|
Kisah Karna
telah diurai dari berbagai sudut pandang, sebagai tokoh antagonis,
antagonis baik, protagonis, protagonis salah tempat salah waktu, dan abu-abu.
Terlahir
dari perawan Kunti akibat mantera yang diucapkan secara coba-coba ke dewa
Surya, bayi Karna dibuang ke sungai Aswa untuk menjaga keberadaan ibunya
sebagai perempuan yang belum menikah. Karna kecil akhirnya ditemukan Adirata,
kusir kereta di kerajaan Astina dan ia tumbuh besar dalam asuhan keluarga wong cilik.
Seperti
tokoh utama lain dalam wayang, perjalanan hidup Karna penuh dengan once in
a life time experience, cobaan, tempaan unik, rumit, tragis, dan menarik.
Walaupun dibesarkan dalam lingkungan papa, di tubuhnya mengalir darah
dewa, karena itu Karna bercita-cita menjadi satria.
Seperti
Arjuna, Karna dikenal sebagai pemanah ulung. Keahlian inilah yang
mempertemukannya dengan Arjuna selama adu keterampilan memanah yang diadakan
padepokan Drona di hadapan punggawa Korawa dan Pandawa. Sesaat setelah Arjuna,
kesayangan Drona, dinyatakan sebagai pemenangnya, Karna menyeruak di antara
penonton dan menantang Arjuna sembari memamerkan keahliannya.
Dalam
ajang kenegaraan ini, aturan protokoler mewajibkan pendeta istana meminta Karna
memperkenalkan diri untuk memastikan bahwa ia berasal dari kelas bangsawan
seperti anak didik Dorna. Seketika itu pula Karna merasakan hinanya menjadi
rakyat jelata.
Duryudana,
sulung keluarga Korawa yang sudah memiliki benih iri dan benci terhadap
keluarga Pandawa, memanfaatkan kesempatan baik ini dengan membela dan
menyelamatkan muka Karna. Pada detik itu pula ia mendesak ayahnya Dretarastra,
raja Astina, untuk mengangkat martabat Karna dengan menahbiskannya menjadi raja
di Angga, wilayah Astina dengan gelar Adipati.
Adirata
menyambut gembira penobatan anaknya, namun ia tidak menyadari bahwa dengan
demikian terkuaklah jatidiri Karna sebagai anak kusir. Sekali lagi diperlukan
belaan Duryudana untuk meredam cemoohan. Drama sekejap tersebut membuat suasana
memanas karena sekarang Karna telah memenuhi persyaratan kelas dan siap
bertarung dengan Arjuna.
Kejadian
ini merupakan titik tolak perubahan jalan hidup Karna. Dalam Bharatayudha,
perang besar keluarga keturunan Baratha yaitu Korawa dan Pandawa, Adipati Karna
bertempur di pihak Korawa.
Pada
hari ke-16, Karna diangkat menjadi panglima perang dan pertempuran sengit
dengan Arjuna dimulai. Pertempuran berlanjut keesokan harinya sampai Karna
gugur di ujung panah Pasopati Arjuna dan berakhirlah perang besar di medan
Kurusetra.
Hanya
melalui pendalaman puluhan lakon, pertentangan pribadi Karna dan ironi di
sekelilingnya tersingkap. Dalam konteks ini sedikitnya lima hal bisa menjadi
dasar perenungan. Pertama, walaupun sadar dengan keistimewaan karena terlahir
dari ayah seorang dewa, nama panggilan Sutaputra yang berarti anak kusir
dan Radheya, dari Radha, nama ibu asuhnya memperlihatkan bahwa Karna menjunjung
tinggi kehormatan.
Kedua,
setelah penolakan Drona, Karna berhasil menjadi murid Parasurama yang juga guru
Drona. Ketiga, kedermawanan Karna menyebabkan hilangnya kavacha dan kundala
karena ia memberikannya sebagai sedekah kepada Dewa Indra yang menyamar
sebagai resi yang memintanya.
Ketulusan
Karna meluluhkan hati Indra dan ia dianugerahi senjata ampuh Konta.
Keempat, pertolongan Duryudana membuat kepasrahan total yang tidak bisa ditawar
meski lambat laun Karna sadar bahwa dalam banyak hal Korawa mengedepankan
kelicikan dan kecurangan. Ikatan utang budi, jabatan, dan adu nasib
membutakan mata hati.
Kelima,
setelah sadar bahwa Kunti adalah ibu kandungnya yang kemudian menjadi istri
Pandu dan melahirkan tiga Pandawa (Yudistira, Bima dan Arjuna), Karna
bersikeras ibunya adalah Radha istri kusir kereta dan menyesalkan kejadian
pembuangan bayi yang akhirnya berakibat permusuhan saudara.
Namun, sebagai
tanda sikap tegar dan hormat pada Kunti, Karna berikrar bahwa ia tidak akan
membunuh Pandawa kecuali Arjuna. Kepahitan dan harga diri menutup pilihan
hidup.
Diaspora, dalam
beberapa keadaan menyerupai Karna, anak sulung bangsa yang terhisap dalam rimba
perantauan. Beberapa merasa dibuang, tersisih, teraniaya, dianaktirikan,
dibenci, diperas, tapi dirindukan, tergerus krisis identitas dan
loyalitas.
Oportunis
dan apatis. Tak jarang segala cara dihalalkan dan arti kebangsaan disepelekan.
Semboyan “rejeki sama dinikmati, datang prahara ditinggal
mengudara” menjadi buah simalakama. Terlintaskah kesulungan membawa
kerendahan hati dan tut wuri handayani?
Sebagai
masyarakat, pejabat dan wakil rakyat, tidakkah sadar sejarah kelabu telah
menceraiberaikan anak bangsa; tidakkah mahfum bahwa ada kalanya nasionalisme
sempit adalah rumus dan alat untuk menuding; adakah iri hati mencuat terhadap
kesempatan yang bukan haknya; bukankah banyak aturan yang dibuat akhirnya
berujung untuk dibengkokkan dan dilanggar; terlintaskah jiwa besar dan empati
adalah senjata ampuh untuk merangkul anak yang hilang?
Perenungan
adalah upaya menilik diri sendiri. Tokoh Karna dalam judul di atas tidak jelas
terbaca tanpa bantuan cermin.
Hiruk
pikuk wacana dwi kewarganegaraan dan pragmatisme akan segera membungkam
kearifan wayang. Ketidakpedulian warisan luhur ini pun masih memungkinkan
seseorang memiliki dua paspor. Ignorance rules and life goes on.
Wayang
tidak pretensius. Wayang bukan preskripsi dan bukan pula instruksi. Tetapi
wayang mampu menanyakan pertanyaan telak untuk jawaban tepat bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar