|
Tanah Abang itu unik. Ia pasar tekstil
terbesar di Asia Tenggara. Tetapi selama bertahun-tahun pasar itu bagai gadis
cantik yang diabaikan orang tuanya, tetapi dikerubuti banyak orang yang seolah
hendak ‘memerkosanya’. Bagaimana tidak, gubernur berganti gubernur, selama
belasan tahun ia selalu kumuh, ruwet, dan macet. Baru pada era pemerintahan DKI Jakarta di bawah Jokowi-Ahok ini orang
bisa berharap pasar itu bisa lebih ayu dari sebelumnya.
Sebagaimana ramai diberitakan, pasangan Jokowi-Ahok berhasil
membersihkan jalanan sekitar Tanah Abang yang selama ini dipakai para Pedagang
Kaki Lima (PKL) untuk berjualan, tanpa peduli kemacetan yang diakibatkannya.
Berkat gebrakan itu, banyak pihak menunjukkan dukungannya. PT KAI,
misalnya, siap merenovasi stasiun kereta Tanah Abang. Demikian pula pihak
Pekerjaan Umum (PU). Guna mendukung penataan kawasan Pasar Tanah Abang itu,
Suku Dinas PU Tata Air Jakarta Pusat menyatakan akan menormalisasi saluran air
di kawasan tersebut -- sehingga diharapkan, kawasan Tanah Abang semakin tertata
baik.
Yang juga menarik adalah, bahwa calon presiden Prabowo Subianto pun
menunjukkan keberpihakannya kepada Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama.
"Perjuangan ini memang berat, tetapi kita tidak boleh gentar. Selama
saudara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berjuang mewujudkan pemerintahan yang
membela rakyat, pemerintahan yang melawan para koruptor, para perampok, para
penjahat, dan para penjebol uang rakyat, maka selama itulah saya bersedia
pasang badan mendukung perjuangan Ahok," tulis Prabowo dalam pernyataannya
di Facebook yang dikutip media.
Problem
Koordinasi
Dari pengamatan kita, bisa dikatakan konflik di seputaran Tanah Abang
ini menyangkut dua hal. Pertama adalah masalah politik dan kekuasan, yang
berkaitan dengan ketegasan pemimpin daerah, Gubernur DKI Jakarta, Wakilnya, dan
semua jajaran mereka yang berkuasa di Jakarta -- dan hubungan mereka dengan
legislatif atau pun pihak-pihak yang berkompeten lainnya. Sejauh catatan yang
ada, persoalan ini tampaknya mulai dapat diurus secara lebih baik, karena ada
ketegasan, mungkin juga ketulusan pimpinan pemerintahan DKI.
Kedua, yang tidak kalah pentingnya, sesungguhnya persoalan PKL Tanah
Abang merupakan perkara komunikasi yang menyangkut hubungan koordinasi antara
sejumlah orang dan berbagai kelompok yang terlibat.
Sangat boleh jadi, yang selama ini terjadi di Tanah Abang itu --
terlepas dari muatan politisnya -- adalah tidak adanya koordinasi di antara
orang-orang dan kelompok yang ada. Selain itu, pendekatan yang dipakai dalam
koordinasi tadi rupanya terlalu menekankan pada komunikasi atas-bawah
(top-down) dan bukannya bottom-up, sehingga tidak bisa memuaskan sebagian besar
(kalau tidak semua) pihak berpekepentingan.
Padahal, untuk sebuah problem koordinasi, yang harus dilakukan adalah
pendekatan komunikasi dari bawah-ke atas (bottom-up),
apalagi karena perkara ini menyangkut masyarakat luas, termasuk para pedagang,
juru parkir, sopir angkutan publik, para pembeli, dan sebagainya.
Sesungguhnya, ketika bicara koordinasi dalam komunikasi pubik adalah
seperti melihat fenomena para pejalan kaki (pedestrian)
yang menyeberang jalan. Para pedestrian bahkan di kota seramai New York pun,
misalnya, bisa mengkoordinasikan diri mereka. Coba saja perhatikan: ratusan
orang bergerak secara bersamaan, menyeberang jalan dari dua arah yang
berlawanan, tetapi semuanya seperti mengantisipasi satu-sama-lain, sehingga
tidak ada yang bertabrakan.
Saat itu, tidak ada seorang pun yang menyuruh atau memberi aba-aba,
saat kapan dan di mana harus bergerak. Semuanya mengambil keputusan cepat,
bergerak ke kanan, kiri, melambat, lalu melangkah cepat, berdasarkan pada
'perkiraan terbaik' pada 'apa yang akan dilakukan orang lain'. Di sini memang
ada semacam 'kecerdasan kolektif' yang berperan, ketika para penyeberang jalan
itu melihat pada bahu orang-orang di depan mereka.
Sebagai contoh 'problem koordinasi', fenomena penyeberang jalan itu
sejatinya terjadi dalam banyak sisi kehidupan kita sehari-hari, termasuk dalam
mengatur kesemrawutan di sekitar pasar. Kapan Anda mesti berangkat kerja? Di
mana kita hendak makan siang nanti? Bagaimana mengalokasikan kursi di bus yang
kita tumpangi? Itu semua masalah koordinasi.
Begitu pula banyak pertanyaan mendasar yang mesti diselesaikan sistem
ekonomi mana pun -- semuanya menyangkut problem koordinasi. Siapa akan kerja di
mana; Berapa banyak yang harus diproduksi sebuah pabrik; Bagaimana kita
memastikan bahwa masyarakat mendapatkan layanan bermutu yang mereka inginkan?
Begitu pula yang muncul di Tanah Abang. Siapa yang harus mengatur
para PKL, ke mana mereka dipindahkan, kapan dilakukan (sesudah lebaran,
misalnya), bagaimana cara memindahkan mereka secara bersama-sama, dan bagaimana
mengelola dampaknya, dan sebagainya. Semua itu problem koordinasi -- dan itu
hanya akan berhasil secara jangka panjang bila Pemda DKI terus mendengarkan
berbagai masukan dari 'bawah' dan bertahan dalam mengkapitalisasi kecerdasan
kolektif semua unsur yang terlibat.
Sebagaimana
dikemukakan James Surowiecki dalam The Wisdom of Crowdyang
menentukan dalam menyelesaikan problem koordinasi adalah, bahwa seseorang harus
berpikir bukan hanya yang ia yakini sebagai jawaban yang benar, tetapi juga
(mengantisipasi) apa yang dipikirkan orang-orang lain sebagai jawaban yang
benar. Itu karena apa yang dilakukan setiap orang akan berdampak dan tergantung
kepada yang dilakukan setiap orang lain, dan demikian pula sebaliknya.
Jika seorang gubernur tidak mengantisipasi 'apa yang dianggap benar'
-- otomatis juga 'apa yang nantinya akan dilakukan' -- oleh para pedagang dan
pembeli di Kaki Lima, serta pihak-pihak terkait lainnya, misalnya, sulit
kiranya ia bisa melakukan koordinasi dengan baik.
Guna memperoleh solusi yang baik, lazimnya problem koordinasi
melibatkan institusi, norma-norma, dan sejarah, yakni faktor-faktor yang
mewujudkan perilaku kerumunan (sekelompok) orang dan dibentuk olehnya.
Kemudian, pengambilan keputusan secara terpisah (independen) dalam
koordinasi adalah mustahil, sebab 'apa yang ingin saya lakukan' tergantung
kepada 'apa yang saya pikir akan Anda lakukan', dan sebaliknya.
Maka, sejalan dengan itu, dalam kasus Tanah Abang ini, jika hendak
berhasil mendapatkan solusi cerdas, maka pemimpin seperti Ahok hendaknya tidak
'bertindak sendirian', meski pun dalam hal ini ia melakukannya tanpa pamrih
'mencari keuntungan pribadi' sekali pun.
Sebab, itulah sifat alami problem koordinasi: ia bukan soal yang
mudah dipecahkan, dan menghasilkan 'sebuah jawaban' yang baik adalah suatu
kejayaan.
Ketika apa yang hendak dilakukan orang banyak tergantung kepada apa
yang akan diperbuat setiap orang lain, maka setiap keputusan akan memengaruhi
keputusan berikutnya (yang lain), dan tidak ada sumber daya dari luar yang
dapat mengerem putaran spiral-refleksif itu.
Walhasil, inti solusi berbagai masalah kita -- termasuk saat
mengelola pasar tekstil sehebat Tanah Abang -- adalah menjawab pertanyaan yang
sama: bagaimana orang-orang secara sukarela, tanpa ada yang memberikan komando,
melakukan tindakan yang cocok bersama sejumlah orang lain dengan cara yang
efisien dan teratur? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar