|
SUARA
MERDEKA, 06 Juli 2013
MOHAMMED Mursi akhirnya tersingkir dari kursi kepresidenan
Mesir. Menteri Pertahanan (panglima militer) Abdel Fattah al-Sisi mengumumkan
penggulingan Mursi sekaligus menetapkan Ketua Mahkamah Agung Adly al-Mansour
sebagai presiden sementara. Mursi dan beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin ditahan
dan dikenai larangan bepergian ke luar negeri. Mengapa bisa terjadi, serta apa
makna bagi Mesir kini dan masa mendatang?
Kudeta militer terhadap Mursi merupakan ironi karena
menunjukkan demokratisasi Mesir setelah penumbangan rezim totaliter Hosni
Mubarak dua tahun lalu, berjalan tidak secara pasti. Pertikaian antarkekuatan
politik dibarengi kesulitan ekonomi yang menyebabkan krisis tidak juga
menemukan solusi. Ironi juga karena Mursi hakikatnya presiden terpilih, lagi
secara konstitusional.
Meminjam pandangan Robert P Clark (1989), kudeta militer
Mesir bisa terjadi karena sejumlah situasi yang mendorong, antara lain
kejatuhan prestise pemerintah atau partai politik yang memegang pemerintahan.
Selain itu, situasi perpecahan di antara pemimpin politik menimbulkan keraguan
pihak militer, yaitu apakah rezim sipil masih mampu memerintah secara efektif.
Situasi krisis ekonomi juga bisa menjadi faktor pemicu, dan
dalam kasus Mursi faktor itu eksis. Menurut oposisi, Mursi menjalankan politik
tanpa dialog dan mementingkan kelompoknya sebagaimana langkahnya mengeluarkan
dekrit pada November 2012. Nilai tukar mata uang melemah, pengangguran tinggi,
dan melambungnya harga bahan kebutuhan yang belum bisa diatasi pemerintah.
Militer menyebut ada 12 poin yang melegitimasi kudeta.
Sebagai realitas politik, kudeta itu menjadi preseden buruk
yang berulang. Tahun 1952 Gamal Abdel Nasser memimpin militer Mesir setelah
mengudeta Raja Farouk I. Sejak 18 Juni 1953, Mesir menjadi republik dan
Jenderal Mohamed Naguib ditetapkan menjadi presiden pertama sebelum digantikan
Nasser pada 1954. Nasser memerintah hingga 1970 dan digantikan oleh Anwar Sadat
yang dibunuh pada 6 Oktober 1981.
Mohamed Hosni Mubarak menjadi presiden sejak 14 Oktober
1981 dan akhir Januari 2011 rakyat menuntutnya untuk meletakkan jabatan.
Setelah 18 hari aksi demonstrasi besar-besaran, akhirnya pada 11 Februari 2011
Mubarak mundur. Karena itu, menjadi pekerjaan rumah besar rakyat Mesir dalam
bidang politik untuk mewujudkan demokrasi yang menjamin transisi
kepemimpinan berjalan mulus, terlembaga, dan konstitusional.
Kudeta juga menunjukkan dominasi militer dalam politik.
Profil para presiden Mesir dan sepak terjang militer dalam politik menunjukkan
hal itu. Meski berbeda kiprah, dalam konteks penggulingan Mubarak dan Mursi,
militer jadi penentu akhir perubahan. Dominasi militer dalam politik ini patut
disayangkan karena tak sesuai dengan prinsip demokrasi. Menurut Mayor Jenderal
Dr Dietrich Genschel (2002), ada sejumlah prinsip tentang fungsi militer dalam
sistem yang demokratis. Seharusnya militer merupakan bagian dari kekuasaan
eksekutif dalam tata kelola pemerintahan. Ia juga harus berada di bawah
kepemimpinan politik yang disahkan secara demokratis, dengan jabatan menteri
pertahanan dipegang oleh sipil, mengikuti pedoman politik yang digariskan,
serta patuh dan tunduk pada hukum.
Militer juga dibatasi oleh deskripsi tugas yang ditetapkan
oleh konstitusi, netral dalam politik, tidak dibenarkan memiliki akses untuk
memperoleh dukungan keuangan di luar anggaran pendapatan dan belanja negara,
dikendalikan oleh parlemen, kepemimpinan politik, kekuasaan kehakiman, dan
masyarakat sipil secara umum, serta memiliki tanggung jawab yang jelas
berdasarkan keahlian profesional.
Pelajaran Mahal
Berkaca pada realitas itu, Mesir belum bisa disebut
demokratis. Menjadi pekerjaan rumah juga bagi rakyat Mesir untuk menempatkan
militer secara proporsional dan membentenginya supaya tidak tergoda terjun
dalam politik kekuasaan. Lewat beleid tersebut, ke depan bisa lebih menjamin
supremasi sipil dan demokrasi.
Terlepas dari hal itu, dunia melihat kudeta militer bahkan
didukung oposisi. Ini terlihat semisal dari pernyataan tokoh oposisi dari
kelompok liberal Mohamed el-Baredei bahwa keputusan militer adalah cara tuntas mengatasi
kebuntuan politik antarfaksi. Gereja Koptik dan Imam al Azhar juga menyatakan
dukungannya.
Namun di sisi lain hal ini menjadi pelajaran sangat mahal
karena rakyat Mesir harus memulai kembali proses politik dari awal. Di bawah
pemerintahan presiden sementara, mereka harus bersiap menggelar pemilu. Artinya
harus ada kesabaran ekstra semua pihak untuk mengikuti tahapan politik
konstitusional di tengah godaan dan tantangan pertikaian seta konflik domestik,
termasuk perlawanan pendukung Mursi.
Secara ekonomi juga belum ada jaminan kondisi bisa menjadi
lebih baik. Yang terlihat justru sikap Barrack Obama yang memikirkan ulang
bantuan terhadap Mesir senilai 1,3 miliar dolar AS. Berdasarkan
undang-undangnya, AS tidak akan memberikan bantuan kepada pemerintahan negara
yang dikudeta militer.
Dari dunia internasional terlihat jelas sikap Arab Saudi
dan Uni Emirat Arab yang menyatakan selamat, sementara Amerika menyatakan
prihatin. Adapun PBB tidak mengutuk kudeta tersebut. Dunia menanti apakah rezim
transisi bisa mengantarkan Mesir ke arah demokrasi dan kesejahteraan sejati
atau justru kembali terjerembab mengulang tragedi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar