Sabtu, 06 Juli 2013

Menjawab Aspirasi, Mencari Inspirasi

Menjawab Aspirasi, Mencari Inspirasi
Teoti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 05 Juli 2013
  

KARNAVAL pada 30 Juni memperingati HUT ke486 Ibu Kota dimeriahkan dengan pesta ondel-ondel, ciri khas budaya Jakarta. Bahkan Gubernur DKI mengenakan kostum dan topi ondel-ondel yang disambut gembira ribuan penduduk Jakarta yang berkerumun di depan Balai Kota. Dengan menunggang kuda, Gubernur Joko Widodo ibarat sang kaisar yang dikerubuti rakyatnya.

“Seru banget,” komentar salah seorang yang menyaksikannya. Ada sambung rasa antara Jokowi dan penduduk Jakarta, tersirat di sana.

Sebagai pendatang baru yang memimpin pemerintahan DKI, sikap Jokowi cepat menarik perhatian bukan hanya masyarakat DKI, melainkan juga rakyat di seluruh negeri. Hasil berbagai pengumpulan pendapat menunjukkan namanya paling unggul di antara mereka yang dianggap cocok menjadi capres. Mungkin antara lain karena kuatnya pancaran kepedulian dan semangat pengabdiannya bagi rakyat, dilandasi empati dan sikap rendah hati. Kita tunggu akhirnya nanti.

Namun, Jokowi berulang kali menolak kemungkinan terlibat dalam pencalonan capres. Lebih delapan bulan memimpin pemerintahan DKI, dia mengenali betapa beratnya tantangan persoalan-persoalan DKI yang terus bergulir tak kenal henti. Jika ditinjau baik dari jumlah, komposisi, maupun penyebaran penduduknya, Jakarta ibarat air yang mengalir berputar-putar, yang ditentukan daya tariknya sebagai sumber baik kekuasaan maupun sumber penghidupan. Fakta itu tak pelak menimbulkan ketimpangan yang tecermin pada wajah kota: daerah-daerah mewah yang disisipi permukiman-permukiman kumuh, jalanjalan riuh dengan lalu lalang kendaraan pribadi diselingi kendaraan umum, dan tata kota yang makin tidak mampu mengatur perpindahan penduduk. Belum lagi kalau bicara soal keamanan dan ketertiban bagi penduduk tetap yang jumlahnya mendekati 10 juta. Mengurus Ibu Kota merupakan tantangan besar.

Tantangan nasional

Setahun menjelang pergantian ke pemerintahan nasional yang baru, kita sekarang disibukkan persiapan memilih dan menentukan komposisi jajaran pimpinan Indonesia di masa depan, Di legislatif dan khususnya untuk RI-1. Media elektronik ramai menampilkan debat tentang dan antartokoh yang berpotensi menjadi pemimpin. Siapa-siapa di antara mereka yang menjawab aspirasi rakyat? Siapa-siapa yang memberi inspirasi? Rasanya para pemimpin diharapkan memiliki sambung rasa dengan rakyat agar timbul berbagai inspirasi untuk membuat Indonesia lebih baik daripada sekarang. Bukan untuk kepentingan politik praktis, melainkan antara lain untuk menjawab: mungkinkah Indonesia bisa semaju negara-negara industri baru di Asia (NIC) seperti Singapura, Hong Kong, Taiwan, Korea, dan bahkan Jepang; sementara persoalan-persoalan konkret seputar ekonomi dan politik terus menghantui?

Bertahun-tahun yang lalu pernah diadakan diskusi kecil mengenai topik itu, dihadiri beberapa tokoh Indonesia dan sejumlah tokoh negara industri baru di Asia. Seorang dari Korea membuka diskusi dengan mengatakan bila sistem pendidikan dan sistem manajemen di Indonesia masih seperti yang dia amati waktu itu, mungkin baru satu generasi lagi akan terjadi perubahan. Perombakan sistem perlu strategi.

Pernyataan tersebut tentu mengecewakan pihak Indonesia yang merasa negaranya lebih loh jinawi dan tenaga kerjanya lebih melimpah. Berbagai sangkalan disampaikan baik dalam bentuk argumen maupun gugatan yang mengacu ke berbagai ilmu--sosial, politik, maupun ekonomi. Namun, orang-orang dari NIC bersikap pragmatis. Menurut mereka, falsafah memang bisa muluk-muluk, tetapi fakta-seperti gambar--bisa berbicara seribu bahasa.

Konsekuensi manajemen atas-bawah

Mengenai manajemen, dalam forum diskusi itu pendapat orang-orang NIC dapat disimpulkan sebagai berikut: top-down management, yang bisa sukses di sejumlah negara, termasuk di Korea, tidak akan sukses di kita karena kurangnya disiplin nasional. Akibatnya, berbagai peraturan tentang jalannya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara sewenang-wenang dilanggar semua jajaran, dari tingkat atas sampai bawah. Yang parah menimpa tertib hukum hingga banyak pihak merasa kehilangan perlindungan; tetapi sebaliknya memungkinkan sebagian orang mengambil keuntungan dari kerancuan.

Dalam lingkungan tidak sehat, manajemen atas-bawah tidak memungkinkan tumbuhnya kreativitas dari bawah. Motivasi menjadi mati karena lingkungan tidak memberi dorongan. Yang diperintahkan dari atas menjadi slogan. Padahal, pendidikan formal angkatan muda umumnya lebih tinggi dan luas daripada yang diperoleh yang tua-tua. Pendidikan nonformal, antara lain lewat media massa, telah membawa kaum muda ke konsep-konsep modern yang berjalan pesat.

Selain dua faktor itu, system manajemen atas-bawah tidak memungkinkan dialog, apalagi argumentasi; maka dapat dipastikan perbedaan visi makin tidak terjembatani sampai akhirnya meledakkan suatu inspirasi untuk melepaskan diri dari tradisi sosial, politik, maupun ekonomi.

Tentang manajemen pendidikan, pertanyaannya: bagaimana mendidik anak supaya siap menghadapi masa depan? Masyarakat industri minimal memerlukan pendidikan mendasar tentang teknologi. Menyimak keadaan sekarang, apa yang menjadi prioritas? Apakah pendidikan sekarang bisa menjadi modal bagi kebangkitan masyarakat industri? Ataukah, seperti yang lalu-lalu, mayoritas kita tetap berkutat menjadi masyarakat nelayan dan petani tradisional yang berproduksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan komunitasnya, sekalipun mengerti falsafah bangsa dan mempelajari ilmu-ilmu sosial lainnya? 

Untuk menjadi semaju negara-negara maju, kita dituntut menentukan pilihan dan strategi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar