|
LANGKAH
Bank Indonesia (BI) yang kembali memperketat persyaratan penyaluran kredit
pemilikan rumah (KPR) per 1 September 2013, membuat pengembang cemas.
Peraturan
baru yang merupakan penajaman dari Surat Edaran BI Nomor 14/10/DPNP tanggal 15
Maret 2013 tentang Penetapan Loan to
Value (LTV)- Uang Muka Maksimal 70% untuk Rumah Tipe 70 ke Atas tersebut
mengharuskan calon konsumen yang sebelumnya sudah memiliki rumah, untuk
memperbesar uang muka (down payment/DP)
hingga lebih dari 50%.
Pengetatan
uang muka KPR itu dengan sistem berjenjang atau progresif, yakni 30% untuk
pembelian rumah pertama, 40% untuk pembelian rumah kedua, 50% untuk kepemilikan
rumah ketiga, dan seterusnya. Langkah itu terasa menjadi antitesis di tengah
semangat pengembang dan pelaku industri perbankan untuk mempertahankan diri di
tengah gejolak krisis global yang belakangan ini mulai menjalar ke Indonesia.
Dengan
adanya regulasi baru itu, portofolio KPR perbankan mengecil, dan pengembang,
kesulitan untuk segera mengeksekusi rumah yang dijual karena konsumen belum
bisa melunasi uang muka yang berjumlah lebih besar. Padahal, pengembang sudah
lebih dulu dibuat cemas ketika pemerintah menaikkan harga BBM diikuti
kemenaikan harga bahan bangunan.
Adapun
BI beralasan pengetatan uang muka KPR karena pasar properti Indonesia dalam
bayang-bayang gelembung (bubble).
Benarkah pasar properti nasional sudah menggelembung? Dalam laporan properti BI
(2011), penggelembungan properti (bubble
property) merupakan keadaan ketika harga-harga properti naik secara tidak
wajar.
Jika
kondisi ini dibiarkan memang akan diikuti dengan ambruknya perekonomian secara
menyeluruh sehingga timbul masalah nasional berupa resesi ekonomi. Melihat
kondisi perekonomian dalam negeri berdasarkan indikator makro dan mikro serta
kondisi struktur KPR terkini, kekhawatiran terhadap ancaman bubble property
masih jauh panggang dari api.
Bank
sentral berkesan terburu-buru dan paranoid bahwa negeri ini akan mengalami
krisis subprime mortgage seperti Amerika Serikat tahun 2010 akibat pembelian
rumah menggunakan KPR hanya sebagai alat investasi dan spekulasi. Yang mesti
menjadi perhatian BI adalah mayoritas masyarakat Indonesia masih membeli rumah
dengan fasilitas KPR sebagai kebutuhan.
Tak
sampai 2% kelompok masyarakat yang membeli rumah sebagai bentuk investasi.
Namun investasi itu pun bukan bersifat spekulatif seperti di AS tahun 2010
silam, melainkan mereka benar-benar memiliki kesungguhan dan kemampuan
penghasilan untuk membayar satu atau beberapa angsuran KPR tiap bulan secara
tepat waktu.
Baru
setelah harga properti itu naik, mereka menjualnya dengan selisih harga yang
cukup tinggi dibanding pada saat awal membeli. Jadi, selisih harga itulah yang
diambil sebagai keuntungan, bukan dari cara menyimpang. Berdasarkan data BI
hingga akhir triwulan I/ 2013, posisi penyaluran KPR bank umum justru menurun
dibanding periode sama tahun sebelumnya, yakni menjadi 9,04% dari total kredit
atau Rp 262,96 triliun.
Pertumbuhan
KPR dalam 3 tahun terakhir pun cenderung melambat, yakni 31,87% pada tahun
2011, menurun jadi 22,44% tahun 2012, dan menurun lagi jadi 17,66% per Mei
2013. Besar kredit properti saat ini pun masih tak lebih dari 3% terhadap
produk domestik bruto (PDB). Selain itu, kita justru dihadapkan pada fakta
bahwa pasokan hunian hingga kini masih kurang. Berdasar data BPS, kebutuhan
rumah saat ini 13,6 juta unit atau masih ada backlog hingga 7,1 juta.
Adapun
kebutuhan rumah baru 800.000 unit tiap tahun, padahal pasokan hanya 400.000.
Andai masyarakat membeli rumah kedua atau ketiga, rata-rata diakibatkan karena
mereka pindah tempat dinas ataupun pindah kerja di institusi/perusahaan lain.
Pertumbuhan Perbankan
Mengingat
dampak negatif yang kompleks dari pengetatan uang muka KPR, seyogianya Bank
Indonesia merevisi kebijakan tersebut guna memacu akselerasi pertumbuhan
perbankan seperti diharapkan BI, di tengah kondisi perekonomian yang bergejolak
belakangan ini. Salah satu upaya yang perlu dilakukan saat ini, yakni
menetapkan regulasi yang bisa membuat pertumbuhan dana pihak ketiga dan
pertumbuhan kredit terus berjalan beriringan.
Menjadi
tidak sehat bagi bank jika pertumbuhan dana pihak ketiga justru melonjak tajam
ketimbang pertumbuhan kredit karena tingginya ketertarikan masyarakat
menempatkan dana deposito di bank akibat suku bunga yang sedang tinggi
dibanding instrumen-instrumen investasi lain.
Bila
Bank Indonesia memandang pelemahan nilai tukar rupiah dan persoalan inflasi
akan menaikkan suku bunga acuan KPR maka akan lebih baik bila bank sentral itu
mengharuskan tiap bank untuk menetapkan batas tertinggi bunga KPR mengambang
untuk diterapkan kepada semua nasabah.
Terkait
harga rumah yang makin mahal, BI hendaknya menjalin komunikasi dengan institusi
pemerintah lain, terutama Kementerian Perdagangan, Badan Pertanahan Nasional,
dan badan/kantor pelayanan perizinan terpadu di pemkot/pemkab, supaya menekan
harga tanah termasuk menjamin kemudahan perizinan, dan harga material bangunan
baik lokal maupun impor, minimal tidak naik secara drastis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar