Senin, 08 Juli 2013

Kudeta Negeri Piramida

Kudeta Negeri Piramida
Andi Purwono  ;  Lektor Kepala Hubungan Internasional,
Dekan FISIP Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
SUARA MERDEKA, 06 Juli 2013


MOHAMMED Mursi akhirnya tersingkir dari kursi kepresidenan Mesir. Menteri Pertahanan (panglima militer) Abdel Fattah al-Sisi mengumumkan penggulingan Mursi sekaligus menetapkan Ketua Mahkamah Agung Adly al-Mansour sebagai presiden sementara. Mursi dan beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin ditahan dan dikenai larangan bepergian ke luar negeri. Mengapa bisa terjadi, serta apa makna bagi Mesir kini dan masa mendatang?

Kudeta militer terhadap Mursi merupakan ironi karena menunjukkan demokratisasi Mesir setelah penumbangan rezim totaliter Hosni Mubarak dua tahun lalu, berjalan tidak secara pasti. Pertikaian antarkekuatan politik dibarengi kesulitan ekonomi yang menyebabkan krisis tidak juga menemukan solusi. Ironi juga karena Mursi hakikatnya presiden terpilih, lagi secara konstitusional.

Meminjam pandangan Robert P Clark (1989), kudeta militer Mesir bisa terjadi karena sejumlah situasi yang mendorong, antara lain kejatuhan prestise pemerintah atau partai politik yang memegang pemerintahan. Selain itu, situasi perpecahan di antara pemimpin politik menimbulkan keraguan pihak militer, yaitu apakah rezim sipil masih mampu memerintah secara efektif.

Situasi krisis ekonomi juga bisa menjadi faktor pemicu, dan dalam kasus Mursi faktor itu eksis. Menurut oposisi, Mursi menjalankan politik tanpa dialog dan mementingkan kelompoknya sebagaimana langkahnya mengeluarkan dekrit pada November 2012. Nilai tukar mata uang melemah, pengangguran tinggi, dan melambungnya harga bahan kebutuhan yang belum bisa diatasi pemerintah. Militer menyebut ada 12 poin yang melegitimasi kudeta.

Sebagai realitas politik, kudeta itu menjadi preseden buruk yang berulang. Tahun 1952 Gamal Abdel Nasser memimpin militer Mesir setelah mengudeta Raja Farouk I.  Sejak 18 Juni 1953, Mesir menjadi republik dan Jenderal Mohamed Naguib ditetapkan menjadi presiden pertama sebelum digantikan Nasser pada 1954. Nasser memerintah hingga 1970 dan digantikan oleh Anwar Sadat yang dibunuh pada 6 Oktober 1981.

Mohamed Hosni Mubarak menjadi presiden sejak 14 Oktober 1981 dan akhir Januari 2011 rakyat menuntutnya untuk meletakkan jabatan. Setelah 18 hari aksi demonstrasi besar-besaran, akhirnya pada 11 Februari 2011 Mubarak mundur. Karena itu, menjadi pekerjaan rumah besar rakyat Mesir dalam bidang politik untuk mewujudkan demokrasi yang menjamin  transisi kepemimpinan berjalan mulus, terlembaga, dan konstitusional.

Kudeta juga menunjukkan dominasi militer dalam politik. Profil para presiden Mesir dan sepak terjang militer dalam politik menunjukkan hal itu. Meski berbeda kiprah, dalam konteks penggulingan Mubarak dan Mursi, militer jadi penentu akhir perubahan. Dominasi militer dalam politik ini patut disayangkan karena tak sesuai dengan prinsip demokrasi. Menurut Mayor Jenderal Dr Dietrich Genschel (2002), ada sejumlah prinsip tentang fungsi militer dalam sistem yang demokratis. Seharusnya militer merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif dalam tata kelola pemerintahan. Ia juga harus berada di bawah kepemimpinan politik yang disahkan secara demokratis, dengan jabatan menteri pertahanan dipegang oleh sipil, mengikuti pedoman politik yang digariskan, serta patuh dan tunduk pada hukum.

Militer juga dibatasi oleh deskripsi tugas yang ditetapkan oleh konstitusi, netral dalam politik, tidak dibenarkan memiliki akses untuk memperoleh dukungan keuangan di luar anggaran pendapatan dan belanja negara, dikendalikan oleh parlemen, kepemimpinan politik, kekuasaan kehakiman, dan masyarakat sipil secara umum, serta memiliki tanggung jawab yang jelas berdasarkan keahlian profesional.

Pelajaran Mahal

Berkaca pada realitas itu, Mesir belum bisa disebut demokratis. Menjadi pekerjaan rumah juga bagi rakyat Mesir untuk menempatkan militer secara proporsional dan membentenginya supaya tidak tergoda terjun dalam politik kekuasaan. Lewat beleid tersebut, ke depan bisa lebih menjamin supremasi sipil dan demokrasi.

Terlepas dari hal itu, dunia melihat kudeta militer bahkan didukung oposisi. Ini terlihat semisal  dari pernyataan tokoh oposisi dari kelompok liberal Mohamed el-Baredei bahwa keputusan militer adalah cara tuntas mengatasi kebuntuan politik antarfaksi. Gereja Koptik dan Imam al Azhar juga menyatakan dukungannya.

Namun di sisi lain hal ini menjadi pelajaran sangat mahal karena rakyat Mesir harus memulai kembali proses politik dari awal. Di bawah pemerintahan presiden sementara, mereka harus bersiap menggelar pemilu. Artinya harus ada kesabaran ekstra semua pihak untuk mengikuti tahapan politik konstitusional di tengah godaan dan tantangan pertikaian seta konflik domestik, termasuk perlawanan pendukung Mursi.

Secara ekonomi juga belum ada jaminan kondisi bisa menjadi lebih baik. Yang terlihat justru sikap Barrack Obama yang memikirkan ulang bantuan terhadap Mesir senilai 1,3 miliar dolar AS. Berdasarkan undang-undangnya, AS tidak akan memberikan bantuan kepada pemerintahan negara yang dikudeta militer.

Dari dunia internasional terlihat jelas sikap Arab Saudi dan Uni Emirat Arab yang menyatakan selamat, sementara Amerika menyatakan prihatin. Adapun PBB tidak mengutuk kudeta tersebut. Dunia menanti apakah rezim transisi bisa mengantarkan Mesir ke arah demokrasi dan kesejahteraan sejati atau justru kembali terjerembab mengulang tragedi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar