Sabtu, 06 Juli 2013

Mitos Sekolah Favorit

Mitos Sekolah Favorit
Nanang Martono ;  Dosen Sosiologi FISIP Unsoed Purwokerto,
Kandidat Ph D Sosiologi Pendidikan Universite de Lyon 2 Prancis
REPUBIKA, 04 Juli 2013


Tahun pelajaran baru segera dimulai. Saat ini, jutaan calon siswa baru sedang sibuk menanti nasib mereka di sekolah barunya. Inilah ritual setiap awal tahun pelajaran. Orang tua pun sangat sibuk mencarikan sekolah terbaik bagi buah hati mereka.  Bagi calon siswa yang memiliki nilai di atas rata-rata, hal ini bukanlah saat yang mendebarkan mana kala mereka turut mengadu nasib di sekolah unggulan. Namun, kondisi ini akan berbanding terbalik bagi mereka yang memiliki nilai pas-pasan. 

Sementara itu, dari pihak sekolah, ada beberapa sekolah yang sangat ramai dikunjungi calon siswa baru. Bahkan, ada sebagian sekolah yang kehabisan formulir pendaftaran. Di sisi lain juga ada sekolah yang justru kekurangan peminat, atau bahkan tidak diminati sama sekali.

Dikotomi sekolah favorit dan sekolah tidak favorit memang bukan fenomena yang baru lagi. Bagi masyarakat, ini bukanlah mitos. Mereka yakin bahwa menyekolahkan anak di sekolah favorit dapat menjanjikan berbagai kesuksesan.
Sehingga, banyak di antara orang tua murid yang rela berkorban demi anaknya supaya dapat diterima di sekolah favorit. 

`Klasifi kasi' sekolah favorit telah menjadi mitos yang diyakini secara turun-temurun. Sekolah A favorit, sekolah B tidak favorit. Mengapa harus ada anggapan seperti ini? Apa yang membedakan kedua sekolah tersebut sehingga yang satu dikatakan favorit, sedangkan yang lain dikatakan tidak favorit?

Dalam kajian ilmu sosiologi, masalah ini secara tidak langsung telah menguatkan argumen bahwa kualitas pendidikan di Indonesia belum merata. Ketidakmerataan ini tentu saja menyebabkan masyarakat akan memilih sekolah yang dipandang `berkualitas' dalam kacamata mereka dan kemudian disebut sebagai sekolah favorit. 

Mitos dikotomi

Dikotomi sekolah favorit dan sekolah tidak favorit sebenarnya hanyalah mitos belaka. Ada beberapa alasan yang dapat menguatkan pernyataan ini. Pertama, benarkah keberhasilan siswa di sekolah favorit adalah benar-benar akibat sekolah mereka yang benar-benar bagus? 

Pertanyaan ini dapat dijawab ya dan tidak. Pertanyaan ini dapat dijawab tidak karena kita dapat melihat pada faktor input siswa. Siswa yang masuk di sekolah-sekolah favorit sudah melewati seleksi yang ketat, sehingga sebenarnya kualitas mereka sudah baik sebelum mereka masuk di sekolah tersebut. 

Dengan kata lain, ini bukan disebabkan kepandaian sekolah mengolah siswanya sehingga menjadi pintar, namun lebih disebabkan sejak awal siswa yang terseleksi masuk memang sudah berkualitas bagus. Hal ini dapat kita bandingkan dengan kondisi di sekolah-sekolah yang tidak favorit. Mereka lebih banyak menerima siswa yang tidak berhasil diterima di sekolah favorit. Secara sistemik, inilah alasan kuat yang menjelaskan mitos ini.

Kedua, pertanyaan pertama juga dapat dijelaskan dari sisi sekolah. Sekolah favorit dapat mencetak siswa yang `lebih pintar' karena didukung fasilitas yang lebih lengkap. Hal ini dapat juga kita bandingkan dengan sekolah tidak favorit. Fasilitas mereka tidak selengkap fasilitas sekolah favorit. Apalagi jika se- kolah tersebut jauh dari pusat pemerintahan, fasilitas yang tersedia akan jauh dari kata layak.
Dari aspek pembiayaan, alasan kedua juga disebabkan sekolah favorit tentu saja berbiaya sangat mahal. 
Dengan biaya mahal mereka dapat dengan mudah melengkapi sekolahnya dengan faslitas yang lengkap. Ini dapat dibandingkan dengan sekolah tidak favorit, mereka tidak mungkin menarik biaya yang mahal. 

Lalu, pertanyaan yang sulit dijawab adalah: sebuah sekolah mahal karena ia adalah sekolah favorit, atau karena sebuah sekolah terkenal mahal, maka ia menjadi favorit. Akibatnya, hanya orang kaya saja yang dapat mengenyam pendidikan di sekolah tersebut, sehingga mereka juga akan mampu mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah. 

Ada beberapa dampak sosial akibat kepercayaan masyarakat pada mitos ini.
Pertama, sekolah favorit menjadi mahal, akibatnya pendidikan yang berkualitas hanya dapat dinikmati masyarakat dari kelas atas. Kedua, gengsi sosial. Bersekolah di sekolah favorit merupakan kebanggaan tersendiri bagi siswa dan orang tua. Sehingga, banyak orang tua yang rela menempuh segala cara agar anaknya dapat diterima di sekolah favorit, termasuk dengan cara menyuap pihak sekolah.  Ini akan berujung pada komersialisasi sekolah. 

Ketiga, selain prestise bagi anak dan orang tua, prestise juga dirasakan oleh guru. Guru yang mengajar di sekolah favorit memiliki gengsi sosial yang lebih tinggi. Selain itu, mereka juga `lebih santai' karena mengajar siswa-siswa yang sudah pintar.

Tugas mereka menjadi lebih ringan daripada guru yang mengajar di sekolah tidak favorit dengan kualitas siswa di bawah rata-rata. Perjuangan mereka akan semakin berat ketika anak didik mereka diadu dengan anak-anak dari sekolah favorit dalam ujian nasional. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa guru-guru yang mengajar di sekolah favorit relatif lebih sejahtera daripada yang lain.

Langkah strategis

Ada beberapa langkah strategis untuk mulai menghapus dikotomi ini. Pertama, pemerintah harus berani menjamin pemerataan kualitas pendidikan, sehingga akses warga miskin dalam pendidikan juga akan terjamin. Tidak hanya secara kuantitas, namun juga jaminan kualitas pendidikan bagi mereka. 

Dari sisi input, setiap sekolah harus mengalokasikan pemerataan input. Seolah favorit harus mengalokasikan 50 persen kursinya untuk calon siswa dengan nilai di bawah rata-rata. Dengan mekanisme seperti ini, siswa yang kurang cerdas dapat termotivasi belajar ketika mereka harus belajar dengan siswa yang lebih pintar.


Ketiga, rotasi guru. Pemerintah harus melakukan rotasi guru. Guru harus mengalami rotasi agar kemampuan mereka selalu berkembang. Guru-guru yang tahun ini mengajar di sekolah favorit, tahun depan mereka harus siap ditempatkan di sekolah tidak favorit dengan kondisi siswa yang sangat berbeda. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar