Sabtu, 24 Agustus 2013

Tanah Abang

Tanah Abang
Syafiq Basri Assegaff ;    Konsultan Komunikasi, Pengajar di Universitas Paramadina dan The London School of Public Relations, Jakarta
INILAH.COM, 22 Agustus 2013

Tanah Abang itu unik. Ia pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara. Tetapi selama bertahun-tahun pasar itu bagai gadis cantik yang diabaikan orang tuanya, tetapi dikerubuti banyak orang yang seolah hendak ‘memerkosanya’. Bagaimana tidak, gubernur berganti gubernur, selama belasan tahun ia selalu kumuh, ruwet, dan macet. Baru pada era pemerintahan DKI Jakarta di bawah Jokowi-Ahok ini orang bisa berharap pasar itu bisa lebih ayu dari sebelumnya.

Sebagaimana ramai diberitakan, pasangan Jokowi-Ahok berhasil membersihkan jalanan sekitar Tanah Abang yang selama ini dipakai para Pedagang Kaki Lima (PKL) untuk berjualan, tanpa peduli kemacetan yang diakibatkannya.
Berkat gebrakan itu, banyak pihak menunjukkan dukungannya. PT KAI, misalnya, siap merenovasi stasiun kereta Tanah Abang. Demikian pula pihak Pekerjaan Umum (PU). Guna mendukung penataan kawasan Pasar Tanah Abang itu, Suku Dinas PU Tata Air Jakarta Pusat menyatakan akan menormalisasi saluran air di kawasan tersebut -- sehingga diharapkan, kawasan Tanah Abang semakin tertata baik.
Yang juga menarik adalah, bahwa calon presiden Prabowo Subianto pun menunjukkan keberpihakannya kepada Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. "Perjuangan ini memang berat, tetapi kita tidak boleh gentar. Selama saudara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berjuang mewujudkan pemerintahan yang membela rakyat, pemerintahan yang melawan para koruptor, para perampok, para penjahat, dan para penjebol uang rakyat, maka selama itulah saya bersedia pasang badan mendukung perjuangan Ahok," tulis Prabowo dalam pernyataannya di Facebook yang dikutip media.
Problem Koordinasi
Dari pengamatan kita, bisa dikatakan konflik di seputaran Tanah Abang ini menyangkut dua hal. Pertama adalah masalah politik dan kekuasan, yang berkaitan dengan ketegasan pemimpin daerah, Gubernur DKI Jakarta, Wakilnya, dan semua jajaran mereka yang berkuasa di Jakarta -- dan hubungan mereka dengan legislatif atau pun pihak-pihak yang berkompeten lainnya. Sejauh catatan yang ada, persoalan ini tampaknya mulai dapat diurus secara lebih baik, karena ada ketegasan, mungkin juga ketulusan pimpinan pemerintahan DKI.
Kedua, yang tidak kalah pentingnya, sesungguhnya persoalan PKL Tanah Abang merupakan perkara komunikasi yang menyangkut hubungan koordinasi antara sejumlah orang dan berbagai kelompok yang terlibat.
Sangat boleh jadi, yang selama ini terjadi di Tanah Abang itu -- terlepas dari muatan politisnya -- adalah tidak adanya koordinasi di antara orang-orang dan kelompok yang ada. Selain itu, pendekatan yang dipakai dalam koordinasi tadi rupanya terlalu menekankan pada komunikasi atas-bawah (top-down) dan bukannya bottom-up, sehingga tidak bisa memuaskan sebagian besar (kalau tidak semua) pihak berpekepentingan.
Padahal, untuk sebuah problem koordinasi, yang harus dilakukan adalah pendekatan komunikasi dari bawah-ke atas (bottom-up), apalagi karena perkara ini menyangkut masyarakat luas, termasuk para pedagang, juru parkir, sopir angkutan publik, para pembeli, dan sebagainya.
Sesungguhnya, ketika bicara koordinasi dalam komunikasi pubik adalah seperti melihat fenomena para pejalan kaki (pedestrian) yang menyeberang jalan. Para pedestrian bahkan di kota seramai New York pun, misalnya, bisa mengkoordinasikan diri mereka. Coba saja perhatikan: ratusan orang bergerak secara bersamaan, menyeberang jalan dari dua arah yang berlawanan, tetapi semuanya seperti mengantisipasi satu-sama-lain, sehingga tidak ada yang bertabrakan.
Saat itu, tidak ada seorang pun yang menyuruh atau memberi aba-aba, saat kapan dan di mana harus bergerak. Semuanya mengambil keputusan cepat, bergerak ke kanan, kiri, melambat, lalu melangkah cepat, berdasarkan pada 'perkiraan terbaik' pada 'apa yang akan dilakukan orang lain'. Di sini memang ada semacam 'kecerdasan kolektif' yang berperan, ketika para penyeberang jalan itu melihat pada bahu orang-orang di depan mereka.
Sebagai contoh 'problem koordinasi', fenomena penyeberang jalan itu sejatinya terjadi dalam banyak sisi kehidupan kita sehari-hari, termasuk dalam mengatur kesemrawutan di sekitar pasar. Kapan Anda mesti berangkat kerja? Di mana kita hendak makan siang nanti? Bagaimana mengalokasikan kursi di bus yang kita tumpangi? Itu semua masalah koordinasi.
Begitu pula banyak pertanyaan mendasar yang mesti diselesaikan sistem ekonomi mana pun -- semuanya menyangkut problem koordinasi. Siapa akan kerja di mana; Berapa banyak yang harus diproduksi sebuah pabrik; Bagaimana kita memastikan bahwa masyarakat mendapatkan layanan bermutu yang mereka inginkan?
Begitu pula yang muncul di Tanah Abang. Siapa yang harus mengatur para PKL, ke mana mereka dipindahkan, kapan dilakukan (sesudah lebaran, misalnya), bagaimana cara memindahkan mereka secara bersama-sama, dan bagaimana mengelola dampaknya, dan sebagainya. Semua itu problem koordinasi -- dan itu hanya akan berhasil secara jangka panjang bila Pemda DKI terus mendengarkan berbagai masukan dari 'bawah' dan bertahan dalam mengkapitalisasi kecerdasan kolektif semua unsur yang terlibat.
Sebagaimana dikemukakan James Surowiecki dalam The Wisdom of Crowdyang menentukan dalam menyelesaikan problem koordinasi adalah, bahwa seseorang harus berpikir bukan hanya yang ia yakini sebagai jawaban yang benar, tetapi juga (mengantisipasi) apa yang dipikirkan orang-orang lain sebagai jawaban yang benar. Itu karena apa yang dilakukan setiap orang akan berdampak dan tergantung kepada yang dilakukan setiap orang lain, dan demikian pula sebaliknya.

Jika seorang gubernur tidak mengantisipasi 'apa yang dianggap benar' -- otomatis juga 'apa yang nantinya akan dilakukan' -- oleh para pedagang dan pembeli di Kaki Lima, serta pihak-pihak terkait lainnya, misalnya, sulit kiranya ia bisa melakukan koordinasi dengan baik.
Guna memperoleh solusi yang baik, lazimnya problem koordinasi melibatkan institusi, norma-norma, dan sejarah, yakni faktor-faktor yang mewujudkan perilaku kerumunan (sekelompok) orang dan dibentuk olehnya.
Kemudian, pengambilan keputusan secara terpisah (independen) dalam koordinasi adalah mustahil, sebab 'apa yang ingin saya lakukan' tergantung kepada 'apa yang saya pikir akan Anda lakukan', dan sebaliknya.
Maka, sejalan dengan itu, dalam kasus Tanah Abang ini, jika hendak berhasil mendapatkan solusi cerdas, maka pemimpin seperti Ahok hendaknya tidak 'bertindak sendirian', meski pun dalam hal ini ia melakukannya tanpa pamrih 'mencari keuntungan pribadi' sekali pun.
Sebab, itulah sifat alami problem koordinasi: ia bukan soal yang mudah dipecahkan, dan menghasilkan 'sebuah jawaban' yang baik adalah suatu kejayaan.
Ketika apa yang hendak dilakukan orang banyak tergantung kepada apa yang akan diperbuat setiap orang lain, maka setiap keputusan akan memengaruhi keputusan berikutnya (yang lain), dan tidak ada sumber daya dari luar yang dapat mengerem putaran spiral-refleksif itu.

Walhasil, inti solusi berbagai masalah kita -- termasuk saat mengelola pasar tekstil sehebat Tanah Abang -- adalah menjawab pertanyaan yang sama: bagaimana orang-orang secara sukarela, tanpa ada yang memberikan komando, melakukan tindakan yang cocok bersama sejumlah orang lain dengan cara yang efisien dan teratur? ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar