|
Baru-baru
ini kembali ramai disorot soal dinasti politik Ratu Atut, Gubernur Banten.
Suami Atut, Hikmat Tomet, adalah anggota Komisi V DPR. Anak Atut, Andika
Hazrumy, adalah anggota DPD dari Provinsi Banten periode 2009-2014. Adik
kandung Atut, Ratu Tatu Chasanah, adalah Wakil Bupati Serang periode 2010-2015.
Airin Rachmi Diany, istri adik Atut, Tubagus Chaeri Wardana, adalah Wali Kota
Tangerang Selatan periode 2011-2016. Menantu Atut, Ade Rossi Khoerunisa, yang
juga suami dari anak Atut, Andika Hazrumy, adalah Wakil Ketua DPRD Kota Serang
periode 2009-2014.
Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyinggung masalah dinasti politik, meskipun tidak
secara tersurat menyebut kasus Banten, ternyata dia sendiri juga menciptakan
hal sama di partai yang dipimpinnya, Partai Demokrat.
Terbukti,
dalam Daftar Caleg Tetap (DCT) yang ada di data KPU, tercatat sebanyak 15 orang
caleg Partai Demokrat merupakan keluarga besar Cikeas. Anak bungsunya, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) adalah
Sekretaris Jenderal (Sekjen) di Partai Demokrat.
Maka, ibarat pepatah, menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri.
Menarik
dicermati, pada saat demokrasi sedang bersemi, yang antara lain membuahkan
desentralisasi kekuasaan, menggantikan sentralisasi kekuasaan di zaman Orde
Baru (Orba), justru muncul dinasti-dinasti politik di daerah-daerah.
Secara
perlahan, tampak mulai merangkak ke pemerintahan pusat. Nepotisme yang dulu
coba diruntuhkan gerakan reformasi 1998, tampaknya mulai bertumbuhan dan mekar
bersemi lagi tanpa disadari.
Model
Monarki
Dinasti
politik secara umum merujuk pada struktur kekuasaan model kerajaan atau monarki
dahulu, di mana suatu keluarga mendominasi di dalamnya, dengan menempatkan
orang-orang yang punya ikatan kerabat di tempat atau posisi penting kekuasaan.
Banyak motif model ini dilakukan.
Utamanya
adalah melanggengkan kekuasaan. Atau, berharap kekuasaan terwariskan kepada
anggota keluarga, tidak jatuh kepada pihak lain. Demokrasi memang tetap
digunakan, misalnya melalui penyelenggaraan pemilu, tetapi mesin-mesinnya sudah
di bawah kontrol keluarga penguasa.
Berbagai
argumentasi dikemukakan untuk mendukung kekuasaan model dinasti politik
tersebut. Antara lain, dianggap memudahkan dan mempercepat realisasi program
yang dirancang penguasa.
Hubungan
antarlembaga juga akan terlihat harmonis tanpa “konflik” karena ada ikatan
keluarga di situ. Jadi, meminimalisasi perdebatan dan penentangan
berkepanjangan, misalnya di parlemen, yang dikhawatirkan menjadi penghambat.
Banyak terjadi, program-program yang telah dirancang bisa mentah di parlemen.
Dengan menempatkan anggota keluarga di parlemen, diharapkan ini tidak terjadi.
Sekilas
argumentasi tersebut bisa diterima. Namun, jika dicermati lebih lanjut, banyak
ditemukan lubang-lubang rawan dan berbahaya yang justru bisa merusak sistem
demokrasi yang berintikan pada daulat rakyat, memunculkan potensi korupsi serta
penyalahgunaan atau penyelewengan kekuasaan
demi
kepentingan kelompok tertentu. Demokrasi jelas berbeda dengan sistem dinasti.
Demokrasi berakar dari rakyat, sementara dinasti berakar dari kekuatan
keluarga. Aspek meritokrasi bisa terabaikan dalam model kekuasaan dinasti,
karena yang jadi pertimbangan bukan prestasi atau kualitas, tetapi kekerabatan.
Sementara demokrasi sesungguhnya menjunjung tinggi meritokrasi.
Potensi
terjadinya korupsi dan penyelewengan kekuasaan juga besar dalam model dinasti
politik. Akuntabilitas publik pun akan banyak terabaikan. Alih-alih rakyat
berharap keterbukaan dalam penyelenggaraan kekuasaan, dalam model dinasti
justru tertutup rapat.
Fungsi
pengawasan parlemen juga akan menjadi lemah dan cenderung tidak kritis.
Penyelenggaraan kekuasaan terlihat lebih sebagai sebuah proyek besar keluarga
daripada proyek bersama untuk kepentingan bersama pula. Tender-tender proyek
penguasa pun menjadi tidak fair, karena yang menang adalah bagian dari anggota
keluarga juga.
Jadi,
seperti sudah terencanakan sedari mula. Pada gilirannya, kekuasaan menjadi seperti
tersentralisasi pada satu poros dalam satu lingkaran. Ini berbahaya bagi masa
depan demokrasi. Ini dapat menjadi benih-benih munculnya kembali monarki, di
mana kekuasaan dipegang oleh seseorang yang layaknya raja dengan struktur
kekuasaan hingga tingkat bawah
digenggam para kerabatnya. Jika demokrasi diterjemahkan sebagai daulat rakyat,
dengan kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat; maka dalam dinasti politik
kekuasaan dipegang oleh suatu keluarga yang akan terwariskan atau terus-menerus
memegang kekuasaan, pada saat yang bersamaan.
Betul
bahwa dalam sejarahnya, Indonesia yang masih dikenal bernama kepulauan
Nusantara, pernah terdiri dari banyak kerajaan atau kekuasaan monarki.
Tetapi,
kemudian semuanya sepakat lebur dalam Indonesia yang memilih sistem demokrasi
setelah Proklamasi kemerdekaan pada Agustus 1945, di mana rakyat menjelma dalam
partai-partai politik, dan berperan di situ, sebagai wujud dari penghormatan
dan penghargaan terhadap masing-masing individu warga yang bebas. Sebelum
kemerdekaan, partai sebenarnya juga sudah ada. Misalnya, Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
Dalam
demokrasi, meritokrasi yang dikedepankan, bukan kedekatan keluarga atau patron
klien. Meritokrasi melahirkan sosok-sosok berkualitas yang telah melalui
“seleksi alam” yang kuat dan ketat. Seseorang dipilih bukan karena kedekatan
keluarga, tetapi karena prestasi, kapabilitas, integritas, dan seterusnya.
Dalam
demokrasi yang berkualitas, partai politik bekerja keras mencari dan menyeleksi
calon-calon penguasa yang berkualitas, bukan berpikir pragmatis mendukung
seseorang karena alasan kedekatan keluarga. Mereka terlalu cepat mengambil
kesimpulan bahwa popularitas seseorang berjalin berkelindan dengan kedekatan
keluarga penguasa.
Dinasti
politik akan banyak menyimpan potensi masalah ke depan karena minimnya
akuntabilitas dan transparansi. Dalam konteks Ratu Atut di Banten, misalnya,
berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), anggaran hibah pada 2010
sebesar Rp 68 miliar belum dipertanggungjawabkan.
Adapun
anggaran 2011 sebesar Rp 56,5 miliar belum dilaporkan penggunaannya. Untuk dana
bantuan sosial BPK juga menilai janggal ihwal pengucuran dana Rp 7,8 miliar.
Disebutkan
juga bahwa proyek pemerintah senilai lebih dari Rp 1 triliun dipegang oleh
keluarga Ratu Atut. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal ini jelas
perlu menelusuri lebih lanjut. Ini baru di Banten, bagaimana dengan di
tempat-tempat lainnya? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar