh tindakan korupsi, yang tidak bisa dihukum karena dalih tidak terpenuhinya unsur kejahatan. Padahal perbuatan korupsi dalam realitas jauh lebih luas cakupannya daripada unsur yang didefinisikan dalam UU No 31/1999, yaitu ”perbuatan menguntungkan diri sendiri/kelompok, penyalahgunaan kekuasaan, dan ada kerugian negara”. Karena sempitnya definisi, hanya kasus berskala besar, itu pun berkat keberanian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), korupsi dapat dibongkar.

Korban hukum berikutnya adalah mereka yang tidak punya kuasa dan dikalahkan di pengadilan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas kasus pilkada yang kemudian terbukti cacat sekalipun dianggap harus tetap dijalankan karena merupakan putusan final. Padahal, sudah jelas merugikan masyarakat luas dan membodohi akal sehat.

Pada masa kini, adagium ”hakim sebagai mulut undang-undang” sudah ditinggalkan, bahkan di negara dengan sistem hukum Kontinental sekalipun, seperti Belanda, yang akar hukumnya sama dengan hukum kita. Sekarang di Belanda, putusan hakim semakin dianggap sebagai sumber hukum yang penting. 

Dengan demikian, terjadi pertemuan yang semakin dekat antara sistem common law dan Kontinental. Sangat disadari bahwa hakim itu memiliki kedudukan strategis sebagai pembuat hukum kedua (secondary legislature), setelah parlemen (primary legislature). Hakim berkesempatan emas membuat hukum baru melalui putusan-putusannya, apalagi saat hukum tidak memadai.

Problem yuridis

Sorotan masyarakat terhadap hakim sangat tajam karena kinerja hakim yang lemah. Namun, tidak sepenuhnya hakim salah karena di samping problem paradigmatis di atas, hakim juga diposisikan secara keliru oleh hukum kita. Amandemen ketiga UUD 1945 menyerahkan kekuasaan kehakiman sepenuhnya kepada lembaga Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan di bawahnya (Pasal 24 Ayat 1 dan 2), dikuatkan SEMA 2005. Kemandirian hakim secara individual tidak diatur tegas, padahal hakim membutuhkannya dalam menjalankan fungsi yudisial.

Posisi ini melahirkan relasi atasan-bawahan antara hakim dan ketua pengadilan, mengaburkan posisi kekuasaan kehakiman dan kemandirian hakim. Dalam mengadili perkara, hakim lebih mengabdi kepada kepentingan birokrasi (atasan) daripada memberi putusan sesuai dengan keyakinan keadilannya. Hakim takut dinilai oleh atasan dan Komisi Yudisial (KY). Tentu ada banyak hakim baik dan progresif, tetapi mereka tidak berdaya. Apalagi reformasi birokrasi yang menggabungkan urusan administrasi dan yudisial di bawah satu atap MA; tidak sepenuhnya berhasil. MA hanya menggantikan tirani kekuasaan pemerintah (Kemenkumham), terutama dalam menentukan mutasi dan promosi hakim.

Komisi Yudisial

Ketika ketidakpercayaan masyarakat kepada hakim semakin memuncak seperti saat ini, muncul upaya menghidupkan kembali kewenangan pengawasan eksternal KY terhadap hakim, yang pernah dicabut MK. Barangkali inisiatif ini akan terhadang oleh klausul tentang putusan MK adalah final. Namun, apabila interpretasi terhadap ketentuan ini tidak steril dari realitas, dapat saja dicarikan strategi hukumnya.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana transparansi dan akuntabilitas KY sehingga kita bisa percaya bahwa mereka mampu melakukan fungsinya? Harus dapat dipastikan bahwa komisioner KY adalah mereka yang memiliki karakter negarawan, berintegritas, serta berpengetahuan luas tentang instrumen hukum dan hak asasi manusia, termasuk perempuan.


Tidak kalah pentingnya adalah keberanian menyuarakan penyimpangan hakim agar putusan dapat dipertanggungjawabkan kepada hukum dan publik pencari keadilan. Sebaliknya, KY juga harus memiliki mekanisme untuk mengapresiasi hakim yang jujur dan bermartabat sebab merekalah yang menjadi benteng terakhir penjaga keadilan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar