Rabu, 21 Agustus 2013

Menata Motivasi Maju Pilgub

Menata Motivasi Maju Pilgub
Moh Hasan Machfoed  ;   Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Ahli Saraf
JAWA POS, 21 Agustus 2013


MOTIVASI untuk berkuasa bisa untuk siapa saja. Bisa cabup, capres, caleg, dan semacamnya. Kebetulan saja, masyarakat Jatim siap-siap memilih cagub-cawagub. Bayangkan saja seandainya Anda menjadi gubernur. Segala kebutuhan sudah dipenuhi negara. Rumah, perabot, mobil, kesehatan, rekreasi, perjalanan dinas, dan gaji. Konon kabarnya, penghasilannya berkisar Rp 400 juta-Rp 600 juta per bulan. Itu termasuk insentif dan penghasilan lainnya. Belum lagi kewenangan proyek-proyek besar yang dimiliki. Melihat semua itu, siapa yang tidak kepincut menjadi gubernur. Pertanyaannya, apa motivasi yang mendasari keinginan itu?

Menurut teori Maslow, ada lima tingkat kebutuhan manusia. Mulai tingkat yang terendah sampai tingkat kelima yang tertinggi. Tingkat pertama adalah kebutuhan fisik agar bisa hidup. Contohnya, makanan, pakaian, dan rumah. Tingkat kelima adalah aktualisasi diri. Yaitu, kebutuhan merealisasikan agar potensi diri yang dimiliki bisa terwujud.

Pada tingkat kelima tersebut, sebenarnya segala kebutuhan materi orang itu sudah lebih dari cukup. Harta melimpah, nama pun dikenal luas masyarakat. Namun, dia merasa belum mewujudkan potensinya. Seseorang yang merasa mampu mengatur negara akan jadi capres, yang provinsi akan jadi cagub, demikian seterusnya. Dengan kata lain, motivasi menjadi calon itu adalah untuk kebutuhan psikologis, yakni aktualisasi diri. 

Motivasi adalah keadaan psikologis yang membangkitkan tindakan/perilaku untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selain perilaku, motivasi memiliki kaitan dengan fisiologis, kognitif, materi, dan sosial. Ada dua bentuk motivasi, yakni intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik mengacu pada minat atau kesenangan dalam pekerjaan itu sendiri. Motivasi intrinsik muncul dari dalam diri individu. Biasanya tulus mengikuti nuraninya. Motivasi ekstrinsik mengacu pada kinerja untuk mencapai hasil. Dan biasanya muncul dari luar individu. Itu kebalikan motivasi intrinsik yang berasal dari dalam. 

Para peneliti meyakini bahwa motivasi memiliki dua fungsi. Yang pertama  disebut komponen aktivasi energik dari konstruksi motivasi. Itulah yang mewarnai motivasi. Yang kedua diarahkan pada perilaku tertentu untuk mencapai tujuan. Umumnya motivasi ekstrinsik berorientasi pada keuntungan, penghargaan, kehormatan, kedudukan, materi, dan kekayaan.  Persaingan  dalam motivasi ekstrinsik umumnya muncul karena dorongan untuk menang dan mengalahkan lawan. 

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa imbalan ekstrinsik dapat mengakibatkan pembenaran berlebihan (over-justification) dan selanjutnya menurunkan kadar motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik biasanya lebih kuat daripada intrinsik. Perilaku intrinsik juga lebih lemah daripada ekstrinsik. Itu bisa menerangkan mengapa pada pilkada para kontestan siap menang tapi tidak siap kalah. 

Pengendalian diri terhadap motivasi merupakan bagian dari kecerdasan emosional. Mungkin saja seseorang sangat cerdas otaknya, namun tidak mampu mengendalikan diri manakala kehendaknya tidak tercapai. Kehendak bisa  mengaktifkan perilaku yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Itu berasal dari  dalam diri individu dan tidak memerlukan rangsangan eksternal untuk mendorong perilaku tersebut. Makin tinggi kecerdasan emosional seseorang, makin tinggi pula kontrol diri terhadap motivasi dan perilaku sebagai akibat motivasi. Demikian pula sebaliknya. Calon yang tidak siap kalah tidak jarang memotivasi pengikutnya berbuat anarkistis. Sayangnya, itulah yang sering kita tonton.

Sebagaimana telah disebut, motivasi memiliki kaitan dengan kognitif dan sosial. Ada niat di balik motivasi dan ada perilaku di belakang motivasi. Jadi, niat menentukan motivasi dan selanjutnya motivasi menentukan perilaku. Ketiganya berjalan searah, tidak bisa bertabrakan satu sama lain. Secara kognitif dan sosial, niat itu bisa baik dan bisa juga sebaliknya. Niat akan melahirkan motivasi, baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. Niat baik akan mendorong munculnya motivasi intrinsik. Niat yang sebaliknya merangsang timbulnya motivasi ekstrinsik. Sayangnya, niat dan motivasi seseorang sulit kita raba, sedangkan perilaku mudah dilihat.

Menjelang pemilu, pilkada, dan pilpres, akan banyak kita jumpai calon yang menjajakan diri. Itu bisa dilihat di koran, majalah, TV, dan jutaan spanduk yang merusak keindahan kota. Nadanya juga serupa dari musim ke musim: ''Kalau ingin perubahan, pilihlah saya. Niat saya adalah ibadah untuk menjalankan amanah rakyat dengan tulus ikhlas. Ini adalah pengabdian saya untuk bangsa dan negara''.

Sekarang tinggal masyarakat yang menilai janji itu. Benar-benar tulus atau isapan jempol belaka. Masyarakat pun sekarang cukup cerdas menilai. Mereka bebas memilih mana pemimpin yang kompeten dan amanah. Itu bisa dilihat dari track record serta perilaku sebelumnya. Sayangnya, intervensi materi (politik uang) bisa mengubah segalanya. Dari pilihan rasional yang bijaksana menjadi pilihan irasional yang jauh dari akal sehat. Tampaknya, itulah harga yang harus dibeli dari demokrasi kita. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar