|
KOMPAS,
05 Juli 2013
Harga BBM naik, petani tersentak.
Sudah terbayang di depan mata, harga barang kebutuhan pokok akan melambung
tinggi. Harga beras mungkin sedikit naik di pasar, tetapi bukan di
tingkat petani. Lagi pula, harga beras tidak pernah naik tinggi karena selalu
ada operasi pasar. Maka, sampai kapan pun petani padi negeri ini tidak akan
pernah mampu menyesuaikan harga.
Dada ini sungguh sesak ketika Menteri Pertanian dengan enteng
mengatakan, kenaikan harga BBM tidak berdampak berarti pada petani. Sungguh
suatu pernyataan yang mengecewakan. Padahal, sejak mendengar harga BBM mau
naik, kami sangat berharap Mentan dapat merumuskan program pembelian beras
petani. Bukankah dengan berkurangnya subsidi BBM, pemerintah lebih leluasa
mengatur anggaran?
Ternyata, program kompensasi BBM hanya untuk mempercepat
pembangunan jalan di desa-desa dan perbaikan irigasi. Sungguh tidak kreatif dan
itu-itu saja. Mengapa tidak mencoba untuk program biogas di desa-desa dengan
memanfaatkan kotoran ternak, membeli gabah petani, memberi modal terarah untuk
para pengangguran di desa, misalnya untuk usaha peternakan.
Perjuangan
petani
Saya petani padi di sawah irigasi. Beberapa waktu lalu,
sawah-sawah kami panen. Padi tumbuh bagus karena air musim tanam ini jumlahnya
cukup dan cuaca mendukung. Namun, di tengah semua faktor yang baik itu, nasib
kami malah merana. Saat panen raya seperti itu, padi tidak ada harganya.
Akhirnya, banyak petani malas memanen padinya karena ongkos untuk memanen mulai
dari mengarit, menggebot (merontokkan padi), dan mengangkut bisa lebih besar
dari harga jualnya.
Harus diakui, beras adalah kebutuhan pokok dan utama bangsa
ini. Beras bahkan dapat memengaruhi stabilitas politik sehingga harga beras
tidak boleh melambung. Padahal, komoditas lain boleh bebas menyesuaikan harga.
Begitu harga beras naik, pemerintah segera menggelontor dengan beras impor.
Lalu, bagaimana caranya agar kehidupan petani lebih cerah nasibnya?
Sebaliknya, ada kelompok warga negara lain yang
diistimewakan, yaitu para PNS, guru, tenaga medis, bahkan buruh. Kesejahteraan
mereka selalu diperhatikan karena gaji selalu dinaikkan. Lihat saja, begitu ada
kenaikan harga BBM, akan ada penyesuaian pendapatan. Bagaimana dengan kami,
para petani?
Katanya, jumlah para petani paling banyak karena ini negara
agraris. Katanya, kami berjasa menyediakan pangan. Namun, ketika harga BBM naik
dan semua harga kebutuhan pokok ikut melambung, harga beras malah semakin
dikendalikan.
Keluhan ini sesungguhnya sudah lama dan berulang kali kami
rasakan. Namun, pernyataan Mentan berkenaan dengan kenaikan harga BBM membuat
hati saya sungguh sakit dan akhirnya memberanikan diri menyampaikan aspirasi
ini.
Ada beberapa persoalan yang selama ini luput dari perhatian
pemerintah.
Pertama, tak ada pembangunan jalan pertanian ke tengah
hamparan sawah. Prasarana itu sangat vital karena akan signifikan mengurangi
ongkos panggul yang tinggi. Jarak jalan raya dengan petak sawah terjauh bisa
mencapai 3 kilometer. Karena jalan yang ada hanya berupa pematang, dibutuhkan
pemanggul untuk mengangkut input produksi dan hasil produksi.
Belum lagi, ongkos memanen yang meliputi ongkos memotong,
merontokkan, dan mengangkut padi yang bisa mencapai Rp 80.000-Rp 100.000 per
kuintal. Tidak heran bila banyak petani tidak berdaya dan akhirnya membiarkan
padi terbengkalai.
Kedua, mesin pemanen sudah harus diproduksi massal dan dijual
murah karena sangat dibutuhkan terutama di lokasi persawahan yang luas.
Apalagi, jumlah buruh tani terus menurun. Langkanya tenaga buruh ikut memicu
terbengkalainya padi yang siap panen. Tidak jarang padi-padi menjadi rebah dan
membusuk di lahan. Ini sungguh ironis mengingat pemerintah sering merasa
cadangan beras kurang sehingga harus mengimpor beras. Mengapa tidak mencari
jalan yang bisa memperbaiki proses produksi sekaligus menolong perekonomian
petani?
Ketiga, tidak adanya program penanganan hasil panen.
Anjloknya harga gabah pada musim panen I yang rutin terjadi setiap tahun tidak
pernah diintervensi. Padahal, padi yang dihasilkan biasanya justru berkualitas
bagus dan berlimpah.
Kami merasa aktivitas Bulog untuk membeli gabah petani tidak
transparan karena pos-pos tempat Bulog membeli gabah tidak disosialisasikan.
Para petani juga tidak mengetahui apa saja yang harus dilakukan agar gabahnya
laku dijual ke Bulog.
Memang, di satu sisi dukungan pemerintah dalam penyediaan
sarana produksi padi sudah relatif baik, tetapi di sisi lain manajemen
penanganan hasil produksi terlupakan. Kami yakin, jika pemerintah menata hasil
produksi, pengaruhnya akan besar untuk swasembada pangan.
Perlu
komprehensif
Program dana talangan pernah diluncurkan pada tahun 2005
untuk menyelamatkan harga gabah. Namun, program itu tidak berhasil karena
koperasi yang diberi kredit untuk membeli gabah petani tidak mampu memasarkan
berasnya dengan cepat. Hal itu karena koperasi harus membeli gabah dengan harga
harga pembelian pemerintah. Padahal, harga beras di pasar sangat rendah.
Masalah itu tidak perlu terjadi jika Bulog menjadi penampung beras dari
koperasi.
Petani sangat berharap Bulog dapat menampung seluruh gabah
petani tanpa syarat. Kenyataannya, justru saat harga beras melambung, Bulog
malah mengucurkan beras impor dengan kualitas jauh di bawah beras lokal, yang
paling jelek sekalipun.
Petani Indonesia akan sangat mendukung partai mana pun yang
memiliki program membeli seluruh gabah hasil panen karena hal itu bagaikan
memberi gaji kepada petani/orang yang bekerja menanam padi dan sekaligus
menjamin ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani. Dengan demikian,
pemerintah menjadi pengendali harga beras di pasar, dan setiap petani mendapat
jaminan pembelian gabah, apa pun kualitasnya.
Bila mimpi itu tercapai, setiap orang di desa akan sangat
bersemangat menanam padi, bahkan generasi muda di desa-desa tidak perlu mencari
pekerjaan ke kota karena mereka akan berminat menjadi petani. Apalagi, bila
kebijakan itu disertai dengan pembukaan kesempatan mengolah lahan kosong untuk
menciptakan sawah baru.
Sekali lagi, jangan hanya pegawai negeri, guru, dan buruh
pabrik yang mendapatkan jaminan kesejahteraan hidup layak. Petani sebagai pilar
utama ketahanan pangan juga harus terjamin kesejahteraannya.
Pemerintah harus membeli semua hasil padi dengan harga layak
dan selanjutnya terserah pemerintah mau menjual beras dengan harga berapa ke
masyarakat. Dengan demikian, petani tidak lagi menjadi korban gerakan operasi
pasar yang tidak menghendaki petani sejahtera.
Alih fungsi lahan yang saat ini menjadi masalah yang sangat
mengkhawatirkan pun akan dapat terselamatkan karena masyarakat desa akan
berasumsi bahwa kehadiran sawah menjamin pendapatan mereka.
Alih
fungsi lahan
Keempat, alih fungsi lahan tidak dapat dimungkiri menjadi
masalah yang sangat meresahkan dan sangat mengancam ketahanan pangan kita.
Meskipun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan sudah mengatur hal itu, hingga sekarang alih fungsi lahan
terus terjadi. Banyak persawahan, termasuk sawah beririgasi, beralih menjadi
perumahan, pabrik, dan sebagainya.
Selain konversi besar-besaran, ada pula konversi
kecil-kecilan, yaitu sawah yang dibangun menjadi rumah oleh petani sendiri. Padahal,
sering terjadi, jika sudah ada satu rumah yang berdiri, biasanya petani lain
juga akan mendirikan rumah di dekat bangunan yang sudah ada. Begitulah proses
hilangnya sawah-sawah potensial yang tentunya sangat memengaruhi program
ketahanan pangan.
Semua permasalahan ini, jika ditindaklanjuti bersamaan dengan
berkurangnya subsidi BBM, akan menyelesaikan banyak permasalahan, terutama di
bidang pertanian. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar