Rabu, 04 September 2013

Model Transparansi Perekrutan CPNS

Model Transparansi Perekrutan CPNS
Tasroh PNS, Mantan Anggota Tim Seleksi CPNS Pemkab Banyumas,
Alumnus Ritsumeikan APU, Jepang
JAWA POS, 04 September 2013



Setelah hampir dua tahun menghentikan sementara (moratorium) seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS), pada 2013 ini, pemerintah merekrut CPNS secara besar-besaran. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) menyebutkan, 65 ribu CPNS akan direkrut dari jalur umum dan 200 ribu dari tenaga honorer kategori 2 (K-2. Itu adalah peserta tersisa berdasar PP 48/2005 yang diubah menjadi PP No 43/2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS (JPNN, 3/9/2013).

Seleksi CPNS pada tahun ini (2013) amat kental berbau ''politik'' karena, setidaknya dilihat dari segi jumlah tenaga asal-usul CPNS, 70 persen didominasi oleh tenaga honorer. Misalnya, di antara 542 pemerintah daerah di Indonesia yang merekrut CPNS pada 2013 ini, ternyata ''hanya'' 98 pemda yang merekrut dari jalur umum. 

Ada baiknya kita belajar dari negara maju. Mengingat begitu strategisnya peran, tugas, dan kewenangan aparatur negara serta pemerintahan, negara maju melakukan seleksi amat ketat secara berjenjang. Pakar administrasi publik dari Ritsumeikan Asia Pacific University (APU) Tadashi Hinagara dalam Japan Public Official Performance (2009) menyebutkan, setiap tahun pemerintah Jepang menyeleksi tenaga pegawai pemerintahannya dengan amat keras dan kompleks. 

Pertama, dicari bibit-bibit unggul, khususnya secara psikologis. Itu mencakup kompetensi empati, simpati, kepedulian sosial, kedisiplinan, dinamika diri, integritas , kejujuran, dan profesionalitas, serta track record perilaku keseharian. Nilai-nilai diutamakan dalam uji kompetensi karena itulah yang menentukan mutu kerja dan kinerja mereka.

Kedua, kompetensi sosial-intelektual dan analisis lingkungan strategis. Kompetensi tersebut bermakna sebagai modal dasar calon pegawai negara/pemerintahan untuk melayani masyarakat sesuai dengan dinamika sosial strategis. Biasanya seleksi diserahkan kepada kalangan tim seleksi pihak ketiga yang sudah teruji dan independen. Instansi dan lembaga pemerintah tinggal menikmati hasilnya. Untuk tujuan tersebut, proses seleksi dilakukan dengan prinsip-prinsip good governance, khususnya transparansi, di setiap tahap seleksi.

Bukan Rahasia Negara 

Yang menarik, materi uji seleksi amat rahasia dan tidak dapat ditembus oleh siapa pun dengan sistem yang amat ketat. Tetapi, di sisi lain, prosedur dan prasyarat menjadi CPNS lebih sederhana dan usia boleh mencapai 45 tahun. Setelah gelaran seleksi secara nasional, setiap peserta seleksi diberi kesempatan mengakses hasil ujian/tes pada masa pengumuman seleksi. Panitia seleksi menyediakan ruang dan waktu khusus untuk menerima keluhan, kritik, dan sanggahan dari pelamar sejak dini sebagai bagian dari proses kejujuran dan transparansi proses seleksi CPNS itu sendiri. 

Bahkan, pada masa pengumuman seleksi, setiap calon tahu betul mengapa dirinya tidak lolos atau lolos de­ngan skor berapa karena panitia seleksi mengirimkan standar nilai kelulusan secara jujur dan transparan. Langkah itu sekaligus menjawab sangkaan publik yang tidak perlu seperti kecurangan, jual beli nilai ujian, hingga manipulasi dan mafia/calo CPNS. Siapa yang lulus dan tidak lulus dibuka secara benderang kapan dan di mana pun. Tidak ada ''rahasia negara'' melekat pada proses transparansi skor nilai standar kelulusan CPNS.

Proses seleksi di Indonesia sering hanya ''berjanji'' melakukan secara transparan, para pejabatnya bersumpah tidak ada kecurangan, tetapi model dan tahapan setiap proses seleksi CPNS belum benar-benar transparan. Lihat, misalnya, masih ''rahasianya'' seorang CPNS mengakses skor nilai seleksi, rumitnya prosedur komplain, serta lambatnya penanganan tindak lanjut pengembangan diri CPNS bersangkutan. Mereka harus beperkara dulu di Komisi Informasi Pusat (KIP) untuk mengakses dokumen itu. 

Banyak kritik dan keluhan tentang manipulasi data pengalaman bekerja di di suatu instansi, khususnya bagi persyaratan seleksi CPNS dari tenaga honorer. Sebanyak 60 persen tenaga honorer terbukti abal-abal dalam memenuhi syarat ''pengabdian'' sebagaimana pernah ditengarai oleh Kementerian PAN-RB. Sedihnya, pemerintah tetap meloloskan mereka. Juga belum terlihat ada upaya sistemik untuk benar-benar memperbaiki mekanisme yang selama ini banyak yang ''abu-abu''. 

Akibatnya, mutu kerja dan kinerja PNS dipastikan tetap ala kadarnya, hobi bermewah-mewah dan korupsi, serta kurang peka dengan lingkungan sosialnya. Sebab, ''bahan dasar'' dan prosesnya tidak digodok sesuai nilai-nilai good governance. Jadi, berhentilah memilih CPNS sekadar mengisi formasi dan pos-pos yang kosong dan mulailah membangun transparansi seleksi yang lebih ketat agar bisa memakmurkan rakyat. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar